Genderang tabuh bedug terdengar dari sudut desa.
Masakan khas daerah teratata rapi
Jalan-jalan steril dari lalu lalu lalang anak adam.
Puji Tuhan, masih kau berikan aku sehat.
Â
Tahun baru
Satu sura kata mbah kakung
Satu hijriah kata ustadz karbitan
Satu harapan baru kata motivator ulung.
Â
Cuci keris sampai buang sial jadi tradisi
Kakek nenek masih saja menahan makan dan minum
Anak muda sibuk mempersiapkan pesta tradisi.
Â
Indah sekali tahun baru ini
Sampai-sampai kita lupa !
Terlena uforia pesta kepentingan ilahiah.
Â
Lihat di barat sana, kawan.
Kawan-kawan kita biadab.
Mengatasnamakan agama kita.
Agama tuntutnan Rasulullah.
Â
Mereka menghidupkan si jago merah.
Hanya karena ijin tempat pemujaan tak ada.
Amarah meluap tiada tara.
Â
Kalian
Kalian sedang tahun baru,
Kalian harusnya berhijrah menuju kebaikan
Bukan sebaliknya.
Â
Kalian telah nodai.
Hari pengharapan baru.
Dengan lumpur bau
Di tengah uforia umatku.
Â
Muak â¦
Kalian hanya ndopleng nama.
Agamis kelakuan tragis.
Bak munafik bersumpah jujur.
Â
Terimakasih telah menodai
Hari yang indah ini.
Semoga tuhan memberi indahnya hidayah.
Â
Semarang, 1 Sura
Â
Indonesia Baru
Â
Teringat berpuluh-puluh tahun silam
Saat taka da senapan mesin
Tak ada tank dan panser
Â
Teringat berpulu-puluh tahun lalu
Dimana tak ada buku-buku
Tak ada sekolah
Hanya ada pembelajaran mandiri
Â
Teringat puluhan tahun yang lalu
Saat senapan mesin dan buku merambat di negeri ini
Â
Kepedihan yang seharusnya terobati
Malah semakin menjadi
Rakyat yang seharusnya mandi
Malah semakin antipasti
Â
Pemerintah seharusnya berdikari
Malah semakin di intervensi
Arah baru yang kian melucuti
Apakah ini takdir ?
Â
Semarang, 21 Oktober â15
Â
Sepucuk surat dari pelosok negeri
Ada apa di luar sana
Tak ada yang ku lihat
Apalagi saat datang malam hari
Tak dapat melihat apapun
Tidurpun menyesakkan hidung
Â
Katanya sudah merdeka
Masihkan tetap terjajah
Kami manusia tuli dan buta
Â
Salmnya tak pernah sampai
Bahkan balasan pun tak ada
Â
Kami marah dengan lidah siapa
Kami bodoh tak berpendidikan
Setingkat manusia di Senayan
Pakaian serba halus, bersepatu mengkilat
Sayang disayang hatinya terpatri
Naluri mati sebagai hamba
Baginya ia Tuhan bernyawa.
Â
Semarang, 21 Oktober '15