Bangsa Perusak Hayati

13 Jan 2016 20:45 1825 Hits 0 Comments
Apakah pahlawan hari ini, orang yang melawan bangsanya sendiri ?

Debu itu masih terus saja menempel di dinding pos kamling yang tak pernah tersentuh oleh air rahmat.  Entah, sejak kapan rintikan air dari langit belum turun lagi. Masyarakat merengek pada penguasa karena rahmat yang sangat dirindukan belum saja turun.  Gundah gulanah terpancar dari wajah janda beranak tiga bernama Ginem.

Entah sejak kapan peristiwa kekeringan itu melanda desa yang berada di negeri Gemah Ripah Loh Jinawi. Setiap hari harus  mengantri di depan pos kamling, sembari menunggu kedatangan tangki air dari kota. Orang-orang desa berkumpul hanya untuk mendapatkan satu sampai tiga jrigen air bersih. Terkadang antrian terkahir kecewa, karena tangki berisil 200 liter itu sudah habis. Betapa pedihnya.

Desa Wangon yang dulunya dihuni oleh ratusan macam pohon. Disulap menjadi Kawasan Industri Berikat (KIB).  Warganya terpaksa mengungsi 200 meter dari lahan yang mereka tinggali selama puluhan tahun.  Penguasa-penguasa berdalih demi berjalannya roda ekonomi tanpa memikirkan dampak hayati. Kodok yang riang gembira bernyanyi di malam hari harus mati tergilas roda besi. Pohon penopang oksigen dan kebutuhan air, tersakiti karena berhadapan dengan gergaji. Perih rasanya, mendengar jeritan makhluk hidup yang tak pernah memiliki dosa.

Ginem  bersama ratusan kepala keluarga lainya harus menelan pil pahit. Air bersih sebagai kebutuhan pokok, harganya menjadi dua lembar gambar Otto Iskandar Dinata. Dahulu hanya mengambil di sumur yang diselimuti lumut, kini harus mengais sambil mengantri di pos kamling. Terlalu kejam memang, korporat-korporat yang tak mencintai hayati. Seolah tuli akan teriakan kaum papa seperti Ginem.

Roda ekonomi yang dijanjikan oleh penguasa.  Bisa jadi, bualan yang tak pernah habis adanya. Hanya satu sampai lima orang warga yang dilibatkan dalam industry.  Merekapun menjadi penjilat lidah kaum papa. Pegawai-pegawainya kaum urban yang tak memiliki tatakrama terhadapa penduduk sekitar. Jalanya tegap seperti tentara berperang melawan rakyat sipil. Wajahnya cuek, seperti kaum-kaum hedonis yang bodoh. Sumpah ! Penguasa membelai rakyat untuk dijilat hingga lemah lunglai. Korporat kau hanya menggambarkan dunia sebagai penjamin keselamatan dompetmu semata.

“Penguasa-Penguasa berilah hamba uang” suara khas Iwan Fals terdengar dari warung kopi Mak Inong.  Jalanya pincang, kaki kirinya terkena hantaman kayau petugas pembebasan lahan waktu itu. Wajahnya selalu bersenyum kepada siapa saja.  Warungnya buka 24 jam, untuk melayani para kuli yang kebetulan melewati jalan setapak.

Kekurangan air dampak dari perpindahan sepihak oleh penguasa.  Mak Inem yang dahulunya tergabung dalam Mak-Mak Perjuangan Tanah. Harus menelan pil pahit, tiga kawanya harus melayang nyawanya karena tak kuasa menahan kepedihan warga serta jantung yang kumat saat penggusuran berlangsung. Mak Inem bukanlah pahlawan yang melawan kompeni-kompeni berkumis baplang, melainkan melawana bangsa sendiri.  Bangsa yang selalu merusak keadaan hayati dan tradisi.

Salam Djangkrik

sumber gambar : brilio.net

Tags opini

About The Author

Fadli rais 42
Ordinary

Fadli rais

Pecinta mamah muda made in Indonesia
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel