Kerikil di Tepi Sungai (III)

3 Dec 2015 22:52 2348 Hits 2 Comments
Manusia dan Kehidupan

Part sebelumnya ~>

Kerikil di Tepi Sungai

Kerikil di Tepi Sungai (II)

Mungkin inilah yang dirasakan Adam sewaktu sendirian di dalam surga atau yang dirasakan Lucy sewaktu sendirian di muka bumi.

Aku masih gamang, mungkin saja aku berharap ada seseorang yang mau mendorongku masuk ke dalam sungai, tapi hanya sepi. Aku berharap kau ada di sini, agar aku bisa bertumpu kepadamu, aku tahu saat memegang tanganmu akan mengembalikan semangatku.

Aku masih bimbang, tentu saja karena engkau. Apa yang sebenarnya kau inginkan? Pergi dari tepian ini atau tetap diam?

Mereka menyebutku bermental kerikil. Aku tidak mengenal mereka, bahkan aku tidak mengenal diriku sendiri, bisa jadi aku tidak mengenalmu. Jangan-jangan aku berdiri di depan sungai yang salah.

Jika yang tersesat merasa lurus, mereka akan menuduh yang luruslah yang tersesat.

Apakah berbeda jalan berarti berbeda tujuan? Apakah persamaan tujuan akan menyelesaikan permasalahan tersesat? Jangan-jangan kata-kata sesat hanyalah perbedaan cara memandang saja.

Manakah yang lebih sesat? Sesat secara norma ataukah sesat secara pandangan?

Lalu aku berhenti sejenak.

Temanku sudah mati, aku hanya ingin berbicara kepadanya, menanyakan keputusanku. Mungkin dia akan memberikan jenis kuliah yang lain, mungkin dia akan mengajarkan huruf yang lain. Tetapi tidak, dia sudah mati, aku membunuhnya tadi malam.

Aku masih ingin membunuhnya.

Aku ingat dia berbicara tentang garis dan takdir sebelum dia mati. Takdirnya adalah mati di tanganku. Jangan-jangan usahaku lah yang membunuhnya. Bisa jadi usahaku menggenapi takdirnya.

Aku tahu aku tidak menyesal saat membunuhnya berulangkali, entah itu takdir ataupun bukan.

Manakah yang berlaku? Takdir sungai, usaha kerikil, atau harus dengan keduanya?

Aku tidak membunuh temanku. Takdirnya lah yang membunuhnya.

Kemudian saat dia menitipkan sesuatu yang tidak abadi kepada yang tidak abadi, apakah yang dia inginkan? Jika pemberian yang tidak pernah kau minta adalah menjadi  tanggungjawab, maka permintaan yang kemudian diberikan akan menjadi lebih dari tanggungjawab.

Pernahkah kau meminta hidup? Pernahkah kau mempuanyai kuasa atas detak jantung dan aliran darahmu? Haruskah kau memikul tanggungjawab hidup tersebut?

Ternyata, kehidupan adalah pemberian yang mempunyai syarat dan ketentuan yang berlaku.

Hidup itu sederhana, hingga kau berkeinginan, hingga keinginan itu menjadi tak terbatas. Lalu kata menginginkan melangkah ke tahap selanjutnya, menjadi kata mewujudkan. Lalu mewujudkan dikonversi menjadi usaha.

Meminta adalah usaha, do’a adalah usaha, mengemis adalah usaha, menunggu adalah usaha.

Apakah takdir aku, kamu, dan sungai ini?

Apakah kau yang akan menggenapi takdirku? Jangan-jangan aku diciptakan hanya untuk menjadi sebuah cerita, tentang kerikil di tepi sungai.

Terasa sulit untuk mengatakan bahwa diam ini adalah usahaku.

Kau ingin bersamaku, tapi kau tidak ingin melihatku hanyut di arus sungai. Kau marah jika aku hanya diam saja.

Kau menolak untuk bersama-sama menyusuri sungai ini hingga kita menemukan muaranya, kau menolak untuk membangun jembatan itu bersama-sama. Kau tahu bahwa menyusuri atau membangun itu membutuhkan waktu.

Kita tahu bahwa aku hanyalah sebutir kerikil. Mereka berulangkali menyebutku bermental kerikil.

Lalu kau menangis memanggilku dari seberang sana.

Apakah kau percaya takdir? Apakah mungkin berharap ada tangan yang melemparku ke sana?

Apakah kau percaya teori takdir? Bahwa jika tiba saatnya maka semua akan terjadi, meski kau inginkan atau tidak? Meski kau harapkan atau tidak?

Takdir tidak membunuh temanku, waktu lah yang melakukannya.

