LANGIT SORE DI RAJA AMPAT....... Part 1

23 Aug 2015 12:26 11447 Hits 241 Comments Approved by Plimbi

Padi, Juna, Nakul, dan Sawa, punya kesamaan hobby tak bisa diam. Siapakah mereka..? Raja Ampat yang begitu fenomenal, kemudian menjadi tujuan mereka menyalurkan hobby berikutnya.

LANGIT SORE DI RAJA AMPAT

BAB I

       Di dalam mobil, sore itu, aku dan tiga sahabatku saling meledek untuk menghilangkan kantuk dari kegiatan yang cukup menguras tenaga dan jauh. Nakula yang sedang menyetir akan membuang kita di sungai kalau salah satu dari kita tidur. Nakula punya saudara kembar bernama Sadewa, yang juga bagian dari kami berempat. Ayahnya memberi nama Nakula dan Sadewa, karena sewaktu hamil, ibunya sedang jatuh cinta dengan kisah Mahabharata. Setiap hari ibunya lebih banyak menonton serial Mahabharata dari pada harus mengikuti senam hamil. Pandawa tentu saja menjadi idola, hingga saat lahir si kembar, diberilah nama Nakula dan Sadewa. Aku biasa memanggilnya Nakul dan Sawa.

            Satu lagi sahabatku adalah Arjuna. Beda lagi kisahnya, sewaktu hamil ibunya punya kesenangan mengumpulkan busur dan anak panah, katanya kelak kalau anaknya lahir laki-laki biar jago memanah seperti Arjuna, tampan, sekaligus digandrungi banyak wanita. Untung anaknya lahir laki-laki dan juga lumayan tampan, maka diberilah nama Arjuna. Kalau anaknya lahir perempuan, mungkin diberi nama bu sur. Kami biasa memanggil Arjuna dengan Juna.

            Sedangkan namaku sendiri adalah Drupadi. Karena waktu di universitas, ibuku pernah bermain ludruk dan berperan sebagai Drupadi, yang dinikahi oleh pandawa lima. Ibuku selalu mengingat moment itu sepanjang hdupnya, karena menjadi idola. Saat aku muncul didunia, tanpa berpikir nama lain, aku langsung diberi nama Drupadi. Aku biasa dipanggil Padi. Untung parasku cantik sekaligus exotic, seperti Drupadi, walalupun ayah dan ibuku berparas biasa. Mungkin tempat kandungan milik ibuku yg bagus.

            Aku, Juna, Nakul, dan Sawa, bersahabat sejak kelas 4 SD, hingga sekarang kami berusia 26 tahun. Dari kecil persahabatan kami tidak ada kaitannya dengan kisah Mahabharata. Semua hanya kebetulan. Dan kebetulan lagi, kami juga satu SMP dan satu SMA, dan lebih kebetulan lagi, kami satu kelas terus dan kuliah di universitas yang sama hanya beda jurusan. Kalau yang ini mungkin sudah takdir dari para dewa. Kami berempat bekerja di tempat yang berbeda. Tapi kami punya kesamaan, tidak bisa diam. Setelah bergantian baca buku Mahabharata dari mama Nakula waktu SMA, baru kita sadar, kalau nama kita berempat ada di buku itu. Tapi itu tidak penting, yang penting kita kompak.

            Keterikatan untuk saling membantu, saling mengisi antara kami berempat terjalin dengan sendirinya. Saling menjaga kepercayaan, tak perlu ada pengkhianatan. Karena inti persahabatan, adalah kepercayaan. Aku sendiri memang lebih menyukai berteman dengan laki-laki, karena 75% bisa dipercaya. Daripada dengan sesama perempuan yang hanya 5% aku bisa percaya. Tentu saja ini lumrah, karena mulut perempuan ada dua, dan tentu saja lebih susah menjaganya. Saling ada saat susah itu pasti, tak perlu lagi dipertanyakan. Kami akan berjaga bergantian, saat salah satu dari kami sakit. Tapi kalau sakitnya barengan, paling kami hanya saling menelpon. Orngatua kami berempat bisa dikatakan sama.

            Kami berempat masih belum ingin nikah. Aku mengunakan istilah nikah supaya lebih etis saja. Karena sebagian orang tidak suka dengan kalimat “kawin”, padahal katanya lebih enak dari pada harus bertanggung jawab dengan “nikah”. Gaji kami sudah lebih dari cukup buat menyalurkan hobi kita yang tidak bisa diam, seperti travelling, dan peduli dengan anak-anak yang kurang beruntung. Ini berawal, ketika kami berempat bertemu si BEG biasa dia dipanggil, di sebuah stasiun kereta. BEG sendiri sebenarnya dari kata BEGO, karena si BEG yang sudah seumuran dengan kami tidak bisa baca tulis. Padaha dia berjualan majalah dan Koran. Kami berempat penasaran, sekaligus penyakit iseng kami kambuh. Mendatangi tempat jualan si BEG di area dalam stasiun. Aku, Juna, Nakul, dan Sawa, pura-pura hendak membeli majalah. Saat hendak masuk ke kedai milik si BEG, kami tertegun mendengar si BEG sedang belajar mengeja huruf tanpa merasa malu atau minder.

            Sejak saat itu, kami berempat bergantian datang ke kedai majalah dan koran milik BEG untuk mengajari BEG membaca. Bahkan yang jadi ikut belajar bukan hanya si BEG, tapi juga teman-teman BEG di stasiun. Hampir empat bulan lebih, kami berempat pun jadi ikut terkenal di stasiun. Akhirnya BEG bisa membaca pelan-pelan, dan sekarang sudah lancar. Lumayan buat kami berempat, setiap datang ke stasiun itu, keamanan kami dijamin nomer satu dari pada keamanan pejabat yang hendak naik kereta. Berawal dari BEG, kami berempat mencoba semampu kami untuk berbagi hal sederhana pada anak-anak yang kurang beruntung, paling tidak mereka bisa baca di usia 6 atau 7 tahun, bukan 26 tahun. Walaupun apa yang kami lakukan masih jauh dari harapan. 

Karena berkaitan dengan hobi kami yang tak bisa diam, sekaligus mengurangi kemacetan, walaupun nggak ada efeknya, dan tetap macet. Maka kami berempat membeli mobil secara patungan dari gaji kami. Sekaligus masing-masing dari kami juga belum dalam kondisi urgent untuk urusan mobil. Mobil yang cukup nyaman untuk dinaiki. Dengan perjanjian, mobil harus dijual kalau ada salah satu dari kita yang nikah. Supaya tidak terjadi rebutan harta. Dan tidak boleh digunakan mengangkut pacar.

Antara Nakul, Juna dan Sawa, boleh pacaran dengan aku, kalau memang saling tertarik. Tapi harus bersifat terbuka dan tidak main belakang. Sampai hari ini, kami berempat masih memilih menjaga persahabatan, dari pada cinta-cintaan. Apakah Juna, Nakul, dan Sawa ada yang tertarik denganku, aku belum peduli.

            Sore ini, kami baru saja pulang dari daerah Jawa Barat untuk bertemu anak-anak, memberi mereka semangat tetap belajar, kami  bertukar ilmu, dan membuat taman bacaan. Daerah yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari Jakarta, hanya letaknya dibawah pegunungan, dengan kondisi jalan tanah dan berlumpur saat hujan. Berkelok-kelok, belum ada transportasi yang menjangkaunya kecuali menggunakan kendaraan pribadi atau motor. Sekolah dasar maupun sekolah menengah cukup jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. Tentu saja kedatangan kami berempat disambut gempita oleh masyarakat dan anak-anak. Hingga saat pulang mereka satu kampong keluar rumah hanya ingin melepas kepergian kami.

            “Sampai sekolah, energy anak-anak itu sudah habis. Tinggal betis mereka yang semakin keras.” Sawa berkomentar tentang anak-anak yang harus berjalan jauh untuk sampai di sekolah dari rumah mereka dibawah gunung.

            “Bahkan si Amin, sampai sekolah ngaso dulu dan pasti tertidur.” Sambungku. “Kalian bayangin pas dia bangun sekolah sudah bubaarr.” Sambungku lagi.

            “Kalau di kampong itu ada satu atau dua orang bisa membantu baca tulis dan berhitung, anak-anak yang masih kecil tidak perlu harus ke sekolah jauh.” Kata Juna.

            “Lha gimana Mas Juna, satu kampong orangtuanya hanya bergaul dengan ayam dan kambing.” Jawab Nakul sambil menyetir.

            “Bahkan jumlah anaknya juga bersaing dengan jumlah anak binatang ternaknya.” Aku menimpali Nakul.

            “Aku cuma khawatir anaknya ketuker, yang seharusnya kekandang malah ke sekolah, atau sebaliknya.” Kata Juna. Kami berempat terkekeh didalam mobil yang terus bergerak.

            Nakula terus menyetir sambil sesekali ngemil pisang goreng yang dibawakan oleh ibu-ibu dari kampong tadi. Hampi rutin tiga atau lima bulan sekali kami berempat selalu pergi travelling sekaligus mencari hal baru yang menurut kami bermanfaat. Kalau hanya bergumul dengan tempat dan anak-anak kumuh sudah menjadi hal biasa buat kami berempat. Trvelling kami bukan hanya menuju tempat wisata bersih dan mahal, tapi juga tempat wisata kumuh. Ini untuk melatih pemikiran dan empati kami supaya bisa bersikap agak bijak. Orang tua kami juga enjoy saja dengan hal yang kita lakukan, tidak protes, bahkan kadang juga membantu. Tidak ribet dengan urusan pacar, nikah dan sebangsanya. Bersyukur mereka adalah orangtua yang sudah berpikiran maju.

            “Kok si Andre sudah ngilang dari Padi.” Sawa membuka gosip.  “Jelasin semua, Di, supaya tidak ada dusta diantara kita.” Sambung Juna.

            “Awalnya dia mau PDKT, begitu liat kalian bertiga muncul, langsung mungsret lari nggak punya nyali.” Jawabku santai. “Ngadepi kalian aja nggak berani, gimana mau ngadepin hidup yang semakin ruwet.” Aku mempertegas jawabanku.

            “Jadi intinyaaa….??” Tanya Nakul. “Lewaaattt” Jawab kami serentak.

Aku memang menggunakan tiga sahabatku ini sebagai penyaring pertama buat cowok mana saja yang ingin pacaran denganku, juga sekaligus pelindung. Sampai hari ini yang masih kulihat adalah cowok-cowok looser. Sebaliknya, aku selalu mengkhawatirkan si Nakul dan Sawa, karena pernah dua kali mereka mengincara cewek yang sama. Mungkin karena berdua kembar sehingga punya selera yang sama. Tapi kemudian selalu berakhir dengan saling mengalah, dan tidak jadi pacaran.

            Beda dengan Juna, banyak cewek yang suka sama dia, tapi juga tertarik dengan mobil kami berempat. Jadian belum tapi sudah minta dijemput pakai mobil kami. Berikutnya Juna lebih memilih menjemput pakai taxi. Dan selebihnya si cewek akan marah-marah bahkan memaki Juna. Juna tak pernah kecewa, ia tetap santai. Padahal, kalau cewek-cewek yang mendekati Juna tulus, dan hanya ingin mobil, gaji Juna masih lebih cukup buat bayar cicilan mobil tiap bulan.

            “Kita ngupi dulu, ngantuk banget.” Nakula mulai lambat menyetirnya.

            “Boleh, sekalian ngunyah, ngeteh, nguyuh, sama ngemut permen.” Jawab Sawa. Kami berempat tertawa. Tak lama, kami menemukan warung kecil dipinggir jalan, tempat pemberhentian truk. Nakul langsung berhenti parkir didepan warung.

            Seorang perawan berusia sekitar 16 tahun senyam - senyum ramah sekaligus genit menyambut tiga cowok sahabatku. Mengenakan kaos sangat ketat, dengan leher bentuk V lebar, jadi susunya menyembul kesana-kemari, lumayan buat obat kantuk Juna, Nakul, dan Sawa. Sementara aku hampir tak dilirik oleh si perawan, ya, aku hanya clingak-clinguk sendirian.

            “Minta Kopi 4, ya mbak… “ Kata Sawa ramah sambil melihat ke dada si perawan yang menonjol. Lalu Sawa melirik kami, Kami pun sudah cukup tersenyum paham. Duduk berjajar di kursi kayu panjang sambil menunggu kupi, kami mengunyah gorengan yang tersedia, lumayan buat isi perut.

            Tak lama, si perawan penjual kopi sekaligus penjaga warung, keluar membawa pesanan kami. Meletakkan gelas kopi sambil mempersilahkan melihat hidangan susu gratis. Kemudian si perawan duduk dikursi agak tinggi dekat dapur. Jadi para pembeli cowok bisa melihat paha si perawan yang mengenakan rok mini dengan gamblang. Sekali lagi, kami berempat hanya saling memandang dan manggut-manggut. Kopinya lumayan enak, dan asli.

 “Kopinya numbuk sendiri, mbak..?” Tanya Juna sekaigus menghargai si perawan supaya tidak terlalu kecewa, karena sudah berusaha menjamu pembeli dengan cara terbaiknya.

“Iya, mas. Ini kopi asli, bukan beli di warung..” Jawab si perawan bersemangat. “Kalau mau ke kamar mandi juga bisa, mas.” Sambung si perawan sambil menunjuk kamar kecil dibelakang warung. “Bersih kok, mas.” Sambungnya kembali dengan gaya menggoda. Kembali kami berempat saling melihat dan mengangguk.

Sawa yang tadinya sudah ingin nguyuh, memilih menahannya. Karena kuatir yang keluar kencing jenis lainnya. Tak lama, dua orang sopir truk datang, ramah tersenyum ke kami. Lalu duduk dikursi panjang menyamping. Si perawan yang masih segar pun menghampiri. Si sopir, memesan kopi dan makan sambil tangannya mengelus dada si perawan dengan santai. Si perawan menyabumtnya juga dengan pasrah. Mungkin karena semua menyangkut kebutuhan. Kebutuhan yang berkaitan dengan ekonomi, jasmani, rohani, dan akhirnya kebutuhan ketergantungan. Kami memilih segera menghabiskan kopi, membayar dan meninggalkan warung. Kantuk kami pun hilang bukan karena kopi, tapi karena yang lain.

“Pantes, gambar-gambar di truk selalu perempuan sexi, ternyata modelnya memang asli sexi.” Komentarku waktu didalam mobil.

“satu jam nongkrong disitu, dijamin netes semua isi botol gue.” Nakul berkomentar. Kami tak bisa menahan untuk tidak tertawa. Mobil terus meluncur menuju Jakarta.

*****

            Tiga bulan kedepan rencana perjalanan kami adalah menuju kepulauan Raja Ampat. Tempat yang sudah lama ingin kita datangi, konon katanya juga menjadi impian banyak orang. jutaan orang dan banyak photos berbicara tentang fenomena keindahan Raja Ampat yang bagaikan surga. Aku sendiri tidak tahu benar tidaknya, karena aku belum pernah kesana. Kami berempat hanya punya pemikiran seragam, Papua bagian dari Indonesia yang tertinggal, juga pasti masuk pedalaman. Dan lebih bisa dipastikan lagi, banyak anak-anak belum bisa menikmati sekolah dengan baik. Untuk itu, Aku, Juna, Nakul, dan Sawa, juga ingin bertemu dengan anak-anak di Raja Ampat. Dan itu sudah kita persiapkan dari enam bulan lalu. Terutama persiapan biaya yang tak murah dan jauh. Hitungan matematika kami sudah matang. Dan kami berempat harus mengambil cuti tahunan.

            “Jun, Mas Alex Raja Ampat sudah kamu hubungi?” Tanyaku pada Juna.

“Sudah bu nyai…” Jawab Juna. “Kamu sendiri urusan tiket dan buku anak-anak gimana?” Tanya Juna.

“Sudah pak… tiket, buku, gula pasir, pensil, bullpen, sabun mandi, sikat gigi, odol, buat anak-anak sudah tinggal ambil.” Jawabku. Kami punya bagian masing-masing untuk persiapan trip ke Raja Ampat. Trip yang menjadi target dan impian kami dari dulu.

Mobil terus menuju Jakarta, melewati kemacetan yang cukup panjang dan melelahkan. Untuk merubah kemacetan daerah Jakarta dan sekitarnya, memang dibutuhkan keajaiban. Mungkin Tuhan harus turun tangan juga. Kemacetan sudah mendarah daging, seperti keturunan juga seperti karma yang tak pernah usai. Sudah bingung menyalahkan siapa. Dan biar tidak tambah ruwet, sebaiknya jangan saling menyalahkan.

“Kita pulang mandi dulu trus balik lagi kesini, mobil masih nggak gerak kali ya…” Nakul berkomentar.

Kami melihat masyarakat setempat memanfaatkan kesempatan dengan menunjukkan jalan alternative yang sesungguhnya lebih jauh dan mbulet, yang akhirnya juga ketemu macet lagi. Kalau pengemudi tahu, memilih tidak ambil jalan alternative, karena hasilnya akan sama. Dibutuhkan kesabaran extra, hingga kemacetan terurai. Kami pun memasuki Jakarta sudah larut malam. Dan Jakarta juga masih macet meskipun sudah pukul 23.00. aku diantar pulang pertama oleh tiga sahabatku, kami sudah dalam keadaan lelah. Untung besok masih hari libur.

 

INGIN TAHU BAGAIMAN KELANJUTAN RENCANA PADI, JUNA, NAKUL, DAN SAWA, IKUTI PART BERIKUTNYA. LANGIT SORE DI RAJA AMPAT Part 2

About The Author

ugi agustono 37
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel