Matahari sedang bersinar terik saat kami berhamburan keluar kelas masing-masing setelah bunyi bel tanda usai sekolah berbunyi. Mataku jelalatan kesana kemari, menghindari tebaran kulit pisang dan kotoran binatang yang entah kenapa populasinya meningkat drastis semenjak ada Jimi yang kini ku awasi dengan seksama dari belakang.
Tiba-tiba Jimi berbalik. DEG! Jantungku serasa mau copot.
Tidak hanya itu, dia kini berjalan ke arahku, melawan arus siswa-siswi. Aku sempat terpaku beberapa saat, hingga akhirnya dia berpapasan denganku, sekilas ku lihat raut mukanya, seperti ada yang mengganjal di benaknya. Dia kemudian berlari menuju kelas. Ku sadari betapa bodohnya aku jika saat dia kembali aku masih berdiri di sini. Akupun melanjutkan langkahku ke luar area sekolah.
Sesampainya di depan pintu gerbang, kurasakan leherku kram. Bagaimana tidak, aku harus melakukan senam leher berulang-ulang, menoleh ke depan dan ke belakang, mencari tanda-tanda kemunculan Jimi sambil tetap waspada terhadap rintangan yang akan ku lalui di depanku sepanjang perjalanan.
Jazz warna Rallye Red di seberang jalan menyalak dua kali, membuyarkan lamunanku yang masih berdiri mematung memandang ke arah sekolah. Dodi, mungkin dia sudah lama menungguku di sana. Kesalahan fatal dalam rencanaku membuntuti Jimi: aku lupa kalau setiap hari diantar jemput kakakku. Sial.
“Nunggu siapa, lu?†Kata Dodi setelah aku duduk.
“Gak ada†Sahutku lalu Dodi melepaskan handbrake, tiba-tiba Jimi keluar melewati gerbang sekolah sambil mengendarai Mio. Dia pergi ke arah yang berlawanan. Aku berusaha keras menahan mataku untuk tidak meliriknya dan menahan leherku agar tidak menoleh mengikuti kepergiannya, namun gagal. Sial.
“O… Cewek… Cie…†Kata Dodi lalu mulai menginjak pedal gas.
Aku tersedak.
Â
Â
“Plis, Ma…†Rengekku.
“Enggak†Jawab beliau datar.
Aku mulai melancarkan serangan ke-dua. Memasang tampang imut dan memelas, jurus ini ku pelajari dari komik Crayon Shinchan. Benar saja, dalam hitungan detik, pancaran cahaya mataku menembus hati Mama. Ku lihat beliau akhirnya luluh, lalu perlahan-lahan mendekatiku, meletakkan tangan beliau di pundakku.
“Nak…†Kata beliau dengan lembut.
“Iya, Ma…†Sahutku tak kalah lembut.
Ada jeda beberapa detik selama adegan itu yang membuatku menahan nafas, dan…
“Tetap enggak†Jawab beliau kemudian dengan datar. Ku hembuskan nafasku kencang-kencang sembari kentut.
“Ah……. Mama pelit……..†Erangku. Seluruh tubuhku terasa lunglai tak berdaya.
Gagal. Mama adalah tembok yang tidak bisa ku robohkan. Ku lirik Papa yang sedang duduk menonton TV, nah, kalau beliau, mungkin lain ceritanya. Aku kembali bersemangat.
Bersambung… Eh?
Ku hampiri Papa lalu ikut duduk di sofa, wajah beliau terlihat sangat serius.
“Pa…†Aku mencoba membuka percakapan.
“Hm…†Sahut beliau tanpa mengalihkan pandangan dari TV.
Aku memutar otakku, aku gagal dengan Mama saat mengutarakan maksud kemudian melemparkan jurus ngemis. Ku pikir aku harus mencobanya secara terbalik kali ini, rayu dulu baru meminta.
“Papa capek, gak, setelah seharian kerja?â€
“Enggak†Sahut beliau datar.
Gatot! Niatnya mau mijitin kalau dijawab iya.
“Papa haus? Doni ambilin minum?â€
“Enggakâ€
Buset, sudah dua kali dijawab tidak. Aku harus mencari pertanyaan yang jawabannya iya.
“Papa nonton TV……………?â€
Bruakakak.
“Hm…†Jawab beliau lagi.
“Err… Doni… Boleh gak…†Kalimatku terpotong oleh suara berisik langkah menuruni tangga, Dodi, menyusul Dedi di belakangnya.
“Pa… beneren boleh?†Tanya Dodi, mataku langsung mengejar ke arah Papa.
“Ya†Sahut Papa.
“Aku ikut, Pa†Susul Dedi, mataku kembali berlari ke arah Papa.
Lagi-lagi, “Yaâ€.
“Serius? Makasih, Pa†Sambung Dedi lagi, Papa hanya mengangguk-angguk sambil tetap menonton TV tanpa menoleh, mereka berdua kembali menaiki tangga sambil bersorak lalu menghilang dari pandanganku.
Sebegitu mudahnya!
“Doni juga boleh, Pa?†Kataku mencoba mencuri kesempatan.
Papa mendelik ke arahku.
“Err… Doni boleh bawa motor, kan, Pa…†Lanjutku menjelaskan.
Papa tersenyum, mengangguk-anggukkan kepala, lalu kembali menonton acara TV.
“Yeah…………………!†Sorakku sambil melompat dari sofa lalu berlari menuju tangga.
“Eh… Kapan?†Tanya Papa tiba-tiba menghentikan langkahku.
“Besokâ€
“Ke mana?â€
“Sekolahâ€
“No!â€
JLEBB
Â
*****
Â
Perasaanku campuk aduk, jengkel, marah, kecewa.
Ku sentil-sentil boneka tengul anggota bajak laut Mugiwara di lemari samping kasurku. Wajah kocak Luffy dan kru-nya yang kini manggut-manggut geleng-geleng tidak berhasil merubah suasana hatiku.
Ku rebahkan tubuhku ke atas kasur, pandanganku menyapu seantero kamar, menatap poster-poster Kamen Raider, Dragon Ball, Naruto, dan One Piece. Tiba-tiba aku teringat map dari Ibu Linda tadi siang. Aku segera bangkit dari ranjang. Ku pelajari setiap kertas yang ada di sana. Aha! Aku bergegas ke luar kamar, menuruni tangga sambil berlari.
“Mama mana?†Tanyaku pada Dina yang sedang berdiri dapur. Dia tidak segera menjawab, direguknya segelas susu di tangannya sampai habis kemudian menatapku.
“Kenapa, sih, berisik tau!â€
“Mama mana, Kak?â€
Dina hanya mengangkat bahu, mengusap noda susu yang menetes di piyamanya sambil menggerutu, lalu melenggang masuk ke kamar. Asem, dicuekin!
Mataku menatap nanar ke arah ruang tengah. TV sudah dimatikan. Mama dan Papa berarti sudah masuk ke kamar mereka. Akhirnya aku melangkah dengan gontai menuju kamarku. Masih ada kesempatan besok pagi hiburku dalam hati.
Â
*****
Â
Ku tatap Mama dari tempat dudukku di meja makan, beliau hanya melirik kertas-kertas dari Ibu Linda, kemudian lanjut mengolesi roti tawar.
“Ma?†Tanyaku sekali lagi.
“Enggakâ€
Semangatku yang mulanya berapi-api perlahan-lahan padam. Dodi berdehem lalu mengedipkan matanya kepadaku. Ku habiskan sarapan dengan perasaan hampa.
Dodi menahanku di depan pintu kamarku, mengacungkan sesuatu tepat di depan mataku, ku rebut kunci motor itu dari tangannya.
“Just today†Bisik Dodi, aku mengangguk lalu bergegas menuruni tangga.
“Ma, aku berangkat†Teriakku dari pintu depan.
Aku dan si Biru langsung melesat menuju sekolah. I got U, Jim.
Bersambung.
Who's got who?
Next issue ⇒ Si Meong (6) Release on Dec 16th, 2015
Cerita Sebelumnya ⇒