Guiyu: Kota Sampah Elektronik Dunia dan Masalahnya

27 Aug 2015 14:00 7546 Hits 0 Comments Approved by Plimbi

Sebuah desa di dekat Laut Cina Selatan, negeri Tiongkok, dijuluki sebagai “Kota Sampah Elektronik Dunia”.

Barang elektronik adalah barang yang dewasa ini seolah tak dapat dipisahkan lagi dengan kehidupan manusia modern. Mulai dari barang elektronik yang rancangannya demikian canggih dan berteknologi tinggi seperti laptop, PC, ponsel, pemutar musik digital, tablet, sampai yang lebih sederhana seperti kalkulator, remote control, televeisi, jam tangan, dan sebagainya adalah bagian dari kehidupan manusia.

Seperti manusia sebagai penciptanya, tidak ada barang elektronik yang usianya abadi. Suatu saat akan rusak atau berhenti berfungsi. Belum lagi tren dan perkembangan teknologi yang bisa membuat suatu barang dianggap “ketinggalan zaman”, kemudian mulai ditinggalkan dan dihentikan penggunaannya. Lantas, apa yang terjadi ketika barang elektronik mati dan kehilangan manfaatnya? Seperti halnya barang produksi lain, barang elektronik dibuang dan berganti nama menjadi sampah—sampah elektronik. Dan seperti halnya sampah-sampah lain, sampah elektronik pun pada akhirnya akan dikumpulkan dan dibuang ke tempat pembuangan.

Guiyu: Kota Sampah Elektronik Dunia dan Masalahnya

Di Negeri Tiongkok, terdapat satu daerah khusus yang dikenal sebagai kota sampah elektronik. Kota ini dijuluki demikian karena pemandangannya yang seperti tempat pembuangan sampah. Bedanya, sampah yang bertumpuk di sana bukan sampah-sampah rumah tangga biasa, namun onggokan barang-barang elektronik yang tak terpakai lagi.

Guiyu adalah nama kota tersebut. Terletak di Provinsi Guangdong, Prefektur Shantou, Negeri Tiongkok, Guiyu pernah disebut sebagai kota sampah elektronik terbesar di dunia.

Permasalahan terbesar yang dihadapi Guiyu sebagai tempat penampungan sampah elektronik adalah polusi. Polusi tanah, air, dan udara telah mencemari lingkungan Guiyu dan menjadikan tempat itu sangat tidak layak ditinggali. Polutan-polutan itu berasal dari zat-zat kimia yang digunakan sebagai bahan komponen-komponen elektronik—termasuk cangkang (casing) barang tersebut. Polutan-polutan itu terurai terutama ketika komponen-komponen elektronik dibongkar dan dipereteli, atau dibakar untuk dilebur.

Guiyu: Kota Sampah Elektronik Dunia dan Masalahnya

Masalah polusi ini tentu membawa masalah lain, seperti masalah kesehatan. Sekelompok peneliti dari Tiongkok pernah melakukan penelitian di Guiyu. Mereka membandingkan kadar timah dalam darah (blood lead level) 167 orang anak berusia di bawah 6 tahun yang tinggal di Guiyu dengan anak daerah lain. Hasilnya, kadar timah dalam darah rata-rata anak di Guiyu adalah 15,3 μg/dL sedangkan di daerah lain sekitar 9,94 μg/dL.

Kadar timah dalam darah yang sangat tinggi ini berbahaya bagi anak kecil, terutama bagi pertumbuhannya. Kadar timah yang tinggi dalam darah dapat mengakibatkan keracunan timah, dan menyebabkan kecacatan mental dan fisik dalam pertumbuhan anak. Ciri-ciri keracunan timah itu antara lain menurunnya selera makan, penurunan berat badan, perasaan lemas, sakit perut, muntah-muntah yang sering, gangguan pencernaan, dan kemunduran intelegensi. Selain itu, akibat fatal lainnya adalah kerusakan ginjal dan sistem saraf.

Pemerintah negeri Tiongkok bersama pemerintah lokal Guiyu sebenarnya telah berusaha menyelesaikan isu lingkungan di Guiyu, antara lain dengan menerapkan dan menekankan pelarangan impor sampah elektronik. Namun demikian, keadaan sepertinya masih belum membaik.

Larangan impor sampah elektronik menyebabkan sampah-sampah elektronik dari Amerika Serikat dan negara-negara maju di Uni Eropa memang perlahan menghilang. Namun begitu, sampah-sampah elektronik yang diproduksi Tiongkok sendiri justru mulai mengisi lahan di Guiyu.

Berdasarkan data laporan yang dirilis oleh UNEP (United Nations Environment Programme), industri elektronik menghasilkan sampah elektronik sampai 41 juta ton per tahun. Sampah-sampah ini utamanya berasal dari komputer dan ponsel yang rusak atau sudah tua. Perkiraan mereka menduga pada tahun 2017 angka tersebut akan meningkat sampai 50 juta ton. Skala juta ton sudah menunjukkan bahwa angka tersebut bukan sedikit dan merupakan masalah serius, belum lagi kenyataan bahwa 60-90% dari angka total itu dibuang dan diperdagangkan secara ilegal.

Berdasarkan volume sendiri, Amerika Serikat adalah pembuang limbah elektronik dengan volume terbesar, yaitu 3 juta ton per tahun. Sementara itu, diperingkat kedua rupanya diduduki oleh Tiongkok itu sendiri dengan volume 2,3 juta ton per tahun. Ini jelas masalah, karena meskipun larangan mengimpor sampah elektronik dari luar negeri telah disahkan dan diberlakukan, rupanya justru Tiongkok yang kini menyampah di tanahnya sendiri.

Bagaimana dengan Indonesia? Melalui situs media Greeners.co, Deputi Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun pada Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Rasio Ridho Sani, mengakui bahwa Indonesia belum memiliki tempat pembuangan akhir khusus untuk limbah elektronik. Namun begitu, di Indonesia, sampah elektronik tidak sepenuhnya dibuang tetapi ada pula yang diolah kembali, dipisahkan komponen-komponen yang masih bergunanya, kemudian dimanfaatkan kembali sebagai suku cadang barang elektronik lain sekiranya ada yang rusak.

Meskipun demikian, perlu dipahami pula bahwa kegiatan “mengolah kembali” limbah elektronik dengan mempreteli komponennya adalah kegiatan yang sama dengan yang dilakukan para pekerja limbah elektronik di Guiyu. Jangan sampai pada akhirnya kegiatan yang sebenarnya membahayakan diri karena mengeksposkan tubuh kepada racun sampah elektronik ini akhirnya berkembang marak di Indonesia. Karena bisa jadi, suatu hari, jika benar kegiatan ini menjadi marak, Indonesia menjadi sasaran pembuangan sampah elektronik dalam skala besar, menggantikan Guiyu di Tiongkok sana.

Pada akhirnya, permasalahan limbah elektronik ini bukan semata-mata urusan produsen barang elektronik tetapi juga urusan dan tanggung jawab masyarakat sebagai konsumennya. Kecermatan dan kebijaksanaan ketika membeli produk elektronik perlu ditekankan dan digalakkan agar sifat konsumerisme masyarakat Indonesia yang belakangan ini kelihatannya meningkat bisa menahan diri untuk tidak terlalu slebor membeli barang elektronik, apalagi jika tidak terlalu perlu. Dengan menahan gengsi kepemilikan barang elektronik tertentu, sekiranya kita dapat berperan dalam upaya melestarikan lingkungan hidup dari bahaya sampah elektronik yang volumenya semakin meningkat. Lestari bumiku!

Tags internet

About The Author

Shafwan Nugraha 78
Professional

Shafwan Nugraha

Kontributor Plimbi. Level 70 Conjurer Mage lulusan College of Winterhold.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel