Ditengah keramain para aktivis-aktivis anti-MKD (Mahkamah Katok Dawa) menyebarkan selebaran COPOT SETYA NOVANTO. Saya kembali tertegun dengan masalah klasik antara muslim dan non-muslim yang selalu di banding-bandingkan. Entah, kenapa kedua komunitas itu selalu saja mencari buah bibir yang tidak bakal habis. Seringkali wall facebook  di hiasi perdebatan tiada akhir yang mementingkan ego. Perdebatan untuk menghasilkan kemenangan satu kubu, itulah tujuan yang selalu ditanamkan para debaters di wall facebook.
Media di Indonesia sepertinya tidak menganggap hal tersebut sebagai permasalahan serius.  Tapi untuk ini, lho.  Masalah Om Trump, yang berkoar-koar di mimbar khotbah yang melarang muslim masuk ke Negeri Paman Sam.  Alasanya adalah jelas, Om Trump tidak seterkenal Nikita Mirzani dan Setya Novanto yang sedang terseret kasus “parodi politikâ€. Â
Om Trump, kayaknya terlalu spaneng ketika mau mengikuti pemilu di USA. Sehingga om lupa bahwa dirimu lah capres yang dimulyakan oleh Partai Republik. Om Trump, saya jadi ingat ketika kakek tua menasihati Don’t judge book by cover kala mau membeli buku. Melihat om yang menggunakan jas, berdasi seperti orang kantoran yang memiliki etos kerja yang tinggi serta akhlaq al-karimah.  Ternyata itu, mimpi jomblo di siang bolong.
Aku tidak pernah membayangkan seorang calon pemimpin negeri adidaya sangat dihormati memiliki capres yang amoral. Banyak pemimpin-pemimpin Negara titip salam kepada om, kalau om itu sudah melenceng dari nilai-nilai AS. Â Howalah, om kok bisa seperti itu. Saya tidak habis pikir, padahal om punya segala-galanya. Mulai dari harta, tahta dan wanita. Â Kok bisa tiba-tiba lidah tak bertulang itu berucap yang menimbulkan orang sengit.
Orang-orang AS yang saya kenal lewat karnya begitu keras dan mengutuk ucapan-ucapan rasis. Salah satunya Charles Taylor “Identitas seseorang tidak akan mungkin statis, dia akan dinamis seperti halnya bunglonâ€. USA, menjadikan cerminan anti hate speech karena  dapat memunculkan gesekan-gesekan antar etnis dan agama. Identitas orang yang selau berubah-ubah menandakan kita untuk tidak cepat men-judge personal kesebuah sekte, ideology, ataupun agama. Orang berjenggot panjang dan berjubah memiliki pemikiran cekak agama, tidak serta merta orang yang berjenggot pendek memiliki lepas dari pemikiran pendek soal agama.
Dalam pentas Teater Asa, UIN Walisongo berpesan, semakin tebal gincunya seseorang semakin tebal pula boroknya .  Huft, repotlah kalau Om Trump semakin tebal muka maka semakin bebal pula pemikirannya. Ah, sudahlah Om Trump, hanyalah manusia yang menjadi sarang kelupaan dan kesalahan. Om Trump, dikenal oleh masyarakat kita karena adegan selfinya dengan “wakil rakyat†semacam Om Senov dan Fadli Zon.
Â
sumber gambar : www.the-newshub.com