Tahun 2016 baru berjalan 10 hari pasca berganti dari 2015 yang sangat pelik. Negara makin carut marut, mulai dari isu ekonomi, isu intoleransi agama, isu kekurangnasionalisan, serta isu hoax yang makin hidup. Perjalan hidup yang bergantung pada ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan dan keamanan (IPOLEK SOSBUDAG HANKAM). Terlalu rumit ketika melihat akronimnya, tapi simple sekali ketika melangkah satu per satu.
Isu-isu tersebut tentu sudah dilakukan seribu satu jurus untuk menanganinya. Tapi apa daya, pemerintah adalah gading yang selalu retak dimata rakyat. Pemerintah yang dianggap oleh kebanyakan rakyat, sebagai representasi dari suara yang harus disuarakan. Terserah, apapun caranya. Suara-suara dari pelosok negeri diadu jotoskan di parlemen ibukota.
Pundak pejabat-pejabat yang memiliki panjang 8 10 cm, harus menampung jutaan beban yang tidak sedikit. Mulai dari keluhan berupa, pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga pertanahan. Pesta demokrasi lima tahunan yang kita amini sebagai euphoria rakyat. Menjadi ajang pembebanan individu oleh komunitas-komunitas tertentu. Ukuran pundak 8 10 cm, mengisyaratkan kepada rakyat bahwa daya tamping beban pejabat-pejabat senayan tidak lebih dari hal yang partikular, karena dimiliki oleh segelintir kepentingan. Ke-universalan pembenan kekuasaan seolah menjadi ajang mencari suara lalu sembunyi pundak, supaya tak terbebani puluhan keluh kesah rakyat.
DPR (Dewan Parodi Rakyat) itu selau menyajikan polah-polah yang mengundang tawa,tutur IU kawanku ketika menimba ilmu di GASMEKA. Melihat dari background yang pernah petugas partai di pemilu 2014. Memberikan pencerahan baginya sekaligus menutup mata atas tindakan licin para pemain politik. Taktiknya yang sangat manis didepan kaum miskin, taringnya keluar ketika berhadapan dengan sesama pembawa kepentingan rakyat. Permainannya tentu tidak bisa, menandingi kehebatan The Special One yang selalu mengisyaratkan bek-beknya menjatuhkan lawanya menggunakan srodot pinggang. Lawan kesakitan, bola terlepas sehingga kesempatan menyerang balik. Politikus kita masih seperti, pelatih-pelatih sepak bola Indonesia yang hobi menggolontorkan uang tapi akuntabilitasnya kalah sama LSM-LSM lingkungan hidup di desa. Jalan suram pun menjadi lorong-lorong yang harus dilewati oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia tersebut.
Diangkat di Senayan, Pensiun di Sukamiskin, tutur Mantan Pejuang, Samidi (95) ketika bertemu di sela-sela merokok di angkrigan Pak Man Mertokondo. Wajahnya keriput, suaranya lantang, langkahnya tak mau kalah dari kawula muda Entah otak kolonial seperti apa, sehingga Kakek Samidi begitu apatis terhadap pemangku jabatan. Apakah pemangku jabatan itu sudah berkhianat padanya ? Atau ?
Uhuk-uhuk, batuk itu semakin menjadi-jadi. Adzan magrib sudah dikumandangkan Alex, ketua Badan Eksekutif Mushola (BEM) Walisongo. Kakek Samidi pun segera bergegas menuju mushola. Langkahnya diiringi ucapan.
Aku satu dari sekian ribu orang, yang bebannya tidak ada dipundak pejabat
sumber gambar : bola.net