Kerikil di Tepi Sungai (II)

2 Dec 2015 23:34 2181 Hits 0 Comments
Manusia dan Kepercayaan

Part sebelumnya ~> Kerikil di Tepi Sungai

Aku mencari asal-usul manusia.

Ternyata ada dua versi.

Ku pikir hidup sebagai manusia itu tidak sederhana.

Kejatuhan adalah versi yang pertama. Kejatuhan menceritakan tentang makhluk yang sekarang dikenal sebagai manusia. Karena telah melakukan sebuah kesalahan, dia dipindahkan dari tempat asalnya, sebuah tempat yang sangat nyaman, ke tempat yang benar-benar asing, ku pikir manusia adalah alien di planet bumi.

Kemudian manusia beradaptasi, kemudian manusia beranak-pinak. Berarti ada dua manusia yang dipindahkan ke tempat yang disebut bumi, dengan jenis kelamin yang berbeda, karena manusia tidak bisa membelah diri. Kemudian manusia menguasai bumi, kemudian tiba-tiba aku terlahir ke dunia yang penuh sesak dengan manusia, yang harus dilakukan manusia ternyata adalah berinteraksi satu sama lain agar mereka tidak disangka alien.

Seiring bertambahnya populasi, manusia membutuhkan keteraturan, keteraturan membutuhkan peraturan, akhirnya peraturan membutuhkan petugas pelaksana dan pengawas peraturan. Maka timbul pertanyaan, siapakah yang akan mengawasi si pengawas?

Maka berbicaralah agama, bahwa dunia diciptakan dengan tujuan, bahwa manusia dilahirkan dengan tujuan, bahwa manusia diawasi oleh sang Maha Pengawas. Peraturannya mutlak, absolut, tidak untuk dipertanyakan. Peraturan tersebut bukan manusia yang membuatnya, tetapi langsung dari Tuhan. Seharusnya manusia menjadi selalu takut dan hati-hati. Seharusnya begitu.

Maka tujuan diadakannya dunia ini diwahyukan dan dituliskan, dibacakan oleh yang diutus agar didengar dan dilaksanakan, agar menciptakan keteraturan dunia, bukankah begitu kronologi agama?

Evolusi adalah versi yang kedua. Evolusi menceritakan bahwa setiap materi ada dengan sendirinya, bahwa semesta terjadi karena rangkaian peristiwa kebetulan yang fantastis, bahwa evolusi adalah agama yang paling mutakhir dan modern untuk dianut manusia.

Maka manusia adalah spesies terkini dari spesies yang pernah ada dahulu, manusia melanjutkan keturunan dengan membawa DNA dan gen leluhur mereka hingga kepunahan. Ada kemungkinan spesies sebelum manusia yang masih bertahan saat ini akan berevolusi juga seiring perkembangan manusia. Ada kemungkinan manusia yang sekarang akan berevolusi lagi menjadi lebih baik, lebih cerdas, lebih efisien, lebih alien, di masa yang akan datang.

Aku berharap dalam waktu dekat manusia secara serempak berevolusi menumbuhkan sayap atau menambahkan satu jempol lagi untuk mempermudah kegiatan geser-geser dan ketik-ketik pada tab dan pad. Ada juga kemungkinan bahwa evolusi sudah mencapai klimaksnya, atau secara global makhluk di seluruh dunia kehilangan kemampuan berevolusi setelah terkena radiasi zat kimia atau polusi dari asap rokok dan knalpot, atau terlalu banyak konsumsi softdrink dan fastfood.

Kemudian ada golongan yang tidak puas dengan kedua versi di atas. Mereka mencari tuhan mereka sendiri, mencari tuhan yang presentable, visible, powerful, real, provitable, dan precious. Sebut saja matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, kerikil, berhala, wanita (pria di mana?), tahta, dan yang terakhir adalah uang. Sepengetahuan penulis, uang memenuhi semua kriteria kandidat tuhan bagi manusia modern.

Sebagian dari mereka ada pula yang tidak menemukan jawaban yang memuaskan dari kepercayaan-kepercayaan lainnya yang sebenarnya bervariasi, mempunyai banyak rasa, dan tersedia berbagai pilihan warna. Aku menggaruk kepalaku, jangan-jangan mereka ini hanya golput saja, mereka memilih untuk tidak memilih (meski golput bukan solusi). Benarkah agama adalah hasil budi dan buah pikir manusia?

Ketika aku dihadapkan pada pilihan untuk mempercayai yang mana, aku menjadi bimbang. Manakah yang lebih baik untuk dipercaya? Jenis beriman seperti apa yang paling benar untuk peradaban manusia?

Kemudian aku bertanya-tanya tentang apa itu baik, buruk, benar, dan salah.

Apakah yang baik selalu benar dan yang benar selalu baik? Apakah yang buruk selalu salah dan yang salah selalu buruk?

Apakah yang baik dan benar itu mempunyai batasan tertentu?

Apakah jarak antara yang baik dan buruk, benar dan salah, seperti dua sisi keping koin? Sehingga batasannya menjadi mutlak, ataukah seperti sebidang tanah yang dibagi dua? Sehingga bisa jadi cenderung lebih begini ataupun cenderung lebih begitu. Apakah yang baik itu harus sesuai persepsi manusia itu sendiri? Sehingga seperti seutas karet yang flexible untuk ditarik-ulur?

Jika demikian, seberapa flexible baik dan benar itu?

Bisakah mereka dicampur-adukkan? Bisakah dibuatkan ekstraknya? Bahan sintetisnya? Replikanya, barangkali? Miniaturnya?

Bisakah difermentasikan supaya lebih "manis"? Bisakah dikeringkan lalu diris tipis, diberi bumbu, kemudian digoreng, agar "renyah"? Atau disuntik vitamin agar "sehat"?

Bisakah diagunkan? Diasuransikan? Diinvestasikan? Dibungakan? Dikembang biakkan?

Bisakah didekorasi? Dimake-up? Dioperasi plastik agar kembali "kencang"?

Bisakah direfresh? Direstart? Ataupun di-install ulang? Bisakah dikonversi sehingga berubah menjadi ekstensi lain dan dapat dibaca oleh aplikasi yang lain?

Bisakah dinikahi? Atau dijadikan peliharaan? Bawahan? Selingkuhan?

Ternyata peraturan adalah batasan. Manusia yang tidak mengenal batasan adalah manusia yang tidak tahu ataupun tidak mau tahu dengan peraturan. Dengan tidak mengenal batasan, maka leburlah kata baik dan buruk, benar dan salah, menjadi kata yang tidak bermakna.

Kemudian terngiang ucapan Ayahandaku, bahwa manusia adalah apa yang mereka pikirkan, katakan, dan lakukan. Mungkin beliau berbicara tentang kualitas kemanusiaan, tidak terpengaruh apapun yang mereka imani, tetap saja manusia tercermin dari apa yang mereka pikirkan, jika mereka berpikir tentang yang baik, ada kemungkinan mereka berbicara tentang yang baik, ada kemungkinan mereka berbuat hal yang baik, ada kemungkinan mereka termasuk manusia yang baik. Bisa saja pilihannya bertambah, antara menjadi orang baik yang beriman, ataupun menjadi orang beriman yang baik.

Ku pikir hidup ini sederhana, sesederhana kerikil di tepi sungai, entah menceburkan diri ke tengahnya atau tetap berdiri diam. Jika kuceburkan diri sekarang, mungkin aku akan tenggelam, terbawa arus, terombang-ambing, terantuk kerikil lainnya. Namun jika aku hanya diam, maka selamanya aku tidak akan bisa mengerti tentang sungai di depanku, meski aku telah menatapnya seumur hidupku.

Aku khawatir kau menudingku kemana-mana. Aku masih di sini, di tepi sungai.

Bersambung ke Kerikil di Tepi Sungai (III)

About The Author

Tuhuk Ma'arit 53
Expert

Tuhuk Ma'arit

Bodoh, miskin, dan pemalas. Lahir di Kotabaru (Kalimantan Selatan) pada tanggal 30 Januari 1988. Menulis adalah hal yang biasa bagi saya, saya sudah melakukannya sejak Sekolah Dasar. Saya sudah terbiasa menyalin contekan PR, dihukum menulis di papan tulis, menulis absen dari jarak jauh ketika bolos (mungkin bisa disebut mengisi absen secara online), menulis cerpe'an sebelum ulangan, dan menulis surat cinta di tahun 90-an. Tetapi, menulis ide orisinil adalah hal baru yang akan saya kembangkan. Semoga, amin. Sekarang saya bekerja tetap sebagai pengangguran. Hobi saya yang bercita-cita memberi pekerjaan kepada sejuta rakyat Indonesia adalah bermalas-malasan. Jika istri saya tidak mengetahui akun ini, berarti status saya adalah masih single dan available. Eh?
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel