#16
Mari Insomnina
Ada yang mengetuk pintu
Saat itu anak-anak berbaju rapi, ada sarang-sarang kepompong di perut mereka.
Saat itu anak-anak memakai topi, ada jerigen-jerigen kosong di kepala mereka.
Saat itu anak-anak berkalung dasi, ada singa-singa ompong di dada mereka.
Dia melongok dari jendela
O, hanya Insomnina
Â
Insomnina mulai menggedor pintu
Kunci laci-laci
Terkadang rantai dan gembok tidak melindungi.
Silahkan masuk, Insomnina.
Â
Insomnina meringkuk beku
Ribuan kilometer dari pintu
Tak punya tangan tuk merangkak
Matanya jatuh
Â
Aku aman dalam gelap, bersama weker, sajadah, tulangku, tubuhku.
Dia menyimpannya dengan rapi.
Terkadang lantai dan tembok tidak melindungi.
Mari Insomnina
Mataku tertusuk tiang bendera
Â
#17
Seakan Aku Pernah
Senja dimulai pagi itu dengan ceria.
Bunga-bunga bermekaran diselimuti nyenyak dalam bantal,
Ada juga obat nyamuk, obat malaria, obat anemia.
Â
Lembu terus berpacu di arlojiku yang menempel di dindingku.
Senja hendak beranjak, matahari telah menanjak,
Aku rindu anjing yang menggonggong.
Â
Dapurku disinari matahari;
di sana pernah berserakan kekecewaan yang tega membanting gelas dan piring,
kini terbaring di bak sampah.
Â
Aku merenung hingga ayam berkokok, matahari tenggelam.
Saatnya tidur, Insomnina membanting ranjang.
Â
#18
Memahami Teman
Seorang teman menatap apel di atas meja. Aku mengerti arti tatapannya, lalu memberinya pisau. Dia mulai mengupasnya sambil terus melirikku. Aku tidak mengerti arti lirikannya.
Â
Seorang teman membanting pisau-ku.
Gila susah betul. Menggiurkan tapi kulitnya bencana.
Makan saja bersama kulitnya.
Aku memimpikan apel tanpa kulit.
Kamu akan menyesal saat apel-mu jatuh ke lumpur.
Aku tidak memakan yang telah jatuh.
Kamu akan merindukan seni mengupas jika hidup di antara apel-apel tak berkulit.
Aku sudah mati sebelum berbakat andai itu memang seni.
Aku terdiam.
Â
Seorang teman terdiam.
Kulit apel juga terdiam, teronggok di lantai, berdarah, darah-seorang teman.
Seperti hidup. Solusi melukai jika terlalu tajam, tak berguna jika terlalu tumpul. Sebagian orang menelan dunia, bersama kulitnya, bersama darahnya, bersama pisaunya. Kadangkala kulit apel berlapis-lapis, terkadang isinya kulit melulu-kulit melulu. Aku menanam apel, siapa tahu ada yang memakannya. Aku mendalami seni mengupas tapi tidak mengamalkannya. Seharusnya aku mengerti arti lirikan-seorang teman.
Â