LANGIT SORE DI RAJA AMPAT
Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut
Langit Sore di Raja Ampat Part1
Langit Sore di Raja Ampat Part2
Langit Sore di Raja Ampat Part3
Langit Sore di Raja Ampat Part4
Â
BAB V
Â
Pukul 07.00 kami berempat sudah menuju di pelabuhan kecil yang sama ketika hendak menuju Teluk Mayalibit. Pasar ikan depan pelabuhan sudah ramai oleh penjual dan pembeli. Aku bisa melihat ikan besar-besar sambil berdiri dari atas kapal, sedang ditata rapi diatas meja penjual. Ikan perempuan disini sepertinya lebih percaya diri, tidak malu dan bersembunyi dibawah meja. Tentu saja hal ini akan memudahkan pejabat untuk memilih buat teman party. Masyarakat tua, muda, dan anak-anak, disekitar dermaga saling menyapa ramah pada kami berempat. Beberapa anak kecil berambut kriting tersenyum memamerkan gigi putihnya.
“Selamat pagi…†Sapaku pada mereka
“Selamat pagi nona… hari ini akan naik kapal kemanakah?†Tanya seorang ibu muda sambil menggendong bayinya.
“Hari ini kita akan menuju teluk Kabui, yo…†Jawabku. Sementara disisi lain, beberapa remaja putri tersenyum malu-malu melihat Juna, Nakul, dan Sawa. “Kau pasti ingin berkenalan dengan mereka, so…?†Tanyaku menggoda lima remaja putri yang intens sekali memperhatikan tiga sahabatku ini. Saling meledek antara mereka sendiri, rasa malu dan mau untuk berkenalan jelas nampak diraut remaja-remaja itu. Itulah perempuan, lebih malu untuk menyampaikan kemauannya. Akhirnya, kebanyakan kaum hawa akan memilih menyimpan kemauannya bersama kemaluannya.
“Mereka pacar kaka kah?†Seorang pemuda tanggung usia tiba bertanya sambil berteriak dari seberang kapal, menjadi jembatan lima gadis remaja yang saling mendorong menutupi kemaluannya.
“Betul sekali, kami bertiga kekasih nona cantik ini, yo...†Jawa Juna tiba-tiba, sambil memegang pundakku, sekaligus mengakhiri jawababn dari pertanyaan penasaran para remaja yang masih tersipu sendiri menatap Juna, Nakul, dan Sawa.
Kami berempat sudah mengenakan pakaian selam. Perlengkapan senorkling dan menyelam seperti silinder, regulator, masker, kaki katak, sistem pemberat, pemberat sabuk, tangki, dan lain-lain berada dalam satu kapal yang berbeda bersama crew dari travel agent. Mas Alex juga tampak sibuk mondar-mandir menyiapkan semua. Julio, nahkodah muda berusia sekitar 28 tahun dan seorang crew menyapa ramah. Julio, biasa dipanggil Joe.
“Selamat pagi semuanya..†Sapa Julio. “Pagi, joe..†Jawab kami berempat serempak. “Kompak sekali..! pasti sudah makan pagi semua, so..†Komentar sekaligus tanya Julio. “Kita, sudah. Kau sudah makan pagi kah, Joe?†Jawab sekaligus tanya Nakul.
 “Kita cukup minum kopi, ditambah dessert satu batang rokok, dan melihat remaja-remaja wanita disana.. itu sudah menu paling enak.†Jawab Joe santai membuat kita tertawa.
“Padi, jangan lupa sunblock, dibawa.†Pesan Mas Alex sedikit teriak dari kapal sebelah.
“Mas Alex bilang kalau mau sexi jangan pakai sunblock, yo...†Jawabku juga sambil bereriak. Mas Alex hanya geleng-geleng kepala memandangku. Mesin kapal sudah menyala, kami pun melambai pada msyarakat disekitar dermaga.
Kapal beriringan meninggalkan dermaga kecil, menuju teluk Kabui. Terik matahari pagi sudah menyengat pori-pori kulit. Hamparan laut biru, gulungan ombak, langit bersih, membawa kapal memasuki laut lepas. Kapal bergerak dengan kecepatan tinggi, menghentak keras diatas gelombang. Angin kencang bersama dengan air laut kadang menghempas keras mengenai kulit wajah semua yang di kapal, hingga kuyup. Joe, si nahkodah sengaja ingin mempermainkan kami berempat dengan ombak laut pagi itu. Dia ayunkan kapal berkelak-kelok membuat isi kapal berteriak. Laut masih datar, tidak ada bayangan apa yang akan ditemui di Kabui. Seekor lumba-lumba muncul dari kejauhan diarah matahari, menujukkan kemolekan tubuhnya. Hanya sesaat lalu menghilang bersama gelombang yang menggulungnya.
Empat puluh lima menit perjalanan dari Waisai telah terlewati. Nahkodah mulai mengurangi kecepatan kapal. Tak lama, dikejauhan terlihat bentangan dua bikit karang memanjang saling berhadapan membentuk pintu gerbang, menyembul diatas permukaan laut tenang.
“Wwooww..†kami berempat hampir bersamaan mengucap kekaguman. Gerbang seperti menjajikan kemegahan didalamnya. Tumbuh-tumbuhan hijau tak lebat menghiasi bukit dengan tidak merata. Sebagian krast terlihat gundul menunjukkan warna aslinya, ada yang putih menyerupai gunung kapur, ada pula abu-abu tua. Laut tenang hijau toska berpadu dengan biru muda, membiaskan bayangan elok dari pada guratan bukit. Sementara langit biru beserta awan-awan putih mungil seakan ingin tampil mempercantik teluk Kabui pagi itu. Aku pun terpana diam. Nahkodah semakain melambatkan kapal dan mematikan mesin saat melewati passage. Seperti aliran sungai sempit, diapit oleh bukit karang tinggi. Nahkodah sengaja ingin tetap membuat nyaman biota laut yang tinggal di passage.
“Biota yang tinggal disini supaya tetap tenang, jadi kita buat aturan, mesin harus kita matikan setiap melewati passage, ini.†Joe menjelaskan. Kembali kami berempat melihat kearifan masyarakat local menjaga alam yang sudah dianugerahkan Tuhan.
Tiba di teluk Kabui, Pulau tak berpenghuni, terletak diantara pulau Waigeo dan pulau Gam ini, merengkuh diam pada setiap yang datang. Tak ada riak gelombang. Hanya ada bentangan samudra biru luas dan tenang. Krast-krast muncul dari diatas permukaan air dengan beragam bentuk unik. Menyebar di seluruh lautan dengan berbagai ukuran. Ada yang pipih menyerupai bentuk kipas, ada berbentuk raja pada buah catur, ada yang seperti bunga, dan masih banyak lagi. Hampir disebagian tubuh setiap karang menempel tanaman hijau, memberi kesan damai pada guratan tajamnya. Menempati tempat tak beraturan, membentuk taman unik.
Langit biru menjadi pembungkus sekaligus pelindung nan apik pada teluk pagi itu. Dari dalam laut jernih muncul bayangan karang-karang sama. Seperti lukisan terbalik. Tak terdengar deburan ombak, semua begitu sunyi. Kapal berjalan sangat pelan, berputar memasuki labirin-labirin karang, menelusuri negeri avatar, mencari imajinasi di teluk tersembunyi. Menyentuh guratan-guratan karang membisu saat kapal merapat pada beberapa krast, akan mengantar sebuah dongeng nyata tentang mutiara dari timur Indonesia.Â
Aku menyandarkan kepalaku dipundak Sawa, duduk di bagian depan kapal. Nakul dan Juna juga berada disebelahku. Kami berempat terpekur diam beberapa saat,
“Make a wish buat kita berempat… siapa tahu terkabul.†Aku membuka percakapan.
“Saat siapapun dari kita ada meninggal duluan, hati kita tetap bersama. Jangan saling meninggalkan.†Kata Nakul serius.
“Minta berempat juga semakin kaya, supaya bisa membantu lebih anak-anak yang belum beruntung.†Sawa menambahkan. Kami berempat pun saling memeluk berjanji untuk setia dan minta semakin kaya
Perputaran udara diatas teluk bisa berubah dengan cepat. Terkadang awan tebal akan menyelimuti karang dengan tiba-tiba. Kapal berhenti tenang berada ditengah taman bernama teluk Kabui. Hanya ada suara angin sunyi. Berulang kamo berempat saling memandang dan menarik nafas panjang. Ada jiwa persahabatan yang sedang bergolak ditengah teluk senyap.
“Walaahh... kok malah liat-liatan kayak mau main wayang orang.†Nakul memecah keheningan.
“Make a wish semakin kaya tadi yang membuat aku bengong senang.†Jawabku santai.
“Darah kejantanan kamipun mendidih dan tertantang melihat body drupadi mengenakan baju selam yang sexi! Dok.. Dok.. Dok... Dok..!†Tiba-tiba, Sawa mendalang sambil mengetuk-ngetuk badan kapal.
“Ukuran bra nya sebutin dong sekalian…†Juna menimpali.
“Drupadi dengan ukura 36 B.. dok…dok…dok…†Sawa kembali mengetuk badan kapal, sementara aku masih menyandarkan kepalaku di pundak Sawa.
“Kekecilan dikit kaleeee, 36B…. Tanya Nakul tuh… kemarin yang beliin bra, kan dia..†Jawabku santai.
“36 C, broo… “ Jawab Nakul santai dan datar.
“Bener, nih.. nggak kebesaran, Padi…?!†Sawa bertanya. Kami berempat tak bisa nahan untuk tidak tertawa. Bahkan Joe ikut tertawa keras.
            Krast-krast tetap berdiri anggun, membisu menyaksikan Neji dan Lola telah memilih tempatnya untuk meniti kasih. Angin berhembus lembut menebarkan aroma wangi dari hati yang tengah merekah. Mengirimkannya pada seluruh karang yang menyembul dan membentangkan pada laut sunyi nan jernih. Bayangan suka dan duka muncul dari dalamnya samudra, tak tertebak. Gugusan awan putih perlahan mulai menutup sebagian langit biru. Arsirannya berpadu dengan warna biru, menyuguhkan karya seni dengan sejuta misteri. Taman samudra dengan hiasan bunga karang, tengah mengubah hiasan langit-langit. Semua yang diatas kapal termangu seolah hendak dibawa menuju babak baru dalam sebuah dongeng.Â
“Woowww..†Serempak semua yang diatas kapal berucap tentang sebuah kekaguman.
           “Gusti Yang Maha Agung itu selalu adil dengan pemberiannya. Masyarakat terpencil disini, diberi karunia keindahan luar biasa. Sedangkan yang terhormat di gedung DPR/MPR diberi karunia godaan uang banyak dan wanita.†Juna membuka percakapan
           “Suatu hari Semar dan Petruk disuruh para dewa untuk memilih dua tempat, Raja Ampat atau gedung DPR/MPR.†Juna mulai berceloteh.
            “Semar memilih tinggal di Raja Ampat, karena ternyata Gusti Alloh memberi karunia penyakit epilepsy pada Semar.†Juna terus berbicara.
           “Terus Semar yang epilepsy, minta ditemani Drupadi di Raja Ampat…†Nakul menimpali. Kami kembali tertawa.
          “Sedangkan Petruk memilih tinggal di gedung DPR/MPR, ternyata Gusti Alloh memberi karunia Petruk penyakit kanker paru-paru.†Kata Juna. “Petruk tahu dirinya akan segera mati, karenanya dia ingin menjarah uang rakyat sebanyak-banyaknya, dan mengumpulkan beberapa wanita untuk menemaninya di neraka.†Lanjut Juna. Kami kembali terkekeh.
Kabut tebal sudah menutup semua permukaan langit diatas krast. Membungkus dan menyimpan segala kesendirian karang-karang dibawahnya, sekaligus memberi tanda agar kami segera pamit. Perlahan kapal meninggalkan keindahan teluk. Kabui kembali sendiri bersama kesunyian yang semakin memikat. Speed boat pun sudah berada di laut lepas dengan kecepatan tinggi.
*****
Joe, si nahkodah kembali mengajak bermain uji nyali. Tak terelakkan lagi, angin kencang, terik matahari, cipratan air laut, bercampur menyatu pada wajah dan rambut kami berempat. Kami menikmati setiap hentakan dengan teriakan. Kapal melambat dan berhenti di perairan Mike’s Point.
Mas Alex dan crew serta kami berempat menyiapkan perlengkapan menyelam. Lalu kami Berenam duduk ditepian kapal, semua perlengkapan menyelam sudah menempel di tubuh. Bersamaan kami melompat dari kapal mengikuti instruktur mas Alex. Hatiku bergetar saat memasuki laut bening. Gelembung-gelembung air keluar dari regulator menyatu dengan air laut. Beriringan berenang mengikuti arus dengan lembut. Menyatukan jiwa pada suara khas air dibawah laut yang tenang. Aku berada tak jauh dari Juna, Nakul, dan Sawa.
Warna-warni ikan mulai menyambut kami. Orange, biru, hijau, merah, kuning, dan perpaduan beragam warna serta berbagai bentuk ikan membuat takjub siapapun. Mulut-mulut ikan juga tiada berhenti bergerak dihadapan rombongan kami. Mungkin mereka ingin mengajak bicara atau sekedar ingin berucap selamat datang, aku tak tahu.
Negeri bawah laut, menyuguhkan hiburan memukau pada siapun yang datang mengunjungi. Karang-karang keras berwarna krem, coklat tua, dan coklat muda serta dengan bentuk tidak rata, menjadi tanah pijakan bagi kehidupan laut. Ratusan ribu bahkan jutaan kumpulan ikan menari berputar melingkari mereka, membentuk bermacam konfigurasi.
Lalu, jutaan ikan dengan jenis berbeda berenang diatas kami memamerkan keindahan tubuhnya dari bawah. Berpadu dengan warna air yang biru, kami seolah berada tepat dibawah langit dengan hiasan ikan-ikan hidup. Ikan seperti sweetlips, harlequins, rebbon eel, hingga denise pygmi, menempati habitatnya masing-masing bersama keluarganya. Saling berlomba antar kelompok untuk mencari makanan. Bertahan memperkuat kelompoknya ketika ikan besar datang untuk memangsanya. Beberapa ikan berada sangat dekat denganku, mengikuti kemana aku bergerak.
Bermain bebas dalam kerajaannya, tak ada ketakutan pada penyelam atau nelayan yang datang. Tergambar, bagaimana kedamaian tercipta karena masyarakat asli menjaga segala yang ada di kedalaman laut ini. Kesadaran untuk tidak memikirkan diri sendiri menyebabkan kekayaan laut ini terpelihara dengan sangat baik.
Mas Alex yang sudah terbiasa dengan kondisi dan jenis-jenis ikan di spot bawah laut, Tiba-tiba memberi tanda pada rombongan kami untuk tidak panik. Dari jarak sekitar dua puluh meter, seekor shark warna putih dengan panjang lebih kurang dua meter, tiba-tiba muncul santai dan asyik bermain sendiri. Sesaat dia berhenti berenang dan memandang kearah rombongan kami. Tak lama kemudian, hiu putih itu pun berenang dengan tenang menuju kearah kami dengan posisi lebih diatas. Kami harus tetap tenang, sambil mengikuti instruksi Mas Alex. Kami berenang dibawah hiu putih dengan terus menjaga jarak sekitar lima meter dibawahnya. Ditengah tekanan kekhawatiran dan was-was, aku tetap mencoba menyatukan pikiran serta ketulusan dengan segala di sekitarnya. Hingga kami tetap bisa melihat hiu yang berputar tepat diatas kami. Ketenangan hiu dan dan rombongan kami berempat tercipta karena ada energi untuk tak saling mengganggu. Sesaat kemudian, shark putih itu menghilang, entah menuju kebagian mana, tanpa menengok untuk sekedar pamit.
Terus bergerak menuju kedalaman 15 - 20 meter. Suasana kedalaman laut cukup gelap karena kami mulai menyisir gua-gua dibawah air. Senter yang sudah kami siapkan cukup membantu melihat kondisi sekitar. Kerajaan laut di kedalaman ini menyajikan pemandangan yang sedikit berbeda. Karang-karang lunak maupun karang-karang keras menghiasi halaman ceruk yang luas. Dinding ceruk terpahat dari karang keras terjadi secara alamiah dengan karya seni yang apik. Berbagai bentuk karang lunak seperti kipas, selada air, bergerak mengikuti gerakan air yang memainkannya. Menggoyangkan badannya kekiri-kanan, berputar mengikuti irama gelombang. Warna biru tua, ungu, oranye, merah, semakin membuat rupawan gerakannya.
Ikan-ikan kecil bersembunyi, berkejaran, bermain diantara gerakan karang. Ada pesan yang ingin disampaikan melalui lobang-lobang kecil yang menempel pada kulitnya, bahwa tubuhnya tak ingin disentuh oleh siap pun, kecuali ikan-ikan disekitarnya. Sementara karang-karang keras, yang menyerupai kaktus, kembang kol, bunga mawar, dan lain sebagainya, berdiri tegak berdampingan, menjadi penjaga bagi karang lunak. Beragam jenis binatang laut yang menyerupai warna karang keras, tinggal diantara lobang-lobang besar dan kecil yang menempel di tubuh karang. Terkadang sengaja mengintip dari lobang, hanya untuk melihat siapa yang datang.
 Menyisir cave bawah laut dengan tenang, mengenal setiap lekukan dinding goa, dan melihat sebagian keindahan Indonesia. Memasuki selat dangkal dan sempit dengan kedalaman sekitar tiga hingga lima meter, akan terlihat matahari menembus dan membiaskan sinarnya melewati air hingga dasar goa. Menjadi lampu sorot di panggung cave yang samar. Ikan-ikan sengaja bermain, menari memamerkan keelokan tubuhnya diantara bias sorot lampu, seolah menjadi pemain utama di sebuah teater dalam goa.
Tiba disebuah karang lunak berbentuk seperti daun jati yang bercabang, berwarna orange, dimana bagian urat-urat daun nampak jelas terlihat dengan apik. Melambai mengikuti arus, menggoda siapapun untuk menyentuhnya. Kami mendekat kebagian karang yang menjadi pijakan bagi seluruh penghuni laut, berpegangan pada batu karang keras berbentuk oval tak rata, menunggu ikan-ikan yang tengah bersolek didalam lobang. Tak lama, yang ditunggu muncul dengan kecantikannya dalam jumlah ratusan, mengerubungi bagian depan Neji dan yang lain. Berukuran panjang sekitar 15cm, bagian perutnya melebar, berwarna hitam, mengenakan ikat pinggang berkelir putih serta ekor berwarna kuning. Berada sesaat dengan kumpulan ikan-ikan, cukup memberi keheningan dalam kalbu. Membaurkan segala rasa dalam jiwa. Keindahan bawah laut nun jauh di pulau terpencil yang mejadi bagian dari kekayaan Indonesia.
Dulu, pada masa perang dunia ke dua, tempat yang bernama Mike’s point atau Kerupiar Island ini mendapatkan serangan bom dari pasukan Amerika, yang mengiranya sebagai kamuflase kapal perang jepang. Akibatnya saat ini tinggal tersisa setengah bagian daratannya. Namun keindahan bawah lautnya mampu mengundang siapapun yang datang bertandang ke Raja Ampat. Di spot-spot lainnya, kemahsyuran koloni bawah laut di kepulauan Raja Ampat, sudah membahana ke suluruh dunia. Negeri elok bawah laut tanpa korupsi dan ribut soal paha perempuan. Masyarakat lokal dengan kebesaran jiwanya menjaga dengan santun karunia yang sudah dititahkan oleh Tuhan. Mereka suku asli akan melawan dengan segala kekuatan, ketika ada siapapun mengganggu habitat yang telah dijaganya.
Saat pikiranku mmelayang menikmati sajian karang, tiba-tiba Mas Alex kembali memberi tanda agar kami tenang. Dari jarak yang tak jauh dari kami, kembali kami melihat hiu yang sama datang, tapi kali ini bersama tiga temannya dengan ukuran badan lebih besar. Tenang sekali hiu- hiu itu menatap kami. Apapun maksud si hiu-hiu, kali ini aku tak mau bercanda. Bercengkerama dengan ikan lema, boleh lah. Tapi bersantai dengan hiu, nanti dulu. Juna memegang tanganku, sekedar menenangkan agar aku tidak panic. Walaupun aku tahu semua juga panic. Pelan, hiu-hiu meluncur mendekat ke arah kami. Mas Alex tetap memberi tanda untuk tenang.
Kami belum tahu instruksi yang akan diberikan Mas Alex. Kemudian, Mas Alex meminta kami segera naik ke permukaan satu persatu beriringan dengan tenang. Dengan segenap jiwa, hati, kalbu serta ketenanganku, aku meluncur di belakang Juna, diikuti Nakul, Sawa, crew Mas Alex, dan terakhir Mas Alex, langsung naik keatas kapal. Tepat 40 menit kami menyelam. Hanya beberapa menit setelah berada di atas kapal, empat hiu itupun terlihat berenang santai disekitar kapal, lalu kembali menghilang.
Nafasku masih terengah, sementara Mas Alex terlihat tenang sekali. “Tahu saja, itu si hiu ada Drupadi sedang berenang, trus bawa kawannya mengintip nona Padi ramai-ramai.†Kata Mas Alex tanpa expresi.
“Habis ini hiu-hiu arisan, sekaligus bergosip.â€Aku menimpali. “Eh, Drupadi dadanya ok, lho… juga nggak bau amis.. dimana ya, dia merawat tubuhnya…†Aku mengoceh sendiri sambil berekspresi dengan gaya ikan-ikan bergosip seperti di film Sponge Bob. “Cuci saja pakai rebusan daun sirih, biar wangi… lalu jangan banyak makan ketimun, biar tidak becek…†Aku merubah suaraku dengan gaya Patrick yang lugu dan OON. Semua yang dikapal tertawa lepas.
“Pejabat yang datang bisa makin ramai, kalau hiu-hiu itu tidak bau amis.†Joe menimpali.
“Tapi sebaiknya pejabat tidak usah kemari.†Kata Mas Alex. Kami bengong saling memandang. “Kasian ikan-ikan kalau pejabat negara kemari. Karena ikan-ikan itu harus menyiapkan uang transport dan ikan perempuan buat mereka.†Kata mas Alex datar tanpa expresi
 “Amis atau wangi, yang penting rasanya, mas broo.†Sawa menimpali.
â€Hidung mas pejabat sudah kebal dengan bau, kebanyakan kesumpal dengan bulu ketiak perempuan.†Joe menambahkan, disambut teriakan yang lain.
Nahkodah menyalakan mesin kapal, kami meninggalkan Mike’s point, mendulang cerita tentang persembunyian biota laut nun disana, di Provinsi Papua Barat.
Â
MASIH ADA BEBERAPA TEMPAT DI RAJA AMPAT YANG AKAN DISINGGAHI DRUPADI, JUNA, NAKUL, DAN SAWA. IKUTI KISAHNYA. Lanjut di LANGIT SORE DI RAJA AMPAT Part 6
*****