Garis Hujan

5 Dec 2015 12:38 2273 Hits 0 Comments
Cerpen Weekend

1

Rini menatap seisi kelas dengan seksama, mencari seseorang.

Pak Kartono memasuki ruang kelas, suasana yang tadinya gaduh perlahan tenang. Rini tersenyum, orang yang dinantikannya berada tepat di belakang Pak Kartono.

Suasana hening, Pak Kartono membacakan absensi lalu menyilakan kelompok Erza untuk memulai presentasi. Erza menyusun kursi ke depan, Winda menyerahkan laptopnya ke Erza.

Slide demi slide berlalu diiringi penjelasan Erza, beberapa siswa manggut-manggut, seakan mendapat pencerahan baru.

Benak Rini terbang jauh, melompati jendela, lalu berlari menyusuri halaman, seorang laki-laki dengan senyum manis menunggunya disana, déjà vu.

Rini tersentak, ditatapnya Erza lekat-lekat.

 

2

Winda terpaku di kursinya, waktu seakan berlalu begitu cepat, tak terasa sudah istirahat pertama. Diraihnya BB dari tasnya, jemarinya berlompatan, membalas beberapa pesan, lalu menatap ke balik jendela, di luar sangat ramai. Kontras dengan hatinya yang kosong, sepi. Dia lalu teringat Dimas, nafasnya terasa sesak.

Erza tiba-tiba sudah berada di hadapannya, meletakkan laptopnya di atas meja. Erza tertegun sejenak, lalu berbalik seolah tidak terjadi apa-apa, Winda sedang menyeka airmatanya.

 

3

“Apa saja yang membuat wanita menangis?”

Rini mengalihkan tatapannya dari buku yang dibacanya ke arah Erza.

“Hmmm… wanita itu complicated, misterius dan penuh teka-teki”

“Ya, ku rasa aku tidak akan mengerti jalan pikiran mereka…” sahut Erza.

“Tenang saja, Aku juga bingung, kok, haha”

“Aku serius, Rin…” kata Erza lagi.

“Lha, aku juga serius, siapa yang menangis?”

“Kamu kan wanita, untuk menjawabnya apakah harus tahu dulu siapa yang menangis?”

“Ya harus! Misal yang menangis itu Aisa, sudah pasti karena kamu, hahaha”

Erza mengerang perlahan, Aisa, tidak ada apa-apa di antara mereka, kecuali bahwa Aisa menyukai Erza sejak kelas X sampai sekarang, mengagumkan, selama dua tahun, dan tidak pernah berubah. Begitu juga Erza, selama dua tahun tetap dingin, dan tetap jomblo.

“Eh, Za, tadi pagi aku pikir kamu tidak masuk…”

“Iya, sebenarnya tidak enak badan, kemudian teringat ada presentasi hari ini…” sahut Erza diiringi bunyi bel pulang sekolah.

 

4

Winda sudah berada di parkiran saat Rini dan Erza sampai di sana.

“Tumben? Dimas mana?” celetuk Rini.

“Oh, dia tidak bisa antar-jemput aku hari ini, Rin…” jawab Winda sambil menghidupkan skutiknya, “…eh, duluan ya!” lanjut Winda sepertinya tergesa-gesa.

Erza menatap kepergiannya Winda, Rini menatap Erza, akhirnya tatapan mereka bertemu, serta-merta Erza gelagapan, lalu membuang mukanya. Rini mengamati gelagat Erza sambil tersenyum, lalu melemparkan kunci sepeda motornya ke arah Erza.

Mereka berdua sudah bersahabat sejak kecil, Rini mengenal sifat Erza dengan baik, begitu juga sebaliknya, namun tetap saja, untuk masalah hati, Erza selalu tertutup dan tampaknya tidak ingin berbagi dengan siapapun.

 

5

Erza sedang berdiri di trotoar, menunggu Rini, saat Winda melintasinya, beberapa meter kemudian Winda berhenti.

“Za!”

Erza buru-buru menghampiri Winda, “Kenapa, Win?”

“Yuk!” desak Winda sembari menurunkan standar skutiknya.

Erza bimbang, menoleh ke jalan raya, sudah lima belas menit dia menunggu Rini. Sebuah suara terdengar berbisik ke telingnya, “kapan lagi”, ya, kapan lagi, desah Erza.

 

6

“Dimas mutusin aku…” ucap Winda lalu terisak di bahu Erza.

Untuk yang kesekian kali Winda datang lebih awal daripada Rini, biasanya mereka hanya membisu sepanjang jalan.

Pagi ini bahu Erza terasa hangat, Erza hanya terdiam, tidak tahu harus menanggapi apa.

Menyadari seragam Erza menjadi basah, Winda buru-buru minta maaf berulang-ulang. Seperti biasa, Erza hanya bisa tersenyum.

Ditatapnya mata Winda yang sembab, ingin rasanya memeluknya atau sekedar menghiburnya, namun Erza urung untuk melakukannya.

 

7

Rini melintasi tempat Erza biasa menunggunya, sudah seminggu ini Erza berangkat ke sekolah bersama Winda. Rini tersenyum, kehadiran Winda memang membuat jarak di antara mereka, tapi Rini tahu, inilah yang selalu diinginkan Erza, agar bisa dekat dengan Winda.

Erza memang selalu menyebut-nyebut Winda saat bercerita dengannya, meski tidak pernah mengatakan rasa suka, Rini tahu, dari tatapan matanya ke Winda terdapat sebentuk emosi yang tak kasat mata, seperti sinar matahari, tidak terlihat namun terasa hangatnya.

 

8

Rini meletakkan tasnya lalu duduk di kursi. Erza datang menghampiri, wajahnya terlihat ceria, dengan penuh semangat diceritakannya kejadian malam minggu tadi.

“Wew, terus? Kalian jadian?” tanya Rini seusai Erza bercerita.

Erza menggelengkan kepalanya. Tidak akan secepat itu, Erza ibarat siput yang sedang berlari mengejar kelinci. Erza tahu diri, baginya bisa sedekat itu sudah lebih dari cukup.

“Anyway, baguslah, step by step” kata Rini kemudian.

 

9

“Pacaran? Tentu saja tidak!” sahut Winda.

“Oh ya? Aku lihat kalian dinner di Halte Food, sepertinya romantis sekali…”

“Cuma makan-makan biasa, kebetulan malam minggu”

“Aku kenal kamu, Da, mana mungkin kamu jalan sama laki-laki tanpa ada motif tertentu”

“Sebenarnya cuma buat manas-manasin Dimas…” jawab Winda pelan.

“Berhasil?” kejar Yuna lagi.

“Entah… Lagipula aku tidak memberi harapan sedikitpun ke Erza, kok, cuma sebatas teman”

Rini yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka tidak tahan lagi, dia segera berlari ke kelas. Erza sedang melamun dengan wajah sumringah sambil mengelus-elus pipinya.

“Za, saran aku, lupakan Winda”

“Hah?”

Rini bimbang, di satu sisi dia akan menghancurkan perasaan Erza jika menceritakan semua yang barusan didengarnya, di sisi lain, dia tidak ingin Erza menjadi kecewa lalu patah hati.

“Eh, maaf, lupakan kata-kata aku barusan”

Erza semakin bingung. Melupakan Winda? Mana mungkin! Gumam Erza dalam hati, apalagi sepulang dari jalan-jalan malam itu, Winda mengucapkan terimakasih dan tiba-tiba mengecup pipi kanannya.

 

10

Setelah lama berdiri di depan cermin, Erza akhirnya tersenyum, sempurna, katanya kemudian.

Malam ini akan menjadi “kencan” kedua Erza dengan Winda, sebenarnya yang kedua selama hidupnya.

Jika yang pertama dia kelabakan dan bingung, kini dia sudah sepenuhnya “siap tempur”, rambut OK, ketiak OK, gigi OK, nafas OK, kumis OK, bulu hidung OK, baju OK, celana OK, semua diperiksa secara berurutan sebanyak tiga kali.

Kali ini Erza bersikeras untuk mentraktir Winda, tabungan selama seminggupun sudah dia persiapkan. Diliriknya jam dinding, masih satu jam lagi, benar-benar sudah siap.

 

11

Menurut buku panduan yang sengaja dibacanya, katanya laki-laki harus mengambil inisiatif tujuan mereka pergi. Erza memilih sebuah Café di sudut taman kota. Erza menolak untuk dijemput kali ini, dia lebih memilih… jalan kaki.

Selanjutnya, menurut buku yang sama, katanya jangan sampai membuat pasangan anda menunggu di tempat janjian. Erza sampai di café tersebut setengah jam lebih awal, memilih tempat duduk, lalu duduk manis menunggu.

Seorang waiter menghampiri, Erza mengucapkan beberapa patah kata, kemudian waiter itupun berlalu.

Sepuluh menit kemudian dia menjadi gelisah, mengetuk meja pelan-pelan, lama-lama semakin keras, seorang pengunjung memalingkan kepala ke arahnya, Erza lantas membuang muka.

Akhirnya dia menyerah, dipanggilnya waiter tadi, lalu memesan capucino.

Menit demi menit berlalu, sebentar lagi, sebentar lagi, gumam Erza. Tiba-tiba poselnya bergetar, pesan dari Winda, cepat-cepat dibukanya, kemudian bersandar dengan lemas ke kursi, Winda tidak bisa datang.

Diletakkannya ponselnya di meja, lalu memejamkan mata, ada rasa kecewa di hatinya.

Winda melihat kepergian Erza dari jauh. Setelah Erza menghilang, dia bergegas masuk ke dalam café. Beberapa menit kemudian Dimas datang dan menghampiri Winda.

 

12

Erza meninggalkan café dengan langkah gontai, ditatapnya langit tak berbintang, membuat suasana hatinya semakin suram, akhirnya dia memilih untuk duduk di bangku taman.

Erza teringat Rini, lalu berniat untuk mampir ke rumahnya, dirogohnya saku celananya, kemudian dahinya berkerut, ponselnya ketinggalan, dia lalu bergegas berbalik ke arah café.

Erza tertegun di pintu masuk café, ada Winda di sana, tampaknya sedang menangis.

Persis di sampingnya, Dimas sedang menjelaskan sesuatu kepada Winda. Erza mundur pelan-pelan. Sebuah kilat terlihat dari kejauhan, disusul suara guntur menggelegar, Erza terkesiap, gerimis.

 

13

Hujan turun dengan lebatnya, Erza bersandar di dinding luar café, sesekali di tengoknya ke dalam, dilihatnya Winda kini sudah berada dalam rangkulan Dimas.

Erza bertengadah, garis-garis hujan berkilauan ditimpa lampu koridor.

 

14

Hujan mulai reda. Erza bergegas masuk ke dalam menuju kasir, menanyakan ponselnya.

Wanita dari balik meja kasir menyerahkan ponselnya beberapa saat kemudian. Erzapun meninggalkan café tanpa menoleh ke belakang.

Hujan sudah reda, meninggalkan aroma tanah yang menguap perlahan.

 

15

Winda melintas, dia duduk di jok belakang sepeda motor Dimas, Erza hanya tersenyum, beberapa menit kemudian Rini terlihat di kejauhan.

“Ehem, apa kabarmu pagi ini?” tanya Rini setelah berhenti di depan Erza.

“Hmm… kelihatannya bagaimana?” sahut Erza sambil tersenyum, lalu merekapun melaju menuju sekolah.

Apalagi yang harus aku khawatirkan? Cinta? Tidak! Bisik Erza dalam hati sepanjang jalan, diliriknya seragam putih abu-abu yang dipakainya, ini adalah salah satunya, bisiknya kemudian.

Dialihkannya pandangannya lurus ke depan, sejauh-jauhnya. Jika kehidupan adalah hujan, maka cerita cinta hanyalah sebuah garis di antara jutaan cerita lain.

About The Author

Tuhuk Ma'arit 53
Expert

Tuhuk Ma'arit

Bodoh, miskin, dan pemalas. Lahir di Kotabaru (Kalimantan Selatan) pada tanggal 30 Januari 1988. Menulis adalah hal yang biasa bagi saya, saya sudah melakukannya sejak Sekolah Dasar. Saya sudah terbiasa menyalin contekan PR, dihukum menulis di papan tulis, menulis absen dari jarak jauh ketika bolos (mungkin bisa disebut mengisi absen secara online), menulis cerpe'an sebelum ulangan, dan menulis surat cinta di tahun 90-an. Tetapi, menulis ide orisinil adalah hal baru yang akan saya kembangkan. Semoga, amin. Sekarang saya bekerja tetap sebagai pengangguran. Hobi saya yang bercita-cita memberi pekerjaan kepada sejuta rakyat Indonesia adalah bermalas-malasan. Jika istri saya tidak mengetahui akun ini, berarti status saya adalah masih single dan available. Eh?
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel