#19
Ritma Dunia
Jemariku masih ingain menari
-kan nada otakku yang terus berlari.
Sedang batukku menghempaskan lagu.
Â
Udara yang gatal menggaruk tenggorokanku tak henti.
Sedang asap tebal menghiasi kamarku yang berdebu.
Sedang rokok dan pena masih bertengkar di jemari.
Â
Tidurku yang putus asa, payah, tak berdaya.
Dikekang di kekang kalender dan jam dinding.
Sedangkan uang dan waktu tak pernah bergeming.
Â
Cinta O cinta
Kapan tidur kapan bekerja kapan tetap hidup
Celaka kau hatiku satu tak seimbang dengan dua mata
Â
Perahuku terjebak dalam pusaran dilema.
Jari manisku telah lelah menunggu dan bertanya.
Sedang kau tidak berpangku hati.
Â
Meteran dan timbangan
Cinta
Kita
Berbeda.
Â
#20
Bukan Tak Mau Tapi Enggan
Aku menggenggam pasir lalu membiarkannya berjatuhan, sungguh lebih kejam dari biadab.
Polisi menahanku agar anjing-anjing tidak berlompatan dari mulutku. Apa salah anjing, apa salah, anjing.
Aku merana pohonku tak bertelur kambing, tidak sapi, tidak kucing, ember saja, lalu pecahkan!
Polisi menahanku agar pantat-pantat tidak bertunggingan ke tengah jalan, bisa saja tukang ojek menabraknya lalu menggiringnya ke rumah duka ke rumah sakit ke rumah makan. Bisa saja. Terimakasih polisi.
Ke rumah makan, di sanalah.
Mana rumah, jika ada mana makan, jika ada mana aku.
Aku menggenggam pasir, pulang, nanti ku taburkan ke rekening-rekening listrik, ke kartu-kartu kredit, ke album-album foto, ke pigura-pigura, ke cermin.
Siapa yang membiarkanku berjatuhan saat aku menggenggam di dalam genggaman?
Cermin itu lebih kejam dari biadab. Bedebah saja yang ada di sana, berguling-guling minta pecahkan.
Â
#21
Amanat Pembina Upacara
Duit-duit yang saya cintai, bangsa ini adalah bangsa yang besar, sudah sepantasnya berdiri di antara yang besar-besar. Di sinilah kita belajar, maka buka mata lebar-lebar, tengok ke atas, lebih atas, lebih atas lagi! Ada sesuatu yang besar di sana menanti dengan lembar-lembar.
Duit-duit yang saya cintai, kalian adalah hasil seleksi ketat, seketat-ketatnya. Tidak ada tempat untuk cacing-cacing. Hanya kelas ular, hingga kalian naik ke kelas naga!
Naga menengah pertama, lalu naga menengah atas, lebih atas, lebih atas lagi! Mahanaga!
Duit-duit yang saya cintai, kita berdiri di sini, demi menyongsong masa depan cerah, lapangan kerja yang mewah, kolam-kolam yang bahkan kompor-kompornya juga basah. Untuk menuju ke sana jangan sungkan kasih makan! Kasih makan yang atas, lebih atas, lebih atas lagi!
Duit-duit yang saya cintai, budaya mulia ini harus dilestarikan, sejak buaian, sejak mengenal makna kemanusiaan: memberi makan! Kemuliaan ini yang membuat kursi kita naik ke atas, lebih atas, lebih atas lagi! Sampai cacing dimakan punah.
Â