Berjuang Untuk Hidup

14 Dec 2015 23:41 2234 Hits 0 Comments
Ini kisah anak dan istri di tinggal suami. Sebuah inspirasi hidup.

Dalam lorong kecil, jalan remang-remang masih menyelimuti gang kecil. Sulit rasanya jalan itu terkena sinar, karena lorong itu dihimpit dua bangunan-bangunan tinggi. Beberapa bangunan yang ada di jalan ini masih terdapat anjing-anjing yang masih suka menggong-gong disetiap kali di lewati orang.  Tepat di tengah gang  anak kecil yang sedang berjalan menuju sekolah dimana dia tinggal belajar. Seorang anak masih berjalan dengan sabarnya. Saat pagi hari orang-orang belum melakukan aktifitas dia sudah melakukan bergegas terlebih dahulu untuk bersiap-siap untuk pergi belajar.

Manusia kecil ini masih berjalan dan digunakan untuk memegang sebatang kayu. Kayu tersebut berfungsi untuk menyangga salah satu beban badanya, kedua kakinya hanya satu yang bisa di fungsikan jalan. Kakinya hanya satu yang bisa berfungsi untuk di gerakan, bahkan bisa dikatakan mati tanpa gerak sama sekali dan tidak ada rasanya sama sekali jikalau kakinya di cubit. Pantang menyerah anak ini dalam mencari ilmu ini bisa tak pernah padam, meski kakinya kurang kurang normal, tidak seperti anak-anak  seperti biasanya berlari, bermain bola.

Komet duduk di bangku sekolah dasar, dia baru saja menginjak ke kelas 3. Komet bisa melewati jarak dari rumah ke sekolahnya di tempuh dengan 2 jam dengan jalan kaki.. Dan dia berangkat sekolah pukul lima pagi, agar komet bisa nyampe jam 7 pas dia harus berangkat dair rumah pukul 5 WIB. Dia anak yang kurang perhatian dari orangtuannya. Sungguh tega seorang Bapak ini, ketika tahu bahwa anaknya cacat fisik, dia langsung meninggalkan anaknya dan juga istrinya, ibu komet tersebut.

“Komet...komet... nanti uang sakunya di atas meja ya, ibu mau ke pasar dulu. Siap-siap dagang”, Ibu komet menitpkan uang sakunya untuk dia bawa ke sekolah. Komet biasanya di kasih uang saku sebesar Rp 3000 rupiyah. Dengan dunia yang sangat serba mahal, komet masih menerima uang saku yang dikasih ibu seadanya. “ iya bu, makasih”, jawab komet. “ jangan lupa nanti hati-hati kalau berangkat sekolah hati-hati, sarapan dulu, dan berdoa sebelum berangkat”, ibu komet seolah-olah perhatian sekaligus khwatir terhadap kondisi anaknya.

Lorong itu sudah hampir selesei dia lewati, itu artinya dia sudah hampir sampai ke sekolahanya, dimana dia tempat belajar. “Hey..hey komet, ayo sini gabung kita belajar nulis lagi”, temen-temen komet selalu mengajak mereka gabung dalam belajar untuk bisa dalam tulis-menulis yang di bimbing oleh Guru Bahasa Indoensia di kelasnya. Temen-temenya sangkat suka berteman dengan komet, meski dia tidak normal dalam segi fisik. Komet banyak yang menyukai karena dia cakap dalam membuat karangan-karangan, baik itu cerpen ataupun puisi.

“Dani, kamu besok mau gak nemenin aku lomba ke SMA 16 Jakarta. Aku direkomendasikan guru kita pak Hasan utnuk ikut dalam lomba cerpen tingkat Nasional”, ajak komet ke salah satu temannya. Biasanya Komet selalu mendapatkan peringkat yang memuaskan atas lomba-lomba yang Ia ikuti, lumayan Komet bisa merungi jatah sangu meminta dari orang tuannya.

Kerajinan dia dalam menulis membuat dirinya merasakan enaknya menjadi seorang siswa. Hal ini membuat dia betah sekolah, betah belajar, meski dalam kenyataanya dari faktor fisik dan ekonomi dia jelas kekurangan. “Manusia memang tak ada yang sempurna, Tuhan tidak mungkin membuat seorang hambanya bisa mati kelaparan. Tuhan tidak mungkin membiarkan hambanya tika bisa bergerak untuk berusaha dalam melakukan sesuatu”, Komet selalu berfikir postif terhadap apa yang iya hadapi.

Tiba sore hari, matahari tenggelam dengan sendirinya. Gubuk kecil yang terbuat dari teriplek, dan atapnya di tutupi dengan asbes sudah cukup nyaman untuk mereka tinggal berdua dalam sebuah rumah. Gubuk mereka lumayan terpencil dari rumah-rumah yang lainnya, “Ibu, kapan kita bisa pindah dari ruangan pengap ini, aku gak betah bu, kapan bapak jemput kita bu”, komet mengeluh terhadap yang tepat di depannya.

Komet berbaring di atas ranjang yang terbuat dari anyaman bambu. “ sabar Met...sabar. Bapakmu pasti datang nanti jemput kita, kita akan tinggal di rumah gedung yang tinggi, di dalamya ada kulkas, ada TV, ada ruangan khusus kamu menulis, dan nanti Bapakmu membelikan laptop, biar Komet menulis ceritanya dengan gampang”, Ibu Komet mencoba menenagkan diri, dan menenangkan anaknya. Komet memang anak yang manja, tapi kemanjaanya itu ditutupi dengan kondisi kehidupanya yang serba kekurangan.

Siapa  yang tidak merasa bersedih hati,  kondisi ekonomi selalu mengrogoti kehidupan mereka berdua. Dimana peran pemerintah saat ini. Dimana para pejabat yang saat kampanye selalu menjanjikan kesejahtraan rakyatnya. Hidup serba kekurangan yang dialami mereka cukup mengerikan. Kondisik fisik Komet yang tidak sempurna juga menjadi beban mereka. Kemanjaan selalu disembunyikan dalam raut wajah Komet, tetapi Komet sudah memahami bahwa dirinya dan Ibunya tidak seperti temen-temn komet yang lainya.

Allahu Akbar...Allahu Akbar... adzan berkumandang terdengar. Komet selalu bangun pagi disaat adzan dikumandangkan. Kesibukan di pagi hari selalu dirasakan Komet dan Ibunya. Ibunya menyiapkan dagangan untuk untuk dipasarkan. Komet mempersiapkan alat-alat sekolah sekaligus dia harus berangkat pagi untuk tidak telat datang ke sekolahnya.

Seminggu setelah dia lomba. Pagi itu Komet datang dalam  dengan wajah cerah, keringet masih bercucuran di pelipis Komet. Kemudian duduk di bangku samping Dani. “Dan aku mau ngajak kamu ke warnet mau lihat info kemarin”, Setelah sampai ditempat warnet Komet langsung bergegas membuka alamat web yang dia ikuti, mata komet fokus ke hadapan layar, dani sibuk memainkan Hp yang sedang di pegangnya. Komet mengutak ngatik tangannya dengan sibuknya. Wajah Komet kaku dan tangannya mengusap kedua wajahnya, “Alhamdulillah Dan, Aku juara I lagi”, ucap Komet dengan mata berbinar-beniar.

Dani langsung merespon kegembiraan yang sedang dirasakan Komet. Dani mengelus-ngelus punggung Komet, hari ini komet pulang ke rumah dengan badan tegap. Meski dengan jalan yang tidak sempurna karena kondisi fisiknya. Komet selalu semangat apa yang sedang di jalaninya, dia sedang belajar dan sedang berusaha untuk bisa hidup lebih kuat lagi. Belajar adalah hal tebaik bagi masa depan kita, jangan sampai gara-gara putus ekonomi putus sekolah. Kreet... suara pintu yang dibuka oleh Komet, seorang ibu yang sedang duduk termenung memikirkan nasib hidup untuk masa depan Komet. “Ibu...Ibu...Ibu, aku dapet juara lagi bu, juara cerpen tingkat nasional”, Komet langsung memberi tahu kabar gembira ini kepada Ibunya.

“Alhamdulillah met, kamu memang anak yang baik, anak yang rajin, aku bangga kepadamu met. Suara sesak yang keluar dari seoarang wanita paruh baya tersebut. Komet memang seling mengikuti lomba-lomba yang disarankan oleh salah seorang guru bahasa Indonesia di sekolahnya, gurunya menyarankan Komet selalu updet ke warnet agar bisa mengakses info-info lomba yang Ia inginkan. Komet selalu mempertaruhkan uang jajan untuk bisa masuk warnet. Setiap kali Komet menulis dalam bentuk gawai, kemudian Komet langsung menyerahkan ke gurunya untuk di ketik dalam bentuk file agara bisa dikirim langsung lewat e-mail.

“Sayang sekali, temen-temenku yang mempunyai fasilitas yang memadai, tidak bisa memanfaatkan apa yang dimilkinya. Komet masih memikirkan teman-temanya, saat ini Komet masih duduk di hadapan Ibunya. Ibunya semakin kuat dan tambah tekat butal untuk menyekolahkan anaknya itu, dengan keterampilannya dia selalu bisa menambahkan uang saku yang di beri Ibunya.

“ Kamu jangan pernah mau berhenti sekolah selama ibu masih sanggup utnuk membiayayi dirimu untuk menuntut ilmu. Ilmu adalah segalanya utnuk kehidupan kita nanti, harta bisa habis, tapi ilmu takan bisa habis, uang bisa habis, tapi tulisanmu gak bisa habis, teruslah berkarya nak”, seorang Ibu yang awalnya ragu dan banyak pertimbangan dengan kondisi sosisal, ekonomi, dan melihat keadaan fisik yang ada pada diri komet tersebut.

Mempunyai seorang Bapak yang tidak bertanggung jawab seolah tidak sama sekali membuat hati seorang Ibunya sedih, dan harus berjuang melawan hidup tanpa seorang kepala rumah tangga. Dia harus banting tulang tiga kali. Dia sebagai seorang ibu harus menunjukan ketegaran untuk menunjukan kepada anaknya.

Sumber foto:statusgombal.com

About The Author

Jaedin el-Barbazy 26
Novice

Jaedin el-Barbazy

Jaed, penikmat lagu dewa. Mahasiswa UIN Walisongo Semarang.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Jaedin el-Barbazy