Hawa dingin mulai menyelimuti pojok ruangan ini. Di atas sebuah ranjang kecil serba putih, duduk seorang lelaki yang telah kukenal sejak kami duduk di bangku SMA. Namanya Alfin, lelaki tampan berkulit sawo matang yang hampir selalu menyunggingkan senyum di bibirnya. Senyum ceria yang hampir tidak pernah kulihat lagi sejak lima tahun terakhir...
Sekarang Aku berdiri beberapa meter darinya. Kulihat ia mengambil sebuah album foto yang terletak di atas meja tepat di samping ranjang. “hmm.. kau cantik sekali, Tiara†ucapnya dengan sebaris senyum terukir di bibirnya. “aku ingat saat pertama kali kita bertemu, aku merasa jatuh cinta padamu saat itu juga†aku tersenyum mendengarnya, mengingat kalimat itu pernah diucapkannya seusai ijab kabul.
Ia membolak-balik lembar demi lembar album foto itu, album foto pernikahan kami. Setiap kali ia berpindah dari satu foto ke foto lainnya, matanya yang bulat selalu berkaca-kaca, dan aku pun begitu..
Aku tahu apa yang sedang dia rasakan saat ini. Ingin sekali aku mendekati dan menghiburnya. Namun, sekarang sungguh mustahil aku bisa berada disampingnya, sebagai seorang istri. Sejak peristiwa itu, aku hanya bisa berdiam diri di ruangan ini, tanpa ada seorang pun yang berbicara atau menyapaku, termasuk Alfin. Aku hanya bisa memperhatikan setiap orang yang datang menjenguknya, memperhatikan betapa putri semata wayang kami, Rena, telah tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang cantik dan menggemaskan.
Alfin masih terus mengamati foto demi foto. Aku mengamati setiap ekspresi diwajahnya. Terkadang ia senyum, lalu tertawa kecil, dan kadang ia murung. Ah.. aku tidak suka melihatnya begitu..
“Tiara, aku ingin sekali mengajakmu ke suatu tempat†ujarnya. “kita berdua akan pergi ke tempat itu... tidak, kita bertiga, kau, aku, dan Rena†ia tertawa kecil. Aku hanya mengangguk.
“oh, gaunmu.. kau bilang itu milik ibumu.. tapi tetap terlihat cantik saat kau mengenakannya†telunjuknya mengarah ke salah satu foto. Itu foto saat resepsi.
Jari-jarinya mulai membuka lembar lainnya “hei, ini Rena ketika berumur lima bulan. Mungkin ibu yang menaruh fotonya disini..â€. aku teringat Rena, tiba-tiba segumpal rindu menyeruak di dadaku. Kasihan gadis kecilku itu, ia tidak bisa merasakan kasih sayang orang tuanya. Setiap kali ia datang kesini, ia hanya ditemani ibuku, beliau yang merawatnya. Mereka berdua pun tidak bisa berlama-lama di tempat ini, karena Alfin lebih suka menyendiri. Emosinya labil, terkadang ia tertawa, di lain waktu ia menangis, atau kadang melempar makanan atau obat yang diberikan padanya. Sementara aku, hanya bisa memandanginya. Namun kurasa ini semua sudah cukup, bersama dengan orang yang kucintai seperti saat ini sudah lebih dari cukup bagiku.
Tiba-tiba Alfin memberontak, meronta dan terlihat panik “Tiara! Tiara! kau dimana??!†teriaknya sambil memeluk erat album foto itu. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, layaknya hendak mencari seseorang. Matanya menyiratkan kebingungan, berkaca-kaca, lalu akhirnya mengeluarkan bulir-bulir air itu dengan derasnya..
Dengan sigap beberapa orang petugas berseragam putih datang dan menyuntikkan obat penenang pada suamiku. “sudah pak, tenang! Istri bapak sudah bahagia di atas sana...â€
Obat penenang itu rupanya cepat bereaksi. Alfin tertidur seketika sembari memeluk album pernikahan kami..
***
Aku bahagia walau ia tak menyadari keberadaanku disini. Bahagia karena aku pernah memilikinya, pernah menjadi bagian dari hidupnya. Pernah menjadi seseorang yang mengisi relung hatinya. Menjadi ibu dari anaknya. Perjuangan saat aku melahirkan Rena yang akhirnya merenggut nyawaku.. semuanya aku lakukan demi dia yang sangat menginginkan tawa bayi di rumah kami, dan demi putriku yang ingin melihat dunia. Aku tidak peduli saat dokter berkata persalinan itu akan membahayakan nyawaku. Aku yakin, cinta itu akan mempersatukan kami lagi, meski tidak di dunia ini..