LANGIT SORE DI RAJA AMPAT....... Part 9

18 Sep 2015 07:33 13141 Hits 308 Comments Approved by Plimbi

Saling berbicara tentang rasa yang sesungguhnya di puncak Wayag.  Adakah yang dipilih Drupadi?

LANGIT SORE DI RAJA AMPAT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut

Langit Sore di Raja Ampat Part 1
Langit Sore di Raja Ampat Part 2
Langit Sore di Raja Ampat Part 3
Langit Sore di Raja Ampat Part 4
Langit Sore di Raja Ampat Part 5
Langit Sore di Raja Ampat Part 6
Langit Sore di Raja Ampat Part 7
Langit Sore di Raja Ampat Part 8

 

BAB IX

Hujan tinggal menyisakan gerimis kecil, hentakan kapal juga mulai melembut. Dari kejauhan mulai nampak gugusan bukit karang kecil-kecil yang tertutup kabut. Hanya dalam hitungan menit, langit biru dan terik matahari seolah menyibak kabut tebal yang baru saja menutup seluruh kawasan Wayag.

“Kau baik-baik saja kah, Joe?!” Tanya Juna setengat berteriak

“Kita baik-baik saja… cuaca disini cepat sekali berubah-ubah tergantung penumpang yang kita bawa, yo…” Kata Joe sambil tersenyum, menengok kearah kami. “Penyambutan buat nona Padi sangat meriah, so…” Joe menambahkan dengan ringan.

“Terimakasih, Joe… sudah bawa kami dengan sangat baik.” Kata Nakul.

Speed boat akhirnya mengambil haluan untuk berlabuh di dermaga pulau Wayag setelah menempuh perjalanan hampir enam jam dari Waisai.

Aroma udara lembab, keringat, dan matahari menyengat kian terasa menyentuh pori-pori kulit, begitu nahkodah mematikan mesin kapal.  Seorang nelayan dan istrinya berada di tepian dermaga kayu sedang menjemur ikan yang diasinkan. Anak laki-lakinya sekitar sembilan tahun, membantu orangtuanya membersihkan ikan yang baru ditangkap. Sedangkan seorang anaknya yang lain, tiga tahun, berlari riang ditepian dermaga tanpa mengenakan baju. Aku tidak tahu apakah ini gambaran keluarga bahagia  yang sesungguhnya, atau mencoba bahagia karena keterpaksaan keadaan. Beberapa nelayan yang tinggal di perahu apung sekitar dermaga, menyapa ramah pada kami.

“Hati-hati melangkah, nona..” Seorang nelayan mengingatkan. “Dermaga disini bisa tiba-tiba berubah licin, kalau yang lewat nona cantik, yo..” sambung si nelayan bercanda.

“Terimakasih, bapa…” Jawabku tak lupa senyum

Dibawah dermaga, beberapa hiu abu-abu, panjang sekitar satu setengah hingga dua meter, bermain tenang dibawah air hijau toska dan bening. Badan hiu  lumayan gembul, tapi cukup percaya diri melenggok kesana-kemari tak peduli pada siapun yang datang. Ikan-ikan kecil yang merasa sudah jadi sohib si hiu, berada tak jauh dari moncongnya, berenang tenang.

Pulau dengan julukan wilayah terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jauh terpencil dikepung sanudra tak berbatas. Kebutuhan pokok menjadi barang langka ditempat ini. Pasir halus, tumbuh-tumbuhan besar yang sebagian menempel pada batu karang, serta burung-burung gagak hitam, mendominasi isi pulau. Pulau kosong tak berpenghuni, tempat persinggahan para wisatawan. Hanya ada bangunan kantor Conservation International, yang menjadi pusat penjagaan dan informasi bagi turis lokal maupun internasional. Ikan dan biota laut menjadi makanan pokok masyarakat yang tinggal menetap di pulau-pulau tak jauh dari Wayag.

Beberapa anak kecil menyambutku dengan saan ramah dan sopan.

“Selamat siang, kaka..” Sapa seorang bocah yang kemudian aku ketahui bernama Yacob.

“Selamat siang…” jawab kami serempak. “Tidak bersekolahkah kalian hari ini?” Tanyaku.

“Pagi tadi ombak besar sekali, kaka.. kita tidak mungkin menyeberang pulau Selpele untuk bersekolah.” Yacob menjelaskan. Aku, Juna, Nakul dan Sawa, memandang ke Yacob dan teman-temannya memahami kondisi.

Anak-anak itu mengikuti orangtuanya tinggal tidak menetap di Wayag, kadang mereka singgah beberapa malam, lalu kembali ke kampungnya.  Aku menggandeng Yacob, melangkah menuju tenda.

Langkah kami terhenti pada sebuah pengumuman berukuran besar dari kain putih, membentang panjang dibawah pohon, tepat dekat dermaga. Aturan tentang upacara Sasi yang dibuat oleh adat. Serius, kami membaca mengenai Sasi.

Masyarakat yang rata-rata tak bersekolah dan miskin masih bisa berfikir arif pada bumi tempat mereka hidup. Menyelamatkan laut dan isinya untuk anak cucu mereka menjadi sebuah kewajiban dan tak bisa ditunda. Hidup dipulau sangat terpencil, membuat masyarakat harus mandiri. Dua pulau sekitar Wayag, Selpele dan Salio, membuat kesepakatan mengenai penangkapan biota laut. Mereka mengetahui jenis biota laut yang sedang diburu, semakin langka, dan harus dilindungi. Masyarakat dua desa sebagai wakil adat, akan memilih tiga binatang laut yang harus dijaga. Tiga biota laut yang dipilih, hanya boleh ditangkap selama tiga tahun sekali, serta waktu penangkapan hanya dalam tiga minggu. 

Sasi, nama kesepakatan ini. Mengajarkan manusia untuk tidak semena-mena, menjaga harmonisasi alam dengan bijak, dan menjaga kerukunan antar kelompok. dilindungi pada Sasi tiga tahun lalu, dan waktunya boleh ditangkap kali ini. Lola, Udang Lobster, dan Teripang.

Tiba-tiba, Felix datang membawa keong lola yang dimaksud dalam Sasi. Keong dengan rumahnya berbentuk sepiral mengerucut warna krem dan ujungnya lancip. Bahan rumahnya terbuat dari cangkang keras. Ruang antara garis spiral satu ke yang lainnya tersambung oleh cangkang sedikit menggelembung. Hingga rumah lola itu selalu terlihat unik. Ukuran diameter bagian bawah sekitar 15 cm, tinggi rumah hingga ujung hampir 20 cm. Penghuni rumah selalu berada didalam, tak ingin berurusan dengan dunia luar. Sekaligus melindungi diri dari orang-orang yang berniat memakan tubuhnya. Hanya sesekali si penghuni akan mengintip keluar untuk memastikan situasi aman. Selain tubuhnya terkenal sangat lezat dan banyak diburu orang, cangkang rumahnya pun juga menjadi incaran untuk bahan industri.

“Boleh kaka lihat lola cantik ini?! Kau punya nama kah buat keong ini?!” Tanyaku akrab pada Felix. Felix menggelengkan kepala dan memberikan keong kepadaku sambil tersenyum

“Dia tidak bisa bicara, kaka! Kalau kita panggil, dia tetap tak mau keluar dari rumahnya!” Felix menjelaskan

“Coba kaka yang panggil, siapa tahu dia mau jawab!” Kataku menggoda, anak-anak disekitarku tertawa girang.

Aku mencoba memanggil si keong dengan gaya sponge bob, sambil melirik ke anak-anak yang tersenyum gembira.

“Hai, Lola… ayo kita bermain.. aku punya biscuit lezat,so...” Aku bicara dengan Lola.  “Kau harus keluar dari rumahmu, supaya terkena matahari.” Aku melirik kearah Juna.

Juna berperan jadi keong. Juna pun menjawab panggilanku. “Aku tidak bisa meninggalkan rumah, nanti rumahku diambil sama Yacob, so..” Jawab Juna dengan gaya Patrick. Anak-anak tertawa gembira sampai terkekeh.

“Kita tidak ambil rumah kau, Lola…” Yacob menjawab sambil sedikit malu. Bocah-bocah ini tak pernah mengharap lebih. Cukup mengharapkan sapaan dari tamu yang datang ke pulau tempat mereka singgah, itu sudah menyenangkan.

Lola si keong besar tetap tidak mau keluar,  “Lola yang baik, kau keluar lah sebentar saja… jauh-jauh kita dari Jakarta, hanya ingin melihat wajah, kau..” Kembali aku bicara dengan Lola, sambil aku tiup-tiup rumahnya.

“Kenapa kaka tiup-tiup, lola nya?” Tanya Yacob

“Sssttt…. Jangan keras-keras… kaka sedang baca mantra, supaya lola mau keluar..” Kataku berbisik pada anak-anak. Anak-anak ikut diam.  Aku coba tiup lagi agak keras. Mungkin tidak tahan dengan bau jigongku yang  wangi, si lola besar tiba-tiba keluar perlahan memperlihatkan wajahnya yang menyeramkan, sekaligus juga ingin melihat siapa yang meniup-niupnya..Anak-anak, Juna, Nakul, dan Sawa bertepuk tangan, tak lama si lola masuk lagi karena malu.

Anak-anak mengikuti rombongan kami berjalan diatas pasir menuju tenda seadanya yang sudah disiapkan oleh pihak travel. Terletak dibawah pepohonan tinggi dan besar. Hanya beberapa meter dari bibir pantai.

“Bolehkah kita bantu?” Tanya Yakob, 9 tahun dengan sopan. Aku tersenyum dan mengangguk.

“Kemari! Kalian boleh bantu kita!” Nakul memperbolehkan Yakob dan empat teman kecilnya membantu mereka.

“Kita boleh bantu kaka tapi kalian harus baik dan hati-hati...! Tidak boleh minta apa-apa dan tidak buat kaka marah..!” Pesan Yakob lugu sekaligus tegas pada teman-teman kecilnya, Philipus, Felix, dan Peter. Semua mengangguk menurut pada Yakob. Kekurangan tak membuat mereka jadi tak terkendali. Lingkungan tetap mengajarkan mereka tentang kebaikan dan kejujuran. Kami berempat saling melirik.

Usai meletakkan barang-barang, bersama mas Alex menuju kantor konservasi, tak jauh dari tenda. Melewati sebuah kamar mandi sangat sederhana, dengan tembok kusam dan pecah-pecah, serta air payau. Sudah cukup menggembirakan. Paling tidak ada tempat tertutup saat aku buang air kecil. Dibelakang kantor konservasi dibawah pohon besar, terdapat dapur umum tak luas, terbuat dari papan yang sudah kumuh oleh jelangga.

Di dalam dapur tergeletak beberapa peralatan dapur seperti panci, piring dari seng, gelas dan sendok plastik. Dua mama-mama tengah sibuk merebus ikan pada panci besar dan menanak nasi diatas tungku tanah dengan bahan bakar kayu. Didepan dapur, seorang gadis remaja sekitar 14 tahun duduk tercenung mengenakan baju lusuh. Kulit wajah, tangan, dan seluruh kakinya nampak ruam karena gatal. Tak jauh dari si gadis kurus, dua bocah laki-laki berkulit legam dan satu bocah perempuan masing-masing berumur sekitar 3 dan 4 tahun, tengah menikmati makan siang. Beberapa ekor lalat bergantian hinggap diatas segenggam nasi putih dan ikan yang berada diatas piring seng anak-anak itu.

Sedangkan lalat-lalat lain dibiarkan mengerubungi luka-luka gatal pada tubuh mereka, bersama ingus basah yang terus mengalir dari hidung. Ingus yang seolah tak bisa berhenti. Mereka tersenyum manis, sambil memasukkan makan dalam mulut. 

“Kau baik sekali berbagi makanan dengan lalat, yo…” Kata Sawa tulus, tanpa ingin menyindir, sambil memegang kepala si bocah.

Masyarakat lokal yang sudah diberi pelatihan khusus dan bertugas ditempat Conservation International ini ramah menyambut rombongan kami. Memeriksa satu persatu PIN yang wajib dipunyai oleh setiap wisatawan saat memasuki Wayag, sebagai dukungan konservasi di wilayah itu. Berikutnya, petugas konservasi akan mendampingi kami menuju puncak Wayag.

“Kau akan ikut mengantar kami ke puncak Wayag kah?” Tanya Nakul pada Yakob.

“Kita tinggal disini saja.” Jawab Yakob. “Kaka jangan lupa bawa minum dan makanan kecil diatas, so..!” Pesan Yakob baik. Sedangkan teman kecil lainnya hanya tersenyum disamping Yakob.

Nakul menyodorkan sebungkus biskuit yang sudah ia buka pada Yakob. Yakob mengambil satu, kemudian dengan jemari mungilnya yang kotor, dia membagi dua biskuit itu dengan Philipus. Demikian juga Felix melakukan hal sama dengan Peter.

“Kau ambil semua biskuit ini, buat kalian.” Nakul memberikan biskuit pada Yakob, sekaligus ingin tahu apa yang akan dilakukan Yakob.

“Kaka, tidak apa berbagi dengan, kita?” Tanya Yakob dengan mimik lucu.

“Temanmu, disana bisa berbagi makanan dengan lalat. Kaka juga bisa berbagi dengan kau.” Jawab Nakul.

“Terimakasih, kaka! Kita akan bagi dengan yang lain, so!” Jawab Yakob sambil berlari menuju ke dapur dibelakang kantor Conservation International. Kami melihat Yakob membagikan beberapa biskuit pada anak-anak yang ada di dapur. Mereka bersorak mendapat biskuit dari Yakob, dan menggigitnya pelan-pelan supaya tak cepat habis. Kemudian Yakob berlari menuju dermaga, memberi beberapa biskuit pada bocah yang baru selesai membersih ikan dan adiknya. Mereka langsung melahap kuenya sambil berucap terimakasih.

Yacob kembali berlari hendak menuju kami sambil membawa biscuit bagiannya, dan ops… Yacob jatuh. Satu biscuit ditangannya ikut terjatuh. Dia bangun, mengambil biscuit miliknya dan memakannya. Tak peduli, belum lima menit, aku juga akan melakukan hal yang sama.

*****

Petugas konservasi, sudah bersiap hendak mengantar kami menuju puncak Wayag. Tak lama, Nahkodah merubah kecepatan penuh ke sedang. Kapal cepat mulai melewati bukit-bukit karang yang menjadi ciri geografis wilayah Raja Ampat. Selang beberapa menit kemudian nahkodah melambatkan kapal ke kecepatan paling rendah. Serentak kami berdiri.

“Wwooww!” Teriakku

Kapal memasuki gerbang berpilar dua bukit karang berbentuk kerucut tinggi dan megah. Tumbuhan hijau jenis tertentu subur hidup diatasnya, menutup seluruh bukit. Laut bening hijau kebiruan seperti menjadi cermin bagi benda-benda diatasnya, sekaligus menjadi akuarium alam yang luas dan mempesona. Biota laut mulai dari beragam jenis karang dan ikan-ikan cantik hidup begitu damai dalam rumah indahnya. Cukup melihat kebawah kami akan diseret  berkeliling menuju imajinasi ketenangan air dibawahnya ke dasar laut dalam. Mengikuti seluruh kehidupan isi laut, mengajak mereka berdialog, menari, bersuka, dengan sepenuh jiwa. Deretan bukit karang seperti tumbuh subur, menyerupai tanaman jamur.

Aku berdiri membentangkan tangan, menghirup udara dalam-dalam, mengosongkan pikiran. Aku biarkan kegalauan bermain dikepalaku. Kegalaun tentang rasa yang tidak bisa dipungkiri lagi. Nakul berdiri disebelah kanan, “Bisa nggak, ya… aku bawa tempat ini dalam perjalanan terakhirku…?” Nakul berbicara dengan dirinya sendiri. aku menengok kearahnya.

“Letakkan hal paling indah yang kamu miliki saat ini, dalam hatimu.” Aku berkomentar sambil memandang ke hamparan krast

Cungkup-cungkup menjulang tinggi, warna pori-pori abu-abu tua yang tak tertutup pepohonan, menjadi bagian paling unik di perairan ini. Tangguh menjadi prajurit-prajurit pelindung bagi biota laut yang pemberi kehidupan masyarakat setempat. Sekaligus menyuguhkan keelokan pemandangan bagi tamu yang datang berkunjung. Letaknya sebagian saling merapat membentuk tatanan menawan, menciptakan kreasi seni nan memukau. Krast-krast itu selalu mematuk diri diatas cermin air, untuk melihat tanaman baru yang merambat di tubuh gempalnya.

“Hal yang paling indah saat ini adalah kamu.” Kata Nakul, tetap memandang lepas pada air tenang dan cungkup-cungkup krast.

“Aku sudah menebak jawabanmu, demikian juga dengan Juna, dan Sawa.” Jawabku santai

“Kemudian, nona…?” Tanya Juna

“Kemudian… bagaimana kalau kita berbagi surga….?” Jawabku santai “Karena tempat ini luas sekali.” Sambungku. Sawa memandangku dengan senyum merencanakan sesuatu.

“Bagaimana kalau kita kangen kamu?” Tanya Sawa.

“Apa yang harus dirisaukan dangan kangen, kalau hati kita saling menggenggam.” Jawabku santai. Nakul memandang nakal kearahku.

“Gommbaall kau, nona.. ketipu semua sama drupadi….”Juna terbahak. Demikian juga dengan aku, Nakul, dan Sawa

“Tutup matanya, Jun.. kita bawa dia ke surga.” Kata Nakul. Juna langsung menutup mataku rapat dari belakang.

“Jangan ditelanjangi disini, dunnkkk…” Pintaku santai dan tetap diam. Kami berempat tak bisa menahan tawa lagi. Juna lalu memeluk leherku dari belakang. Dan kami terdiam.

Taman surgawi pemberian Sang Maha Pencipta, tiada tandingannya. Tak bergeming menyaksikan kecantikan sebagian wilayah Indonesia. Diam, bergidik hanyut dalam ketenangan kalbu. Angin semilir, memainkan permukaan air tenang membuat gelombang lembut, menggerakkan bayangan benda didalamnya. Hanya sesaat dan kembali membuat bayangan sama. Kapal terus berjalan lambat menyisir perairan jernih hingga tiba di tepian pantai pulau kosong yang tak luas. Tempat ombak menghempaskan diri ke pasir pantai, setelah hampir semua tempat terbentengi oleh cungkup karang.

Tak ada dermaga, awak kapal melemparkan jangkar, kapal pun berlabuh diatas air bening hijau toska. Satu persatu kami melompat turun, disambut air selutut. Pasir laut langsung melumat kaki mereka. Erat aku berpegangan pada lengan juna dan Sawa agar tak terjerembab ke air. Berkejaran dengan ombak menuju pantai, kami berempat terjatuh di atas pasir putih bagaikan tepung yang membentuk guratan-guratan seperti ombak. Tak sempat berlari, ombak datang menyapu tubuh kami berempat.

Warna-warni ikan-ikan kecil berlarian liar menyelamatkan diri agar tak terdampar dipasir. Aku segera bangun dari pasir empuk. Tapi Juna, Nakul, dan Sawa kembali menarikku dan aku terjatuh lagi diantara mereka bertiga. Setelah cukup basah oleh air dan pasir, kami berempat bangun menuju batas air pantai. Ikan-ikan mungil menggigiti kaki kami.

Kami kembali diam saat menyaksikan keelokan gundukan-gundukan karang didepan pantai. Membentuk barisan sambung menyambung dengan kemiringan dan ketinggian sama. Model krast yang unik mengerucut megah. Krast-krast membentuk barisan memanjang kedepan. Entah berapa jarak barisan satu dan lainnya. Setiap jarak dipisahkan oleh laut bening warna biru muda dan hijau toska, seperti menjadi tempat bercengkerama para bidadari. Hanya ada angin sepoi dan suara hempasan ombak. Suasana hening melambungkan kedamaian hati siapapun yang berdiri menatapnya. Berada di surga tersembunyi kepulauan Wayag.

“Jangan hanyut dengan surga, disini.” Kataku sambil mengagumi segala yang didepanku. “Bisa hamil seperti Kunthi, aku nanti…” Sambungku masih santai. Tiba-tiba Juna dan Sawa sudah mengangkatku lagi ke air. Kami berempat sengaja memanjakan semua rasa yang tengah bergolak ke dalam tempat yang indah itu. Aku biarkan perasaanku melambung tanpa ingin mengekangnya. Tak lama, petugas konservasi memberi pengarahan sebelum menuju puncak Wayag.

 Dengan kesiapan penuh, kami didampingi pihak konservasi, menjejakkan kaki melewati jalan setapak yang rimbun tertutup hutan tropis. selang beberapa menit, bukit karang tinggi dengan kemiringan hampir sembilan puluh derajat berdiri tegak di depan kami. Tak ingin membayangkan apapun dan karena kondisi cuaca yang mudah berubah, kami mulai memanjat bukit karang terjal. Udara lembab, kering, keringat, membaur mengiringi tiap tanjakan. Tumbuhan jenis tertentu tumbuh subur dan lebat melilit pada pori-pori karang. Dengus nafas terengah dan berat saling bersahutan diantara kami. Tonjolan-tonjolan karang tajam menjadi pegangan sekaligus pijakan buat kaki dan tangan. Akar dan batang pohon kuat yang menempel dan merambat pada krast, cukup membantu menahan tubuhku.

Fokus pada tiap pijakan adalah hal penting, kelengahan hanya akan membuat goresan luka pada tangan, kaki atau anggota tubuh lainnya. Kami tak ingin menengok keatas berapa meter lagi harus memanjat, juga tak mau melihat curam dan tajamnya karang dibawah kami. Keringat sudah membanjiri seluruh lekuk tubuhku. Sementara petugas dari konservasi terlihat santai membibing kami berempat.

“Kurang sedikit lagi,so..! Nafasnya jangan dibuang semua! Nanti tiba diatas tidak punya nafas lagi!” Goda mereka sambil bercanda.

“Kalau diatas ada yang jual nafas, kita akan beli.” jawab Juna menggoda sambil terengah. Ketegangan pun sedikit cair, mereka saling tertawa lepas, menggema keseluruh bukit karang.

Beberapa kali pendamping dari konservasi mengingatkan untuk tidak membantu menarik tangan teman keatas, kalau tidak ada pegangan yang kuat atau dalam posisi aman. Akan berakibat fatal. Penarik bisa jatuh dan terjerembab dikarang keras, kasar, dan lancip-lancip. Kadang kami harus merangkak mengikuti beberapa titik jalur pendakian untuk keamanan mereka. Juna, Nakul, dan Sawa tetap memperhatikan aku, sekedar memastikan aku dalam keadaan baik. Tanjakan terakhir dengan kemiringan sedikit datar mengakhiri pendakian kami.

Kami berempat berdiri berjajar mengikuti kemiringan krast, tak bergeming melihat bentangan alam di depan mereka. Bukit-bukit karang dengan ukuran berbeda, sebagian tertutup rerimbunan tumbuhan hijau, merapat membentuk lingkaran tak beraturan. Menjadi kerajaan kecil dengan tatanan arisitektur alam yang unik ditengah samudra.

Dibagian tengah, beberapa gunung karang dengan ukuran sedang, berdiri terpisah, mendiami titik sudut terntentu. Hamparan air hijau tua dan hijau muda, meninggali bagian tepi dibawah karang. Sedangkan bentangan air biru muda, menempati bagian tengah. Bening dan anteng, menempati posisinya masing-masing. Membuat kombinasi, menyatu, tanpa ingin berebut. Warna Abu-abu tua, menyingkap dari bagian krast yang tak tertutup tanaman hijau. seperti menunjukkan bagian dalam tubuh karang. Dibagian belakang lingkaran pulau, rangkaian gugusan bukit berbaris menyambung lurus, menjadi benteng bagi kerajaan mungil Wayag.

Dari sisi manapun kami berdiri akan terlihat kemewahan yang sama, dengan keunikan berbeda. Simbol kepulauan Raja Ampat, dunia telah menyaksikan kecantikannya lewat foto, banyak orang ingin datang karena kemasyurannya. Langit biru dan saputan awan putih, ingin menunjukkan pada kami bahwa ada kecantikan yang harus dijaga di beranda NKRI.

Udara lembut perlahan menyapu keringat kami. Duduk diatas karang kasar, memandang jauh tak terbatas. Mengikuti tarian keelokan alam sepi. Meleburkan segala rasa, meletakkan segala beban. Tanpa dialog namun mengungkap sejuta arti. Keindahan berpadu dengan segala keterbatasan dan kemiskinan masyarakat lokal yang tinggal disekitarnya. Matahari membiaskan sinarnya melewati barisan perbukitan lalu cahayanya jatuh ke bayangan air.

“Kau lihat keluarga yang ada di dapur, dekat dengan tenda kita?! Bisa jadi mereka itu tidak tahu arti keindahan pulau yang mereka singgahi!.” Juna membuka pembicaraan

“Jangankan berfikir keindahan, memikirkan gatal-gatal ditubuhnya saja mereka sudah pusing, yo..!” Sawa berkomentar

“Inilah tanah tempat kami tinggal, kaka! Kita punya tempat yang sangat elok, tapi kita juga punya kemiskinan, ingus, dan kudis yang tak sembuh-sembuh!” Seorang petugas konservasi menimpali.

“Kenapa kau tak promosikan sekalian itu ingus, lapar, dan kudis anak-anak!” Aku bertanya, disambut senyum yang lain

“Setiap kita mau ambil foto pemandangan yang bagus dan anak-anak itu jadi modelnya, bapak pejabat minta anak-anak itu pergi!” Petugas konservasi menjelaskan,  “Kata bapak pejabat, mereka hanya merusak pemandangan, yo!” Sambung petugas konservasi.

“Kalau begitu, aku saja jadi modelnya.” Jawabku tersenyum pada petugas konservasi. Aku mengambil posisi pas agar Juna bisa mengambil photo terbaik dengan pemandangan symbol Raja Ampat. Aku sedikit lengah, dan terpeleset kecil di karang yang jadi pijakanku. Nakul dan Sawa bersama menarikku. Aku pun jatuh dipelukan Nakul, kali ini.

“Hati-hati nona, cantik.” Kata Nakul sabar. Kali ini hatiku berdesir kencang. Dan aku kembali ambil posisi untuk difoto.

Duduk berdekatan, kami menatap sebagian kekayaan Indonesia yang berlimpah. Bumi yang seharusnya dihargai oleh bangsanya sendiri. Bersyukur kami bisa datang dan mengenal wilayah ujung tanah airku. Keberadaan masyarakat lokal hampir selalu terabaikan, tertutup oleh mutiara alam yang mereka singgahi. Mereka  dengan arif menjaga tatanan alam agar tidak rusak dan tetap seimbang. Namun, para kurawa tiba-tiba datang seolah menjadi pemilik dari alam yang tak pernah diinjaknya. Terpencil, jangkauan yang sulit, tingginya biaya transportasi, jauh, menjadi alasan klasik untuk tidak bisa mengentaskan kemiskinan serta keterbelakangan masyarakat pedalaman.

“Ini baru nongkrong cantik… tinggal cari minuman surga atau neraka, pilih sendiri…” Kataku santai, memandang keindahan tak berbatas. Kembali kamti tertawa

“Kamu sadar kan, Padi… kalau kita itu sayang sama kamu…” Kata Nakul

“Sayang, itu punya arti yang luas, tinggal bagaimana menempatkannya.” Jawabku. “Kalau aku poliandri, itu artinya aku menentang budaya cinta Indonesia.” Sambungku santai.

“Pertanyaannya, kamu sanggup, nggak?” Tanya Juna kepadaku. Mengundang senyum petugas konservasi.

“Kalau hanya kesanggupan berbagi surga, bisa lah…” Jawabku santai. “Yang harus dicari, obat kuatnya ini, mas broo…” Sambungku santai. Kami tertawa lepas.

“Kita nikahi aja disini, gimana?!” Kata Sawa. Sambil kami terkekeh.

“Kamu nggak galau, padi?” Tanya Juna

“Dari kemarin, aku juga galau.” Jawabku masih santai. “Tapi karena ini galau yang menyenangkan, ya aku bawa enjoy aja.” Sambungku. “we will wait and see, darling…” Sambungku pada ketiganya.

“Kita bisa cari kayu akway, buat nona… supaya kuat, yo…” Petugas konservasi tidak kuat menahan untuk diam.

Matahari akan segera bergeser ke barat. Kami beringsut dari tempat duduk krast. Berdiri, menghirup dalam-dalam wanginya puncak Wayag. Merasakan semilir bayu membuai hingga relung kalbu, menyatukan seluruh hati dengan tenang, lalu saling bertirak memantulkan suara kesetiap sudut karang dan samudra. Berpelukan, pamit, dan membiarkan rindu akan selalu mengusik. Wayag, akan selalu hidup pada diri kami.

Perlahan, kami mengikuti petugas konservasi, menuruni bukit karang. Jauh harus lebih hati-hati dibanding saat naik. Benjolan-benjolan karang runcing yang menjadi pijakan sekaligus pegangan, siap menggores bagian tubuh mereka. Keringat kembali mengucur, membasahi jemari tanganku dan semakin membuat licin. Merunduk dibawah tumbuhan besar dengan duri tajam, kembali melewati jalan setapak, hingga tiba di tempat kapal berlabuh.

Laut sudah pasang, air tak lagi selutut. Hampir mendekati pinggang orang dewasa. Ombak besar menghempas kearah pantai bersama pasir halus, dan menggulung kembali ke tengah. Kapal pun ikut terbawa ke tengah, dan semakin sulit menariknya ke tepi. Kami membantu nahkodah dan crew menarik kapal agar tak terbawa gulungan ombak. Bergantian kami saling membantu satu persatu menaiki kapal. Seluruh badan sudah kuyub oleh air laut.

Kapal cepat mengambil haluan, meninggalkan pulau kosong tak berpenghuni yang menyimpan kemewahan tiada tertandingi. Sebuah bingkai tak akan cukup menyimpan kisahnya. Wayag akan tetap hening dan membisu. Menunggu serta berjanji akan memberi ketenangan kalbu pada siapapun yang menghampiri. Kapal melewati jajaran bukit tak rata. Matahari sore membiaskan warna emas pada bukit karang yang tak rimbun oleh pepohonan. Dan kapal kembali berlabuh di dermaga Wayag.

 

MASIH ADA JUTAAN BINTANG DI LANGIT MALAM WAYAG… BERSAMA ANAK-ANAK DIATAS KAPAL SEBELUM BERPISAH, MARI LANJUT KE LANGIT SORE DI RAJA AMPAT Part 10

*****

About The Author

ugi agustono 37
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel