nasib munir yang di php-in dua presiden republik indonesia

8 Sep 2015 19:29 3356 Hits 1 Comments
nasib munir yang di php-in dua presiden republik indonesia

Pembebasan bersyarat Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir, tak bisa membuat mantan pilot Garuda itu "bebas." Sehari setelah keluar dari LP Sukamiskin, dia hilang bak ditelan bumi. Para wartawan tak menemukannya di rumah yang biasa ditinggali bersama keluarga. Pembebasan bersyarat Pollycarpus sungguh sarat kejanggalan.

Sebagai terpidana 14 tahun, Pollycarpus hanya menjalani 8 tahun. Kematian Munir di akhir pemerintahan Megawati, lalu pembebasan Pollycarpus di awal pemerintahan Jokowi, sungguh meninggalkan kesan seolah-olah rezim yang dimotori PDI Perjuangan itu ikut bermain. Satu hal yang publik mungkin kurang paham, bahwa di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-lah terpidana ini menikmati obral remisi. Remisi yang sungguh fantastis: 42 bulan, atau tiga tahun lebih delapan bulan.

SBY yang menganggap kasus Munir sebagai "test of our history", telah gagal dalam dua hal. Pertama, gagal mengungkap dan membawa dalang pembunuh Munir ke meja hijau. Kedua, gagal memberi hukuman yang membawa rasa keadilan bagi masyarakat kepada pelaku lapangan. Selama 10 tahun rezim SBY “test of our history” itu tinggal sejarah kegagalan.

Akankah kita berharap kepada pemerintahan Jokowi? Jika kita merujuk kepada janji-janji saat kampanye presiden 2014, kita bisa menaruh kepercayaan kepada presiden sipil ini. Dalam visi-misi yang tercantum di Nawa Cita, Jokowi-JK memiliki program melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, juga bertekad menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu.

Jokowi-JK berkomitmen mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan. Beberapa program di antaranya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sampai kini masih menjadi beban sosial-politik, seperti Kerusuhan Mei 1998, Trisakti-Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa, Talang Sari Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.

Pembebasan bersyarat Pollycarpus rasanya sudah cukup menjadi bukti garis kebijakan yang diambil Jokowi mengenai kasus kejahatan penghilangan paksa (enforced disappearances) masa lalu mulai melenceng. Remisi memang menjadi hak terpidana. Namun, rasa keadilan masyarakat dan keadilan buat keluarga korban harus menjadi landasan. Di atas hukum masih ada keadilan. Dalam hal ini, Kementerian Hukum dan HAM kurang peka ketika memberikan remisi yang dinilai cukup royal itu.

Kasus Munir adalah salah satu utang pemerintahan Jokowi yang akan terus ditagih. Setidaknya setiap Kamis sejumlah aktivis dan orang tua korban pelanggaran HAM hingga kini masih melakukan aksi di depan Istana. Jokowi yang mengartikan demokrasi sebagai “mendengar” belum pernah berupaya menemui para demonstran kamisan itu. Para aktivis yang kini berada di sekitar Jokowi sudah saatnya memberi penjelasan yang lengkap tentang duduk perkara kasus Munir kepada presiden. Penjelasan ini harus jauh lebih lengkap dan menyentuh, dibanding penjelasan BIN yang secara reguler dia terima.

Penggelapan atas pengetahuan mengenai tragedi kematian Munir adalah pelestarian impunitas. Jika pengabaian hak korban yang menuntut keadilan terus dijalankan oleh pemerintahan sekarang, itu artinya memang pemerintah Jokowi tak ada bedanya dengan pemerintah SBY. Publik berharap Jokowi berani dan mampu membongkar kasus Munir seperti yang dia janjikan ketika kampanye pilpres lalu.

Keseriusan Presiden Jokowi dan jajarannya untuk menyeret aktor intelektual pembunuh Munir akan berdampak positif untuk menutupi kekecewaan masyarakat yang meragukan kemampuan beberapa pos kabinet sekarang, yaitu di Kementerian Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kementerian Pertahanan, maupun Kementerian Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan.

Jika kasus Munir tidak menjadi prioritas utama penegakan hukum pemerintahan Jokowi, apalagi setelah pembebasan Pollycarpus, keseriusan negara untuk membongkar kasus itu akan semakin diragukan. Kasus Munir adalah satu dari sederet kasus hukum masa lalu yang menyita perhatian publik yang harus diselesaikan. Jangan sampai publik menilai Jokowi hanya hebat sebagai calon presiden, tapi tidak ketika terpilih menjadi presiden.

Tags

About The Author

robby 38
Ordinary

robby

opo wae sing ono ing alam iki sejatine iku ilmu
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel