Cinta yang Gugur di Tahun Baru
Oleh: Baiq Cynthia
Desember telah di depan keningku. Aku lewati lagi tanpa kejelasan status. Semuanya tampak buram, di saat setiap orang mempersiapkan hadiah natal dan pohon yang yang dihiasi pernak-pernik indah. Beberapa hari lagi pun langit akan diwarnai oleh kembang api yang berkilau. Namun, tak ada rasa keinginan untuk ikut tertawa bersama semua orang di dunia ini.
Tahun baru hanya sebuah ilusi maya bagiku. Suara letupan petasan terus ramaikan malam ini, bagaikan semprotan meteor dari bumi. Aku mendongakkan wajah ke langit. Tergambar wajah yang selama ini menghantuiku. Sosok terang dalam gelap. Semringan dan wajah senduhnya membingkis kesyahduan malam itu. Tanpa kutahu bulir bening itu jatuh dari pelupuk mata. Â
“Sepuluh … Sembilan,†suara penghitungan mundur untuk bunga api secara serentak di tengah malam yang riuh ini.
“tiga … dua … satu! Door…door…door….â€
“Coba lihat yang di sana!â€
“Wah, indahnya!†Gemerisik beberapa orang di belakangku.
Aku hanya menyeka butiran hangat di pipi, tanpa bisa tersenyum dan gembira seperti pengunjung lain yang menyaksikan pelepasan kembang api serentak di Pulau Seribu Pura. Wajah itu tak pernah hilang dari bayanganku. Aku merindukannya, tapi apa daya. Tanganku tak mampu merangkulnya kembali.
Hujan mulai memadamkan satu-persatu kembang api yang terlukis di langit. Seketika langit yang cerah berubah, gelap! Kemeriahan tiada. Orang-orang menyemut, termasuk aku. Mencari perlindungan dari derita tangisan langit  karena asap kembang api. Wajah itu tak nampak lagi kecuali kilat dan suara gemuruh. Perayaan tahun baru ini bisa dikatakan mengecewakan warga Badung.
“Hei, Yeni! Kenapa engkau termenung seperti katak tak bertemu tempurung,†suara Disni membuyarkan lamunanku.
“Aku tak apa-apa. Lelah, membuatku mengantuk!†sembari mengacungkan jempol pertanda tidak ada masalah. Dia salah satu rekan kerjaku.
           Aku hanya tersungging sedikit, lalu meninggalkan orang-orang masih berteduh. Mengabaikan jejatuhan butir-butir hujan yang terasa sakit membentur kepalaku. Semakin lama kecepatan berlariku melemah. Kaki terasa lunglai, hingga tak merasakan sakit diguyur hujan.
           Sepi. Tak ada aktivitas manusia selain lalu-lalang kendaraan yang tak memperdulikan keberadaanku. Semua terasa asing. Dini hari itu, aku kembali ke kamar mini yang dibayar setiap bulan. Mataku berat, hanya sempat membersihkan diri dan tertidur di kasur mungil.
Â
~*~
Â
“Anakku sudah dewasa, kali ini terlihat indah dengan baju yang engkau kenakan,†senyum elok tertuju kepadaku.
“Tak ada sosok indah selain dirimu, Bunda,†hatiku terasa tentram. Belaian tangannya menyentuh rambutku.
           Sosok setengah baya duduk disampingku, seraya terus menceritakan tentang pesan Ayah yang menyatakan bahwa aku hanya boleh menikah setelah karir didapat dan mampu membahagiakan Bunda tersayang. Ayahku seorang militer yang nyawanya diambil Malaikat Isrofil saat dia bertugas di Sulawesi. Seorang tak dikenal menghunus jantungnya dengan peluru. Kebersamaan kami hanya sementara, aku anak satu-satunya yang meratapi. Karena sendiri, tak punya adik atau kakak.
           Walaupun hanya hidup tanpa kepala keluarga, jalinan kasih Bunda masih bersemayam bersamaku. Walau sesaat. Meninggalkan Bunda demi karir di Pulau Dewata adalah hal yang berat. Aku diterima di salah satu perusahaan penerbangan sebagai pramugari. Menjadi pelayan di pesawat menjadi tugas yang berat, tetapi aku lewati. Segala ketakutan hilang secara perlahan, semenjak menikmati pekerjaan. Memberikan arahan kepada penumpang. Hingga memasang sabuk pengaman penumpang.
           Setiap tahun nyaris tak pulang kampung. Pekerjaan menuntutku konsisten. Getir manis kulalui tanpa ingin berbagi cerita yang tak menggembirakan kepada orang tersayang. Suaranya hanya terdengar tanpa berjumpa. Pertama kali menjejalkan langkah berkarir, usiaku 19 tahun. Kini empat tahun terasa singkat. Lalu, memutuskan resign dari perusahaan yang selama ini menampungku. Sadar atau tidak, terasa terbelenggu dalam limpahan uang. Seraya teringat pesan Ayah. Aku kembali di bulan ini. Bulan ke sebelas dalam almanak. Agar lebih efisien, kutempuh melalui udara. Sampailah di bandara, empat jam melanjutkan perjalanan. Kini aku tiba di tempat keluarga Suharo tinggal. Tetapi, heran. Atribut yang dipasang di depan rumah. Yang aku lakukan hanyalah menerobos kerumuhan orang-orang. Namun, aku mendapati sosok paruh baya yang selama ini memberikan semangat telah dibaluti oleh kain putih dan bertabur bunga mawar. Rasanya separuh jiwaku pergi.
           “Kenapa kalian tak mengabarkan!†setengah terisak hingga suara memekik. Salah seorang wanita, kini merangkulku ke kamar. Memelukku dengan erat. Aku mendengarkan bisikannya yang begitu lembut. Beliau mengatakan, bahwa banyak orang mencoba menghubungiku lima jam yang lalu. Namun, sulit dihubungi. Maka, proses pemandian, pengkafanan dilakukan setelah beberapa kerabat di luar kota didatangkan. Lalu, aku menyadari. Bahwa beberapa jam lalu masih di dalam pesawat. Juga lupa untuk mengaktifkan setelah turun dari pesawat.
           Aku menangis bukan karena dirinya menyusul Ayahku ke Surga. Namun, aku tak tahu penyebab hilangnya nyawanya.
           Kubuka perlahan, kain suci yang menutupi wajahnya. Senyum, terpoles kaku dan seakan mengisyaratkan kepadaku. “Aku bahagia, Nak!†Tak kuasa menahan bulir bening jatuh dari kelopak mataku, dan kucium kening orang yang rahimnya pernah kusinggahi. Sosok yang selalu menguatkan pundakku untuk berdiri. Yang tak pernah sekalipun menyakitiku dengan apapun.
           “Mbak permisi, jenazah akan disholatkan! Mohon berdiri dan merelakan agar kami membawa ke masjid!†Badanku kaku, tak bisa menahan, pun tak bisa menolak. Terasa masih lima menit memelukknya. Batinku ingin meronta keras, namun mulutku terasa terkunci. Kurelakan kepergiannya. Sesaat mayat keluar dari pintu.
“Tidak…jangan bawa pergi Bunda! Kalian manusia kejam. Membuatku menjadi sendiri,†aku berteriak histeris. Hingga beberapa warga memegang badanku agar tak menahan mayat untuk dibawa keluar dari rumah. Beberapa bisikan orang merasa iba kepadaku, dan beberapa lagi yang lain berbisik marah hingga terlihat sinis memandangku. Aku tak peduli apa yang mereka lakukan. Yang aku ingin Bundaku kembali.
Mataku terasa perih dan terbakar, punggungku terasa sakit. Hingga kepalaku terasa berat. Pandanganku kabur dan kemudian gelap. Aku jatuh pingsan. Tak tahu apa yang terjadi saat itu. Mungkin orang-orang panik dan membawaku ke kamar untuk mengistirahatkan badanku yang telah lelah oleh perjalanan.
“Berbahagialah! Engkau bisa melanjutkan hidupmu tanpa diriku lagi, aku lebih nyaman di sini. Tentram tanpa ada risau dan cemas lagi. Jalanmu sudah tepat. Tapi, ingatlah kepada yang menciptakanmu. Kamu akan dikembalikan. Lakukan semuanya dengan lapang dada dan jujur. Semuanya akan berakhir indah walaupun masalah yang menghampirimu begitu dasyat. Ingatlah! Bunda selalu menyanyangimu, Nak,†aku mendengarkan suara Bunda yang menentramkan jiwa.
Tetapi, tak dapat melihat sosoknya dengan jelas. Nampaknya beliau berbusana gaun yang putih nan bersih. Rasanya dia hadir walaupun sekedar melalui mimpi. Aku terbangun dan tanganku terasa basah. Berkeringat. Masih teringat senyuman di balik kain polos yang suci.
“Yeni, minumlah air putih ini!†Wanita yang tadi sempat memelukku dengan erat memberikan segelas air. Aku lantas bertanya apakah beliau ada hubungan kerabat dengan kami? Aku tak mengetahui banyak tentang keluarga Bunda. Yang aku tahu hanya beberapa yang diantaranya sinis melihatku saat jenazah akan dibawa.
“Mungkin kamu tidak mengenali saya, namun saya mengetahui kamu. Mungkin pula Bundamu tak menceritakan kepadamu. Satu hal sayang, yang harus kamu ketahui. Dulu saya pembantu di rumah ini. Namun, saat ayahmu pernah membuat saya berbadan dua. Kemudian mengusir pergi dan tidak ada pertanggung jawaban dari keluarga kamu. Hingga saya kehilangan janin saya. Sudahlah itu sudah berlalu,†terangnya hingga berkaca-kaca.
“Ketika kamu di Bali. Saya diajak tinggal bersama Bundamu. Kami tidak sengaja bertemu di Pasar minggu. Awalnya saya sungkan dan ragu. Namun, Bundamu setengah memaksa, ingin menebus kesalahannya dengan mengajak saya tinggal di rumah ini. Saya pun tidak keberatan. Karena saya juga janda dan tempat tinggal telah dijual saat butuh uang untuk membayar hutang-hutang saya,†kini wajahnya tertuduk lemah.
Aku mendengarkan tanpa ingin menjeda atau pun berkomentar. Beliau bertutur hingga saat Bundaku sakit keras, karena merindukanku. Bundaku sering menangis dan mengigau. Ingin bertemu, namun kondisinya lemas. Ingin menyuruhku pulang, namun aku begitu menyukai pekerjaanku. Sehingga enggan mengajakku kembali.
Demi uang aku menggadaikan rasa kerinduan seorang Ibu. Merampas semua rasa ingin bejumpa. Sosok yang melahirkan diriku ke dunia untuk bahagia bersama. Tega! Aku terlalu menikmati suara halusnya dan beliau mengatakan, tidak apa-apa. Beliau menahan rasa sakit kesendirian. Sekarang aku baru menyadari arti kehilangan. Kehilangan rasa cinta yang tak menandingi kesempurnaanya.
Â
Â
Oleh: Baiq Cynthia
Mahasiswi IKOM di Universitas Muhammadiyah Malang.