Waktu melakukan semuanya, menunggu tangan itu, menyusuri sungai ini, membangun sebuah jembatan. Aku memiliki waktu untuk tetap diam.

Lalu apa yang kau khawatirkan? Bahwa waktu akan memudarkan warna? Bahwa waktu akan menjemukan rasa?

Manusia akan selalu tergesa-gesa.

Bisa jadi kita mengenal manusia dengan cara yang berbeda, kita memandang manusia dengan sudut yang berbeda pula, kita mencerna manusia melalui jalan yang berbeda.

Mengapa kau takut dengan waktu. Apakah kau takut tergerus olehnya.

Kau merasa kau adalah buah matang di pohon itu, jika tidak aku petik sekarang kau akan membusuk, mengering, jatuh ke tanah, terbunuh waktu.

Kau ingin sekarang. Padahal sekarang adalah hal semu yang terus menerus menjadi masa lalu.

Bisa jadi kau tidak ingin ada Adam lain yang diciptakan untuk memakan buah itu jika aku tidak memakannya sekarang. Adam itu harus aku.

Kenyataannya aku bukanlah Adam, aku hanya kerikil di tepi sungai dan kau kini di seberang sana.

Jangan-jangan aku hanyalah terlalu angkuh, sehingga menganggap kau hanya kerikil yang tidak membutuhkan hal-hal semu. Jangan-jangan aku juga membutuhkan hal-hal yang semu. Jangan-jangan manusia itu berpikir secara abstrak.

Seharusnya kau tahu akhir dari cerita ini.

Kau hanya perduli dengan akhir ceritanya. Bukankah begitu? Kau hanya ingin membuka cerita ini pada halaman akhir. Kau hanya ingin mengalami frame ending saja selamanya. Bukankah ending manusia adalah kematian?

Pernahkah kau ingin dilahirkan? Bukankah yang dilahirkan akan mati?

Masihkah kau merasakan saat dilahirkan?

Pernahkah kau merasa untuk menjadi yang sekarang kau harus menangis selama beberapa waktu, harus merasakan haus dan lapar, panas dan dingin? Ketika babak manja-manja telah usai kaupun memasuki tahap mandiri. Lalu kau memasuki fase menjadi dewasa. Jangan-jangan kau pikir hidup adalah sim salabim abra kadabra, tiba-tiba ada bumi, tiba-tiba ada pohon, tiba-tiba ada sungai, tiba-tiba ada aku dan kamu.

Bukankah itu melalui waktu?

Keinginanmu sederhana, aku hanya harus mewujudkannya atau menolaknya lalu mengutarakan keinginanku sendiri. Bagaimana jika aku memilih untuk diam? Bagaimana jika aku memilih untuk tidak memilih salah satu jawaban?

Keinginanmu sederhana, lalu mengapa aku membawa-bawa Tuhan, Adam, Alam, Lucy?

Keinginanmu sederhana, lalu mengapa aku membawa-bawa cerita tentang kerikil di tepi sungai?

Keinginanmu sederhana, lalu mengapa ada tiga ribu kata untuk menjawab keinginanmu?

Kenyataannya hidup itu tidak sesederhana keinginan kita. Selalu saja ada kerikil dimana-mana yang akan menyebabkan benturan dan gesekan, antara harapan, keinginan, dan ambisi.

Kehidupanku menjadi tidak sederhana dengan adanya manusia, bahkan saat aku butuh untuk tidak ingin melakukan apa-apa dipermasalahkan, bahkan saat aku butuh untuk tidak menjadi siapa-siapa juga dipermasalahkan.

Keinginanku sederhana, aku hanya ingin hidup bersamamu, setelah itu ceritanya tamat.

Part Selanjutnya ~> Kerikil di Tepi Sungai (IV)

About The Author

Tuhuk Ma'arit 53
Expert

Tuhuk Ma'arit

Bodoh, miskin, dan pemalas. Lahir di Kotabaru (Kalimantan Selatan) pada tanggal 30 Januari 1988. Menulis adalah hal yang biasa bagi saya, saya sudah melakukannya sejak Sekolah Dasar. Saya sudah terbiasa menyalin contekan PR, dihukum menulis di papan tulis, menulis absen dari jarak jauh ketika bolos (mungkin bisa disebut mengisi absen secara online), menulis cerpe'an sebelum ulangan, dan menulis surat cinta di tahun 90-an. Tetapi, menulis ide orisinil adalah hal baru yang akan saya kembangkan. Semoga, amin. Sekarang saya bekerja tetap sebagai pengangguran. Hobi saya yang bercita-cita memberi pekerjaan kepada sejuta rakyat Indonesia adalah bermalas-malasan. Jika istri saya tidak mengetahui akun ini, berarti status saya adalah masih single dan available. Eh?
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel