Ramadhan merupakan bulan yang selalu di elu-elukan kedatanganya oleh umat muslim. Persiapan dari rumah sampai tempat ibadah. Baik itu rumah yang dicat ulang atau membersihakan area masjid atau mushola.  Terlihat di beberapa daerah-daerah, bulan istimewa ini menjadikan kita untuk selalu tampil secara istimewa baik itu di mata Alloh atau pun manusia. Kedatangan bulan tersebut memang sudah disebutkan ketika orang-orang menyanyikan syair-syair Fi rajaba wa sya’bana. Wa balligna romadhon. ( Di bulan rajab dan sya’ban kami ingin sampai ke bulan ramadhan). Â
Istimewa dihadapan Alloh S.W.T tentunya sebagai ungkapan tunduk (‘abdun) sebagai manusia serta melaksanakan kegiatan hablum minallah (hubungan vertikal) berbentuk puasa. Menahan hawa dan nafsu baik itu lahiriyah maupun batiniyah.  Istimewa dimata orang lain perlu adanya hablum min an-annas (hubungan horizontal) berupa menahan nafsu untuk sering menghujat dan mengejek di tengah keberagaman negeri Indonesia.
Bulan ramadhan menjadi bentuk pengabdian diri makhluk pada Tuhan-Nya tidak semata-mata menghilangkan keperdulian sosial. Dalam bulan ini pintu surga yang dibuka selebar-lebarnya dengan tutupnya pintu neraka.
Inilah saat yang tepat untuk memperbaiki sifat-sifat manusia yang sering mencela sesama. Apalagi kita yang notabene hidup pada negara muslim terbesar dan beragam. Perlu adanya pemahaman antar lapisan masyarakat dan agama untuk bertoleransi di bulan suci ramadhan ini. Melihat salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh Istri almarhum Gus Dur (Presiden ke-4 Republik Indonesia), Ibu Sinta Nuriyah Wahid kala mengadakan acara sahur bersama di Kompeks Gereja Kebon Dalem Semaranng dengan umat lintas agama dan masyarakat menengah kebawah seperti tukan becak, pemulung, anak jalanan, Â mbok-mbok tukang jamu.
“Wajah Indonesia saya lihat disini. Melihat umat beragama saling membantu menyiapkan kebutuhan lainnya†ucap wanita yang juga alumni UIN Sunan Kalijaga. Bentuk kesadaran sosial perlu ditingkatkan oleh umat muslim setelah melaksanakan puasa. Salah satu yang masih sering ditemukan oleh beberapa warga di negeri agraris ini adalah intoleransi  umat beragama. Agama dijadikan sebagai tunggangan untuk melakukan kekerasan. Alangkah nistanya perlakuaa mereka yang menghilankan kesakralan agama yang selalu menjadi pemersatu umat dalam perbedaan.
Indonesia yang memiliki ribuan etnis tentu sekali rawan akan kejadiann intoleransi agama. Baik itu secara suku, agama, ras, dan adat (SARA). Memahamkan mereka agar selalu menghormati hak-hak kita seorang muslim yang sedang melakukan puasa. Begitu pula ketika mereka sedang merayakan hari-hari suci kita berusaha membantunya.
Harapan pasca bulan ramadhan tentunya bukan hanya merayakan idul fitri secara formalistik semata. Â Melainkan seperti sebuah siklus, puasa sebagai proses pendewasaan kita dalam beragama dan memahami perbedaan. Di hari yang fitri (kembali ke kodrat) manusia yang diciptakan untuk saling mengenal agar membangun harmoni perdamaian, salah satunya menanamkan hal tersebut di negara yag menganut asas pancasila.Â
Â
Sumber gambar : elsaonline.com