#22
Dirantai Orang
Kau gadis seberang rumah.
Pipimu merah bibirmu merah, bolehlah dadamu ku buat merah…
Setiap pagi kau mencuci, setiap malam kau mengaji, bimbanglah aku meraih tanganmu.
Kau gadis seberang rumah.
Wajahmu cerah bibirmu pendiam matamu seterang kunang, ibalah aku kau tak punya ibu…
Setiap hari berangkat sekolah, setiap sore ku tunggu di balik jendela saja, nanti kau enggan melenggang juga.
Kau gadis seberang rumah.
Malam itu menjerit, bajumu koyak, kulitmu putih, mataku gelap, kau tersungkur, pipimu merah bibirmu merah, berdarah…
Tak kuasa aku kau menangis, ku lemparkan pisau itu ke tanah, membenturkan kepala ke dinding andai itu bisa menebusnya, nyawa yang hilang karena hilang akalnya.
Kau kini di seberang juga. Rumah baruku sempit di dada, lantainya dingin, temboknya gelap, jiwaku mengaduh, tanganku pelacur, tlah merobek jantung punggungmu.
Hari menunggu hukuman, kau datang pula menjenguk.
Tak kuasa aku kau menangis, aduhai… jangan kau tangisi jalang yang membuatmu dipanggil kini: yatim piatu.
Â
#23
Saat-saat Merindukanmu
Setiap malam, terbangun lalu duduk di sudut kamar, menatap ruang kosong di kasur, meraba relung kosong di hatiku, ku harap di sana ada kamu…
Setiap malam, meski masih tersisa penat kerja tadi siang, namun mataku terasa sulit tuk terpejam, menyusuri setiap kelokan di otakku, di sana ada banyak tentang kamu…
Setiap malam, selalu memikirkanmu,
ya, meski tak ada di sampingku, meski tak pernah berhasil mendapatkanmu, namun yang ku pikirkan selalu tentang kamu…
yang sekarang mungkin di bibir seorang pria yang tak ku kenal.
Setiap malam, hingga pagi menjelang, tak ada yang berubah,
terus-menerus memikirkanmu ternyata tidak berguna, tidak merubah jarak antara kita,
ku tarik lagi selimutku…
Setiap malam, menatap langit-langit kamar, tak mampu berbuat apa-apa, kecuali memikirkan kamu, lalu menelan ludahku,
hargamu semakin mahal seiring pemerintah menaikkan harga BBM, seiring Rupiah yang terus anjlok, hingga ku putuskan untuk berhenti hidup bersamamu…
Setiap malam, begitu berat, mungkin saja aku merindukanmu, bisa jadi aku mencintaimu…
Setiap malam, tanpa asbak dan kamu, Sam Soe…
Â
#24
Aku bohong berkata cinta, dusta berkata rela, aku sabar tapi berpura, aku munafik tapi diam
Aku memeliharanya dalam rumah, seekor kerudung, hari ini dia putih bersih, besok hari dia tidak dicuci, kemarin dia mencuci. Kerudung itu kini merenung di bawah mendung, ah, andai bisa dia bernyanyi.
Kerudung tetanggaku tidak diikat, hanya bergulung di malam hari, lalu telanjang seharian di bawah matahari, keracunan setiap hari, mengingatkanku pada kerudung yang dibawa temanku dua hari yang lalu, ku pikir aku bisa menipunya. Kerudungnya wangi, oh temanku yang malang…
Aku ingin membeli kerudung lagi, yang baru, yang bisa mengeong dan mengembik, atau seperti punya Bambang, peliharaan mandiri, cebok sendiri, sekolah tak perlu diantar, pandai meronta dan meminta.
Kerudungku semakin usang dilindas putaran jam, dia pernah menangis di tengah malam, aku hanya mengaduk terigu dan ku pikir telur-telur itu telah busuk, tidak ada yang mau menetas.
Kerudungku sepi dalam rumah, pernah juga ku bawa biji matanya ke pancuran tengah kota, semoga dapat mencucinya, tapi tetap saja tangannya hampa, menyesali pangkuan kosong dalam dekapnya.
Di bangunan putih dan hitam sudah pernah kami singgah. Nyamuk-nyamuk bersertifikat, lintah-lintah berijazah, kalong-kalong omnivora, pemakan uang, darah, sampah, sudah pula kami temui. Hasilnya sama saja, kami gagal, kerudungku lah yang gagal, kerudungku sampah.
Aku memelihara seekor sampah dalam rumah. Seperti bangunan-bangunan itu, memelihara sampah-sampah.
Tidak ada sampah di kerudung tetanggaku yang bugil, tidak ada sampah di kerudung temanku yang wangi, aku harus membeli, dengan menipu atau menyakiti.
Kerudungku terus menangis, aku hanya munafik, memeluknya, menyetrikanya agar rapi, sekaligus ingin mengasuransikannya lalu menabraknya sampai mati, agar bisa membeli kerudung lagi.
Malam itu aku naik ke atas jamban, kencing sambil berdiri, sambil duduk, sambil tiarap, sambil bernyanyi, berulangkali, sampai anjing berkokok, lalu ajaib, dia kemasukan air, tenggelam, dalam kedua telapak tangannya yang tertengadah. Kerudungku tersenyum, mengeluarkan dompet dan menyuruhku ke pasar, dia yang bayar.
Aku hanya munafik, maka ku bisikkan bahwa aku belum menyerah.
Lima tahun kemudian masih sama, rumah itu-itu juga, peliharaan itu-itu juga, dan tetap munafik-munafik juga.
Kerudungku masih ada, panjang kainnya, aku bertanya-tanya kapankah yang panjang itu habis.
Akhirnya dia muntah-muntah, pengemis itu entah keracunan atau mendapat sedekah, gratis, tanpa pajak dan biaya administrasi. Oh Dermawan, aku tersungkur, bersukur karena bertahun-tahun telah munafik tapi diam.
Â