Juragan dan Sarjana

28 Aug 2015 00:26 2209 Hits 0 Comments
“Kamu pikir beternak sapi di dunia nyata sama dengan di game? Hahaha....”

Di suatu daerah di Indonesia, hiduplah seorang juragan sapi bernama Wita yang kaya raya. Usahanya bercabang di banyak tempat, dan relasi bisnisnya luas. Semua kesuksesan itu dia rintis sejak masih muda. Belum ada seorangpun yang mampu menyainginya.

 

Suatu hari, datanglah seorang pemuda bernama Ajang yang baru saja menyelesaikan pendidikan sarjananya.

 

“Hmmm... seorang sarjana komputer ingin membuka usaha yang sama denganku? Sepertinya tidak nyambung dengan pendidikan yang kamu tempuh nak. Jebolan kuliahan kurang pantas untuk berurusan dengan dunia ini.” Kata Wita sambil berkacak pinggang.

 

“Kamu pikir beternak sapi di dunia nyata sama dengan di game? Hahaha....”

 

“Saya belum mendapatkan pekerjaan, jadi bersama adik dan sepupu, saya memutuskan untuk memulai usaha ini, dibantu modal dari orang tua.”

 

“Itung-itung juga nabung buat biaya nikah nanti pak, hehehe...”

 

“Ooo begitu toh...”

 

***

 

Dari waktu ke waktu, usaha Ajang terus berkembang, tapi masih belum bisa menyaingi Wita. Namun, Wita mulai khawatir dengan perkembangan Ajang.

 

“Si sarjana itu tidak boleh menyaingiku, kalau sampai itu terjadi, gawat... bisa celaka dua belas aku.” Katanya dalam hati.

 

Terkadang secara diam-diam, Wita suka menceritakan hal-hal buruk tentang Ajang pada orang lain. Dan terkadang pula itu tidak benar.

 

“Saya jamin daging sapi saya ini kualitasnya mantap! Karena saya gak sembarangan ngasih makan sapinya. Den Wita... sudah berpengalaman sejak jaman orang tua dahulu, hohohoho!”

 

“Gak kaya yang sebelah sono itu, kayaknya dia masih kurang paham tentang ngasih makan sapi. Bahaya kan kalau sapi dikasih makan yang banyak mengandung bahan kimianya? Maklum sih sarjana komputer, tapi beternak sapi, kan gak nyambung.” Katanya sambil berbisik.

 

“Silahkan nanti datang lagi, mau beli daging sapi atau sekalian sapinya, kesini aja!”

 

***

 

Pada suatu waktu, Indonesia diterpa krisis ekonomi yang turut menyulitkan kedua pengusaha sapi tadi. Tapi nasib Wita lebih baik karena posisinya yang kuat, serta pengalamannya yang lebih lama.

 

Sedangkan Ajang baru pertama kali menghadapi krisis ekonomi ini, posisinya juga masih lemah, ditambah pengalamannya yang kurang.

 

Nasib Ajang semakin memburuk setelah sapi-sapinya terjangkit penyakit, dan beberapa relasi bisnis yang meninggalkannya karena katanya Ajang kurang baik dalam hal berkomunikasi dan bersosial.

 

Wita bagaikan mendapat angin segar di tengah hawa panas.

 

“Hihihi... bagus bagus... mudah-mudahan dia bangkrut... eh... terlalu kejam toh, ya biarlah dia ganti ke usaha lain, asal jangan sama denganku.”

 

Ajang nyaris gulung tikar, dan sempat frustasi.Tapi dia mendapatkan kembali keyakinannya setelah teringat pesan dosennya dahulu.

 

“Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkannya. Dan jangan lewatkan salat 5 waktu dan tahajud.”

 

Sejak saat itu hampir setiap hari dia tidak pernah melewatkan salat tahajud, termasuk duha. Kemampuan berkomunikasi dan bersosialnya pun dia tingkatkan.

 

***

 

Pagi itu Ajang memasang beberapa kamera di dalam kandang sapi, sementara adiknya sedang mengendalikan sebuah pesawat drone yang terbang berputar-putar diatas lahan mereka. Sepupunya sedang sibuk di depan Laptop.

 

Perhatian Wita tertarik setelah melihat drone tersebut.

 

“Wah, itukah yang disebut drone, yang belakangan sering dibicarakan di tivi?”

 

“Oh, iya pak.” Jawab Ajang.

 

“Untuk apa toh kamu pake itu?”

 

“Untuk melihat kondisi lahan kami pak, sekaligus memetakannya. Kalau dari udara kan lebih enak ngeliatnya. Selain itu bisa juga digunakan untuk pengawasan.”

 

“Terus kamera-kamera CCTV itu buat apa?”

 

“Ini juga untuk membantu kami dalam melakukan pengawasan. Setidaknya kami tidak mesti bulak-balik ke kandang.”

 

“Hmmm... bisa masang sendiri, gak nyuruh tukang?”

 

“Saya dulu pernah belajar pak, hehe...”

 

***

 

Perkembangan internet, gadget, dan komputasi mobil lainnya yang telah menjadi tren, dimanfaatkan dengan baik oleh Ajang. Dia tahu bahwa teknologi sangat berpengaruh pada bisnis, lebih berpengaruh daripada politik.

 

“Aku akan membuat situs tentang usaha kita, sekalian dengan aplikasi-aplikasinya untuk smartphone. Kira-kira aku butuh waktu selama sebulan, mungkin lebih, jadi selama itu kalian harus mengganti posisiku.”

 

“Tak percuma kamu kuliah di jurusan komputer.” Kata sepupunya

 

Sementara itu, Wita masih menggunakan cara-cara konvensional, khususnya dalam mempromosikan dagangannya.

 

“Bos, bagaimana kalau usaha kita dibuat situsnya di internet, seperti kebanyakan orang lain, supaya...”

 

“Lah lah lah, buat apa? Aku bisa sukses gini aja cuma lulusan SMA yang dulu belum ada tivi, komputer, smartpon, internet atau apalah. Usahaku bisa besar gini juga gak pake macem-macem gitu, yang penting keuletan dan kemampuan dalam bergaul dengan orang.”

 

“Gitu aja kok repot?” Sambil menghisap rokoknya.

 

Anak buahnya langsung cemberut, “Bos, ada baiknya juga kita sering mengadakan acara-acara keagamaan begitu, seperti pengajian bareng, atau sumbangan pada panti asuhan...”

 

“Emh... iya nanti....”

 

Dan Wita tidak pernah melakukannya.

 

***

 

“Generasi tunduk, sepertinya orang-orang sudah terlalu berlebihan dalam menggunakan gadget-nya. Hampir dimana-mana kepalanya tunduk melototin smartphone.” Kata sepupu Ajang.

 

“Ya begitulah teknologi, kita tidak dapat melawannya, tapi kita bisa beradaptasi dengannya, dan disanalah kita bisa memilih negatif atau positifnya.” Balas Ajang.

 

Sementara itu di rumah Wita.

 

“Belakangan ini omzet kita selalu menurun. Secara perlahan, tapi pasti, dan ini sudah terjadi lebih dari tiga kali. Saya jadi khawatir bos...” kata anak buahnya, “saya menyarankan kembali tentang merubah cara kita berbisnis itu...”

 

“kita harus beradaptasi dengan zaman. Dan juga... kita harus banyak beribadah. Kata orang-orang, Ajang hampir tidak pernah lewat solat malamnya, dan seminggu sekali diadakan pengajian di rumahnya, selain it...”

 

“Cukup, cukup... jangan nyeramahin saya.” Wita menghisap rokoknya dalam-dalam. Matanya mengarah ke jendela yang terlihat pemandangan lahan-lahannya.

 

***

 

Wita tidak pernah merubah cara usahanya, dia tidak memanfaatkan teknologi seperti yang Ajang lakukan, apalagi mengadakan pengajian atau kegiatan amal lainnya.

 

Dia sempat menyuruh beberapa orang untuk membuat sebuah situs internet, tapi terlambat, usianya keburu tua dan sering sakit-sakitan, pelanggan-pelanggan lama mulai jarang ke tempatnya, apalagi pelanggan baru. Usahanya terus menurun secara perlahan tapi tetap. Anak-anaknya tidak ada yang mewarisi ilmunya, mereka semua menjadi pegawai, bukan berwirausaha.

 

Hingga akhirnya tiba, usahanya yang telah berdiri selama puluhan tahun, dan selama itu pula terkenal, harus berhenti ceritanya. Penyakit yang dideritanya pun semakin parah. Tak lama setelah kebangkrutannya, dia meninggal dunia.

Tags

About The Author

Fajar Sany 25
Novice

Fajar Sany

Saya adalah Fajar, manusia biasa, bukan manusia super atau yang aneh-aneh lainnya.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel