Kerikil di Tepi Sungai

2 Dec 2015 11:38 4841 Hits 0 Comments
Manusia dan Aku

Beberapa tahun yang lalu aku mencarimu kemana-mana, setelah aku temukan kaupun ku tinggalkan, aku tahu kau menangis, kau harus tahu aku juga menangis.

Sebenarnya sederhana, aku ingin hidup bersamamu, setelah itu ceritanya tamat.

Hanya saja hidup itu tidak sederhana, penuh kerumitan, bahkan saat aku butuh untuk tidak ingin melakukan apa-apa dipermasalahkan, bahkan saat aku butuh untuk tidak menjadi siapa-siapa juga dipermasalahkan, oleh mereka, manusia.

Ku pikir, kehidupan adalah sebuah sungai besar yang mengalir deras, hidupku hanyalah kerikil di pinggirnya, jika ku lemparkan diriku ke sungai itu, mungkin hanya ada riak lalu tenggelam, lalu sunyi, tak berbeda jika hanya diam di sini, di pinggir sungai, menjadi kerikil yang diam, sunyi.

Lalu seseorang menyodorkan biografi orang-orang terkenal, ternama, kesohor, melegenda. Mereka merubah wajah dunia, peradaban dunia, struktur dunia, perspektif dunia. Mereka mendunia. Mereka kerikil-kerikil yang telah merubah arah aliran sungai. Mereka tidak hanya menciptakan riak, tetapi gelombang yang besar dan bertahan lama. Mereka mungkin membuat sungai yang lain, sungai yang baru. Kerikil-kerikil itu menjadi sungai.

Ibundaku berkata, kau manusia, terlahir dari manusia, jadilah manusia. Aku khawatir, jangan-jangan aku ini apa. Ayahandaku berkata, manusia adalah apa yang mereka pikirkan, katakan, dan lakukan. Aku tidak berpikir apa-apa, mengatakan apa-apa, melakukan apa-apa, seharusnya aku masih tetap manusia, manusia yang tidak apa-apa. Mereka menyebutku bermental kerikil, ku pikir itu tak mengapa.

Ayahandaku tercinta meninggal dunia tanpa meninggalkanku apa-apa kecuali dunia. Waktupun terus berlalu, seiring tahun hidupku yang bertambah. Ku tatap Ibundaku, entah ide darimana kata-kata itu tiba-tiba terucap dari mulutku, ku katakan pada beliau bahwa aku ingin menikah.

Beliau menasehatiku panjang lebar yang jika dirangkum akan menjadi satu kata kerja saja, yaitu bekerja.

Ternyata hanya kata bekerja untuk tujuan menikah tidak bekerja dengan mudah, bekerja ternyata harus keras, kemudian kerja keras itupun harus lebih keras lagi, aku baru tahu kemudian bahwa gadis-gadis itu ternyata suka yang keras-keras. Lalu akupun selalu keras terhadap mereka, tetapi di manapun selalu sama, mereka tidak suka kekerasan, entah kekerasan apa yang mereka mau, aku baru tahu kemudian bahwa gadis-gadis itu ternyata plin-plan.

Kemudian aku bertemu denganmu, ku perlakukan kau dengan keras, namun kau membalasnya dengan kelembutan, kau selalu mengalah, kau sering menangis, itu membuatku iba. Akhirnya aku membalas kebaikanmu, aku selalu lembut terhadapmu, tapi entah kenapa kaupun membalasnya dengan kekerasan. Semakin aku lembut, semakin kau keras. Semakin kau keras, semakin membuatku takut kau akan patah, namun kau tetap sering menangis. Aku baru tahu kemudian, tangisan mereka adalah kelemahanku.

Kau katakan padaku, jika tak ingin melihat wanita menangis, maka jangan buat mereka menangis.

Aku tidak mengerti jalan pikiranmu. Saat bahagia kau menangis, saat sedih juga menangis, ku pikir ini masih dalam batas kewajaran. Lalu kau merindukanku kemudian kau menangis, lalu kau marah padaku kemudian kau menangis, ku pikir kau tidak punya ekspresi lain selain menangis.

Suatu hari kau menangis, tiba-tiba aku diselimuti teka-teki, apa yang sebenarnya kau rasakan? Sedih? Bahagia? Rindu? Marah? Kelilipan? Ku beranikan diri bertanya kepadamu, kenapa kau menangis? Kau katakan bahwa aku tidak pengertian, tidak sensitif, tidak berperasaan, tidak peka. Ku tanyakan sekali lagi, dan kau jawab “pikir aja sendiri!”. Misteri.

Mungkin kesalahanku adalah berpikir secara logika, rasio, matematikal. Awalnya ku pikir mereka berpikir dengan menggunakan dua jenis otak, otak pikiran dan otak perasaan. Aku baru tahu kemudian bahwa mereka hanya salah sangka, mengira perasaan adalah pemikiran.

Benarkah perasaan mengalahkan pemikiran?

Kemudian aku berupaya mempelajari psikologi untuk mewakili perasaan dan mempelajari filsafat untuk mewakili pemikiran.

Setelah merasa memiliki ilmu yang cukup memadai, akupun mengajakmu berdiskusi, agar pemikiran kita sejalan, agar perasaan kita sejalan. Tukar pemikiran kita berlanjut menjadi perdebatan, hingga menjadi tukar perasaan, dan ujung-ujungnya tetap sama, kau menangis.

Kemudian terngiang di kepalaku kata-katamu dulu, jika tak ingin melihat wanita menangis maka jangan buat mereka menangis. Seharusnya aku menjadi kerikil di tepi sungai, kau tidak akan marah karena aku hanya akan diam, kau takkan sedih karena aku tidak akan sakit dan mati. Aku takkan melihatmu menangis jika aku adalah kerikil, apalagi jika kau juga adalah kerikil yang berada di sampingku di tepi sungai.

Ku sadari satu hal, kau juga berpikir logis, logis yang sangat sederhana. Kau pun berpikir secara rasio, rasio yang sangat sederhana pula. Aku menarik kesimpulan, bahwa pendekatan filsafat tidak akan pernah berhasil terhadapmu.

Aku menceritakan masalahku dengan seorang teman, katanya aku naïf jika memukul rata setiap wanita. Katanya manusia adalah individu. Gender hanyalah satu dari sekian ratus faktor yang mempengaruhi setiap individu. Kemudian dia bercerita tentang sejarah, antropologi, sosiologi, kosmologi, fisika, biologi.

Dia menuntunku untuk membuat garis yang awalnya hanya titik pengetahuanku dari manusia. Dia menutup kuliahnya dengan mengatakan bahwa apa yang telah dia sampaikan hanyalah sebuah garis dari huruf M.

Aku khawatir, bagaimana bisa aku menjadi manusia jika mengenal manusia cuma sebatas garis huruf M dari kata manusia?

Alangkah beruntungnya kerikil yang mengenal manusia dibanding manusia yang hanya mengenal kerikil.

Alangkah beruntungnya kerikil yang bermental manusia dibandingkan manusia yang bermental kerikil.

Aku ragu-ragu dengan kata-kata Ibundaku bahwa aku adalah manusia, karena aku berpikir bahwa aku adalah siapa yang tidak butuh apa-apa. Aku adalah siapa yang tidak ingin menjadi siapa-siapa, kecuali menjadi kerikil di tepi sungai. Aku adalah siapa yang tidak butuh siapa-siapa, kecuali engkau. Jangan-jangan aku hanyalah kerikil di tepi sungai. Apakah aku ada? Sungai tetap mengalir, entah aku ada atau tiada.

Aku takut jika kau mencariku kemana-mana. Aku di sini, di tepi sungai.

Bersambung ~> Kerikil di Tepi Sungai (II)

Baca Juga : Masih Kerikil di Tepi Sungai

About The Author

Tuhuk Ma'arit 53
Expert

Tuhuk Ma'arit

Bodoh, miskin, dan pemalas. Lahir di Kotabaru (Kalimantan Selatan) pada tanggal 30 Januari 1988. Menulis adalah hal yang biasa bagi saya, saya sudah melakukannya sejak Sekolah Dasar. Saya sudah terbiasa menyalin contekan PR, dihukum menulis di papan tulis, menulis absen dari jarak jauh ketika bolos (mungkin bisa disebut mengisi absen secara online), menulis cerpe'an sebelum ulangan, dan menulis surat cinta di tahun 90-an. Tetapi, menulis ide orisinil adalah hal baru yang akan saya kembangkan. Semoga, amin. Sekarang saya bekerja tetap sebagai pengangguran. Hobi saya yang bercita-cita memberi pekerjaan kepada sejuta rakyat Indonesia adalah bermalas-malasan. Jika istri saya tidak mengetahui akun ini, berarti status saya adalah masih single dan available. Eh?
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel