Beragama Cheleaders

9 Jan 2016 15:12 1741 Hits 0 Comments
Layaknya Pizza, nilai-nilai intoleran itu terus digeneralisir melalui jalan apapun untuk menciptakan kekeruhan

 

“ …… sibuk beragama lupa bertuhan.” (Emha Ainun Najib)

Di penghujung tahun 2015 sepertinya nilai-nilai toleransi negeri ini semakin suram.  Melihat potret keberagaman sepertinya sudah tidak bisa di elakkan lagi orang-orang itu.  Rupanya manis, kumisnnya klimis bak orang pipis di tengah gerimis.  Sebut saja “Negeri Penyamun” yang tak pernah henti-hentinya dilanda badai-badai intoleran.

“Negeri Penyamun” istilah cerpenis Martin Aleida karena tak pernah menggubri korban  65. Matanya sudah tidak awas, kakinya tak kuat menahan bobot tubuhnya yang kurang dari 45 kg.  Barangkali ada yang tahu, kalau “Negeri Penyamun” memberikan kehangatan bagi komplotan berjubah putih bermoral perih.

John Elposito dalam Unholy War menanyakan, Apakah benar agama itu mengajarkan nilai-nilai intoleran serta pengingkaran terhadap negara ? . Karena sebuah nilai terlalu mudah ditafsirkan oleh orang-orang yang tak tahu arti nilai itu sendiri. Sehingga Gus Dur pun dinilai buta mata sekaligus buta hati oleh tokoh yang amat agamawan.

Tak pernah habis-habisnya menanamkan nilai yang toleran kepada warga. Tak pernah berhenti pula kaum agamawan menanamkan nilai kebencian terhadap kepercayaan laiinya.  Sehingga di generalisir seperti Pizza.  Thomas L Friedman dalam The World is Falt mencontohkan betapa mudahnya pizza di kenal di jepang. Sehingga menjadi Sushi Pizza, Bangkok menjadi Thai Pizza, Libanon menjadi Mezze Pizza.  Hanya karena generalisir teknologi yang selalu update setiap tahun, bulan, minggu, bahkan hari.  Layaknya Pizza, nilai-nilai intoleran itu terus digeneralisir melalui jalan apapun untuk menciptakan kekeruhan. Antitesanya tentu nilai-nilai toleransi berjalan lebih kencang dari intoleran.

Kita sudah terlalu jauh mengedepankan nilai formalistik daripada subtansi.  Dalam bahasa Gus Mus kita terjebak beragama daging.  Selalu menonjolkan nilai-nilai formalistik tanpa memahami subtansi. Sehingga Sumanto Al-Qurtuby pun menamakan agama asesoris, agar seseorang dapat terlihat lebih shaleh daripada yang tidak daging, tidak formalistic, dan tidak memakai asesoris.

“Mari bertuhan dengan penuh kedamaian,” tutup Istri Presiden Gus Dur pada acara  saur bersama di Gereja Kebon Dalem, Semarang

 

Tags opini

About The Author

Fadli rais 42
Ordinary

Fadli rais

Pecinta mamah muda made in Indonesia
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel