Â
Â
Pict by Google
Indeks
Chapter I Â Â Â :Â http://www.plimbi.com/article/160476/pahlawan-bersarung
Chapter II Â Â :Â http://www.plimbi.com/article/160576/pahlawan-bersarung-chapter-2
Chapter III Â Â :Â http://www.plimbi.com/article/160653/pahlawan-bersarung-chapter-3
Â
~ P ~ B ~
Â
“Peng!!†kembali suara itu menggema. Suara sableh sahabatku.
               “jangan mati peng! Teruslah hidup peng!†terisak dia mengucapkan kata-kata itu. Dia benar-benar tidak rela kehilangan sahabat sepertiku.
               “jangan mati dulu… lu masih punya hutang lima puluh ribu. Kalau lu mati, sapa yang bakal bayar??†kali ini air matanya benar-benar meleleh di telapak tanganku. Sableh sialan, nyawaku cuma dihargain lima puluh ribu.
               “peng… sapa yang bayar??â€
               “Saya yang bayar…†suara berat yang tak terasa asing menghentikan isak tangis sableh. Suara ini aku mengenalnya, hanya saja aku tak bisa untuk mengingatnya. Sejenak aku tak mendengar apa-apa. Sepi dan hening hingga sebuah suara melantun pelan.
               “santai……â€Â ucap pria tersebut.
               Saat itu pula aku langsung mengingatnya. Gus muh. Gus di pesantrenku yang paling aku segani. Abahnya Gus muh, Mbah Kyai Imron memiliki dua istri. Istri yang pertama atau ibunya Gus muh sudah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Gus muh adalah putra kedua dari empat bersaudara yang kesemuanya adalah laki-laki. Mungkin karena saking kepingiinya mbah yai memiliki seorang putri maka menikahlah beliau dengan Bu Nyai Sa’idah putri Kyai Anas dari Gresik. Namun, benarkah itu Gus muh? Apa yang dilakukan seorang gus hebat yang biasa saja itu? Ataukah suara itu hanya imajinasiku saja? Ah.. semua pertanyaan itu membuatku tak betah untuk tidak terjaga dalam kondisi ini.
               Aku tak ingin terlalu lama larut dalam kegelapan. Aku tak ingin melewatkan hal yang terjadi dialam nyataku. Ku pusat kan segala tenaga dan kesadaranku untuk membuka mata yang sangat berat. Terasa mata ini tercipta bukan untuk terbuka. Tetapi aku harus terjaga. Aku ingin melihat langsung tatapan teduh beliau. Apakah beliau benar-benar Gus muh atau bukan.
               Akhirnya aku berhasil melawan tidurku. Perlahan-lahan aku membuka kelopak mata ini untuk melawan semburat silau dari terangnya lampu. Satu objek yang menjadi acuan ku untuk saat ini. Sableh.
               Tak sadar dia bahwa aku telah tersadar karena dia harus memunggungiku dan sesekali membungkuk dengan lawan bicaranya. Tak jelas apa yang dibicarakan mereka. Pendengaranku masih sedikit terasa perih.
               “bleh….†Panggilku lirih
               Seketika itu dia membalikan badan dengan wajah terkejut dan sedikit pias.
               “fikri.. kamu sudah bangun, fik!â€
tumben sableh memanggil nama asliku. Aku hanya sedikit menganggukan kepalaku.
               Bau khas pewangi rumah sakit terasa merayap masuk dalam hidungku. Ku pandangi setiap detail yang terlihat disekelilingku. Ruangan yang cukup besar dengan hawa AC yang dingin meyakinkanku bahwa aku berada dalam salah satu ruang terbaik dirumah sakit ini. Bunga flamboyan diatas kulkas kecil serta dinding bercatkan krem memberikan kesan hangat dan nyaman.
Kulirik sofa dan meja kecil yang disampingnya terdapat beberapa makanan ringan dan air mineral serta beberapa potong pakaian. Disamping itu terdapat pintu yang kuperkirakan itu adalah kamar mandi. Hey.. bukan itu yang membuat aku terjaga! Untuk saat ini sosok lain dibelakang sablehlah yang membuatku penasaran. Orang itu memakai kaos putih oblong dan sarung. Hampir seluruh kepalanya tertutupi kain perban.
               “sopo iku, Bleh..??† tanya ku penasaran
               Sableh terdiam dan memberikan sedikit ruang agar orang itu bisa ku lihat lebih jelas. Ya, beliau adalah Gus Muh....
Â
(bersambung)