"Hidup untuk Makan"

7 Jan 2016 20:35 2635 Hits 0 Comments
Meski kita tahu bahwa “makan untuk hidup”, tetapi dari style-nya ternyata banyak di antara kita yang mempraktekkan “hidup untuk makan”. Acara-acara kuliner di televisi seolah membuktikan bahwa makan bukan lagi sekadar untuk menyambung hidup, tetapi lebih ke arah memuaskan gaya hidup, selain tentunya memanjakan urusan lidah dan kerongkongan semata.

Sebagai manusia, kita tak menyangkal bahwa kita memang butuh asupan makanan agar raga dan jiwa kita bisa tumbuh dan berkembang. Rasa-rasanya kita juga tahu alasannya mengapa kita harus memasukkan makanan dan minuman ke dalam tubuh kita. Ya, karena manusia membutuhkan energi dalam melakukan aktivitas dan tetap hidup--maksudnya masih berfungsinya jantung, paru-paru dan organ vital lain. Asupan makanan ke dalam tubuh manusia juga akan menghasilkan energi. Bagaimana proses pembentukan energi di dalam tubuh?

Saya pernah belajar kimia ketika belajar di sekolah kejuruan analis kimia, masuk di akhir tahun 80-an. Secara sekilas bisa dipahami bahwa energi dalam tubuh tersebut dihasilkan dari hasil ekstraksi energi yang terkandung di dalam ikatan-ikatan kimia pada molekul makanan dengan cara mengombinasikan molekul makanan dengan oksigen di dalam mitokondia sel. Molekul-molekul makanan yang digunakan adalah glukosa dari metabolisme karbohidrat, asam amino dari metabolisme protein, juga asam lemak dan gliserol dari metabolisme lemak. Tubuh manusia sudah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah Ta’ala, bahkan manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, fii ahsani taqwiim. Masya Allah. Itu semua kehendak-Nya.

Meski kita tahu bahwa “makan untuk hidup”, tetapi dari style-nya ternyata banyak di antara kita yang mempraktekkan “hidup untuk makan”. Acara-acara kuliner di televisi seolah membuktikan bahwa makan bukan lagi sekadar untuk menyambung hidup, tetapi lebih ke arah memuaskan gaya hidup, selain tentunya memanjakan urusan lidah dan kerongkongan semata. Seorang teman ada yang sudah hapal di mana jajanan yang enak jika bepergian ke suatu tempat. Bukan hanya teman yang memiliki ‘naluri’ jajan seperti itu, jika saya kebetulan diundang mengisi acara bedah buku atau talkshow remaja di berbagai kota, panitia seperti merasa harus memuaskan tamunya. Ya, yang paling mudah adalah saya diajak mencicipi beragam makanan. Mungkin tuan rumah ingin memberikan kesan kepada tamunya tentang makanan-makanan khas di daerah tersebut.

Salahkah teman saya yang tahu betul jenis jajanan dan tempat jajan enak? Salahkah teman-teman panitia yang mengundang saya untuk sebuah acara namun di sela-sela waktu kosong mereka mengajak saya mencicipi makanan enak dan lezat? Tidak. Sebatas memang yang dibutuhkan tubuh, sewajarnya, bukan memaksakan harus memenuhi keinginan semata.

Style “hidup untuk makan” sudah tampak nyata di depan mata kita, dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin saja kita terlibat di dalamnya. Jam makan siang di kawasan perkantoran adalah pertunjukan paling mudah dilihat. Mereka yang isi dompetnya tebal, memilih resto yang bisa mengangkat derajat gengsinya. Jangan heran pula jika banyak eksekutif muda di Jakarta memilih sengaja makan siangnya ke Bogor atau Bandung demi mencoba jajanan baru yang diiklankan media atau melalui obrolan kawan-kawannya di situs jejaring sosial. Melalui jalan tol mereka bisa pulang pergi dengan mudah dan cepat setelah menuntaskan hasratnya menggoyang lidah makanan incarannya.

Jika demikian faktanya, kita patut interospeksi diri. Di tengah banyak saudara kita yang sulit mendapatkan makanan yang layak santap, justru banyak di antara kita yang menjadikan pola makan dan tempat makan sebagai sarana mengangkat gengsi. Seringkali alasan demi gengsi menjauhkan kita dari rasa empati kepada sesama. Padahal, Islam sudah mengajarkan bagaimana kita harus peduli, hingga urusan makanan. Dari Abdullah bin Musawir berkata: Aku mendengar Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menyebutkan Ibnu Zubair, lalu menuduhnya sebagai orang bakhil. Kemudian berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah disebut mukmin orang yang kenyang sedangkan tetangganya di sampingnya kelaparan” (HR Bukhari, dalam al-Adab al-Mufrad)

Lalu, apakah ini artinya kita tidak boleh sama sekali memanjakan lidah dengan makanan enak dan lezat di tempat makan yang prestisius? Tidak juga. Silakan saja. Sekali-kali boleh. Asal jangan dijadikan sebagai gaya hidup. Sebab, jika sudah menjadi gaya hidup, kecenderungannya akan mendapatkan label “hidup untuk makan”. Kita menjadi orang yang mencampur-adukkan antara kebutuhan dengan keinginan. Bahkan sangat boleh jadi kebutuhan dikalahkan oleh keinginan syahwat kita. Itu tidak bisa dipungkiri.

Namun yang wajib kita perhatikan adalah, Islam mengajarkan kita untuk mengonsumsi makanan yang halal dan tayyib. Allah Ta’ala berfirman dalam al-Quran: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya.” (QS al-Maa’idah [5]: 88)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala menjelaskan:“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 168)

Rasa-rasanya, dengan kedua ayat ini kita sudah mafhum, bagaimana seharusnya kita bersikap. Toh, apapun yang kita makan—lezat, nikmat, dan dibeli di tempat jajanan mewah—pada akhirnya juga sisa serapan sari makanan akan menjadi kotoran.

Salam,

O. Solihin

*gambar dari sini
Tags

About The Author

O. Solihin 20
Novice

O. Solihin

Editor di Buletin gaulislam.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel