WINTER IN EGYPT...... Part 10

16 Aug 2015 09:52 12521 Hits 220 Comments Approved by Plimbi

Lintang mengalami kritis usai kecelakaan, Edward dan orang-orang terkasih tak pernanh meninggalkannya. Apakah Lintang akan bangun atau meninggal di Alexandira?

WINTER IN EGYPT

WINTER IN EGYPT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut

Winter in Egypt  Part 1
Winter in Egypt  Part 2
Winter in Egypt  Part 3
Winter in Egypt  Part 4
Winter in Egypt  Part 5
Winter in Egypt  Part 6
Winter in Egypt  Part 7
Winter in Egypt  Part 8
Winter in Egypt  Part 9

 

BAB 10

            Mama tersenyum anggun pagi itu, menatapku dengan rasa berlimpah. Tatapan yang tak pernah berubah sepanjang masa. Buliran bening tak sanggup lagi kutahan, Jatuh mengalir perlahan melewati pipiku. Ketulusan yang tak pernah bisa terbayarkan oleh apapun. Aku melangkah perlahan mendekatinya, bersujud meletakkan hati dipangkuan wanita yang sudah dan akan terus merengkuh ku. Usai aku bersujud, mama beranjak dari kursi dengan raut muka duka yang sangat dalam. Aku memegang tangan mama, mengajaknya bicara, “Mama mau kemana?” Mama seperti tak mendengar ucapanku. Mama berdiri diam menatapku dengan pandangan kosong. Aku terus memanggil mama, bahkan sampai berteriak hingga lidahku kelu. Aku menangis, “Mama mau kemana? Jangan pergi ma…” Pintaku pada mama. “Ma, Edward akan datang…” Mama tak juga mendengar suaraku. Aku berusaha menarik tangan mama yang melangkah pergi. Aku seperti tak bisa memegang mama. Mama tetap pergi dan menghilang.

            Semua disekitarku menjadi putih. Aku melihat WOi dan Ajeng berjalan mendekatiku. Aku berlari memeluk keduanya, tapi aku juga seperti tak bisa meraih tubuh keduanya. WOi dan Ajeng meneteskan air mata. Sama seperti mama, ada duka yang dalam menyelimuti keduanya. Aku kembali mencoba memeluk sahabatku, tapi kembali aku tak bisa menyentuh keduanya. Berulang aku bicara dengan WOi dan Ajeng, “WOi, ini aku. Lihat aku.” Kataku bingung. “Jangan pergi Ajeng.” Pintaku pada Ajeng. “WOi jangan pergi.” Aku memegang tangan WOi. WOi tetap diam lalu pergi begitu saja dengan Ajeng. Aku mengejar mereka, berusaha menahannya, tapi mereka seperti tetap tidak melihatku.

            Aku berlari melewati lorong panjang yang sepi, dan tiba disebuah pintu kayu bersih. Aku membuka pintu itu, mataku melihat hamparan rumput hijau dengan pohon-pohon besar. Suasananya begitu tenang, indah dan sejuk. Aku melihat Edward bersama mama duduk bersimpuh dibawah sebuah pohon besar yang rindang. Aku gembira sekali, dan berlari ke tempat Edward. Aku sengaja ingin mengagetkan kekasihku dengan menutup mata Edward dari belakang dengan tanganku. Aku melihat Edward tak bereaksi apa-apa dan tetap berbicara dengan mama.

Aku diam beberapa saat, lalu duduk  disebelah Edward,  “Are you ok, hon?” Tanyaku. Edward tak menjawab. Matanya berkaca-kaca, dan menunduk sangat dalam. Aku bertanya lagi, “Are you ok, hon?” Kembali Edward hanya diam, dan seolah tak menyadari kehadiranku.  “Hon, we will merry, soon. Why you sad?” Tanyaku pada Edward yang masih diam. “Hon, look at me.” Pintaku pada Edward. Ia tetap diam. Aku menengok sekelilingku, mencoba mencari tahu berada dimana. Yagng kulihat hanya kesunyian dan sendiri. Aku menunduk bingung, lalu melihat cincin dari Edward. Cincin pertanda cinta yang kami kejar hingga Egypt. Aku tersenyum hendak melepas cincin itu, dan ingin kutunjukkan pada Edward. Aku bingung, ternyata aku juga tak bisa menyentuh jariku sendiri, dan tak bisa memegang cincin pertunanganku dengan Edward.

Aku duduk bersimpuh diam dihadapan mama dan Edward yang tak melihatku. Air mataku tak terbendung lagi, menyadari  aku berada ditempat yang berbeda dengan mama dan Edward. Entah ditempat mana. Awan serba putih diatasku seolah runtuh. Aku memgang tangan mama dan Edward. “Ma, aku belum mati kan?” Air mataku mengalir tak bisa kubendung. “Hon, Im here. Always here for you.” Kataku pada Edward. Lama aku memandang mama dan Edward, lalu mencoba menenangkan diri. Aku meyakini, cinta  bisa menembus ruang dan waktu yang tak berbatas. Orang-orang yang kucintai tak bisa melihatku, tapi sekali lagi aku berkeyakinan, mereka bisa merasakan kehadiranku.

Aku berlari meninggalkan orang-orang terkasih, mencari tahu dimana aku berada. Air mataku semakin deras, aku terus berlari tanpa tahu harus kemana. Tiba-tiba ada  cahaya yang seperti mengankatku dan menjatuhkan aku di sebuah ruangan. Ruangan yang berisi beberapa dokter dan suster. Aku terperanjat melihat tubuhku membujur pasi tak berdaya. “Aku belum mati..” Kataku pada diriku sendiri.  Aku harus mencari Edward dan mama yang tadi kutemui ditaman besar. Aku diam saat melihat Edward berdiri di kaca pembatas dengan raut muka duka. Tak tahu harus berbuat apa. Sedagkan mama duduk termenung dibelakang Edward sambil memandangi tubuhku yang diam tak bergerak.

Aku melangkah ke depan Edward, memandangi wajahnya dari kaca, sangat dekat. Aku tak lagi berusaha memanggilnya, karena ia tak akan pernah mendengar suaraku. Aku masih ingin bersama Edward dan mama. Mata Edward berkaca-kaca, aku bisa membaca gerak dibibirnya, “God, she is my life, give me time with her, just in the moment.” Edward memohon pada Sang Pencipta.  “I won’t she die, now. I can’t imagine live without her.” Edward masih memohon. Lalu melangkah duduk disebelah mama dan menunduk dalam. Aku menjatuhkan diri bersimpuh didepan kaca pembatas,  mengumpulkan segala kekuatan. Menyadarkan diriku, sambil menatap tubuhku yang masih belum bangun.

Aku berdiri, tak peduli berada di dunia sebelah mana, percaya dengan kekuatan cinta yang aku dan mereka miliki. Membangun keyakinan, mencoba menyentuh hati mama dan Edward. Aku melangkah menembus kaca didepanku, mendekati mama yang tiada berhenti berdoa. Aku berbisik ditelinga mama, “Mama, aku ingin tidur sama mama...” Benar, mama merasakan kehadiranku, mema menengok kearahku. Aku memegang pipi mama, aku yakin mama merasakan kehadiranku.  Mata mama berkaca-kaca, ia menyebut namaku pelan, “Lintang…” Aku diam termangu, mama menarik nafas panjang dan memejamkan matanya, seolah hendak berkomunikasi denganku. Kembali mama menatapku, seperti tahu aku ada disebelahnya. Aku berpindahke Edward disebelah mama,

Aku menatap wajahnya dengan segala cinta yang aku miliki. Aku mengelus kepala Edward, ia kaget seperti merasakan kehadiranku. Edward diam, seperti mencoba menenangkan hati, “God, she is in here… thank God.. I can feel it.” Ia memanggil namaku, “Lintang… I will wait for you, until you are awake.” Edward menggumam. “Don’t leave me, hon…” pelan aku berbisik ditelinga kekasihku.

Aku kembali melihat kearah ruangan tempatku terbujur.  Selang infus dan lainnya menempel pada tubuhku. Diatas tempat tidur, aku didorong menuju ruangan lain. mama dan Edward segera berdiri mengikutiku.  Aku ikut berlari mengikuti tubuhku, menuju sebuah ruangan khusus. Edward dan mama duduk menungguiku disamping ranjang. Aku ikut duduk  persis didepan Edward. Edward memegang jemari tanganku, mencoba mengajakku bicara,

“Hon, we have promised will come again to Alexandria library. Do you remember?” Tanya Edward, pada tubuhku yang tanpa jiwa. Aku mengangguk “I do remember.” Jawabku tak didengar Edward. “I remembered made you mad, in airport when you come. Im sorry about that.” Kata Edward tersenyum sambil memegang jemariku yang pasi. “Ya, you made me mad… but you’ve  surprised me too…” Jawabku. Aku menjadi tidak peduli Edward mendengarku atau tidak. “I will buy for you naan bread more, and we can eat while walking around.” Kata Edward tersenyum. “I want eat naan bread with chicken curry, I know you like it.”

Tiba-tiba kembali ada cahaya didepanku, dan menuntunku kembali kesebuah perjalananku dengann Edward, aku memeluk WOi di kantor pos karena Edward memberiku surprised. Lalu mama, WOi, dan Ajeng melepas keberangkatanku di bandara hendak menuju Egypt. Edward kembali memberiku kejutan saat menjemputku di bandara. Kami berdua menari bersama di restaurant kapal diatas sungai, nil. Edwar kembali menyatakan kesungguhannya di benteng Salahudin. Di Pompeys Pillar, kami bercerita tentang kisah Antony dan Cleopatra, dan di benteng Qaitbay Citadel, Edward melamarku dengan segenap cintanya. Nafasku tiba-tiba merasa sesak, aku menunduk pilu.

Mama memandang Edward mencoba untuk tidak menangis. Aku kembali melihat tubuhku yang belum juga bangun. Edward mencium keningku dengan lembut. “Bangun Linntang, bangun…!” Kataku pada tubuhku yg masih membujur diam. “Lintang, you are beautiful.” Edaward berbisik didepan wajahku, begitu dekat. Aku menunduk pedih. Mencoba memeluk Edward dengan segala keyakinanku dia bisa merasakan. Edward dan mama seperti tak pernah meninggalkan ruangan tempat aku berbaring. Dan entah sudah berapa lama aku terpisah dari tubuhku.

“Hai, kelinci mama yang cantik, mama tahu kamu mendengar mama.” Kata mama tersenyum. “Coat yang kamu beli akhirnya sampai juga di Egypt.” mama mengelus wajahku. Mama tampak kuat. “Mama belum dengar ceritamu waktu di Salahudin.” Aku tersenyum mendengarkan mama. Mama lalu mengambil hp nya dan bilang pada Edward kalau akan menelpon WOi dan Ajeng. Tak lama aku mendengar suara WOi dari telepon.

“Hai Lintang, gue sudah beli jas buat perkawinanmu sama Langit Edward.” Kalimat Woi membuat aku senang. “Jangan lama-lama tidurnya, coba kamu suruh Edward cium kamu, siapa tahu jadi bangun.” Aku mendengar suara WOi, dan aku ingin bangun.  Mama juga menelpon Ajeng. Aku mendengar suara ajeng yang rebut seperti burung.

“Lintang, kalau mau koma jangan jauh-jauh, kasian mama.” Aku tersenyum dalam duka, mataku berkaca-kaca melihat orang-orang yang mencintaiku. “Kalau kamu nggak bangun, coat nya aku ambil, ya.. aku pakai ke raja ampat.” Ajeng memang tak pernah kehabisan bahan bicara. “Ntar Edward Langit, diambil cewek lain, kamu dapet terong lagi… sayang kan…” Ajeng memberiku semangat.

Aku melihat dua orang asing sepasang suami istri memasuki ruanganku. Aku ingat, ia mama Edward waktu skype. Mereka langsung memeluk Edward dan memeluk mama.

“What doctor said?” Tanya papa Edward. “She loses much bloods, and got trauma at the head.” Edward menjelaskan. “She’s dying, dad.” Sambung Edward.

Aku berteriak dan kembali bicara dengan tubuhku, “Bangun Lintang… please… kita nggak boleh menyerah..”

“I want merry with her in here. I don’t care she will wake up or no.” Kata Edward. Aku berdiri tanpa alas kaki disebelah Edward menggandeng tangannya. “I have promised will always standby for her.” Eward menjelaskan pada orangtuanya. “ You should  it.” Jawab papa Edward. Aku kembali berbalik kearah tubuhku, memintanya bangun. Air mataku kembali mengalir, aku memeluk tubuhku. Edward, mama, dan orangtua Edward, tiba-tiba menghampiri tubuhku, Edward menghapus airmata yang membasih sudut mataku. “She heard me, mom..!!” Edward berteriak girang. Aku masih memeluk tubuhku dan mencoba memegang jemari Edward.

Mama menghampiriku, menatap wajahku dengan senyum lembut. Mencium keningku, lalu berbisik ditelingaku, “Bangun, nak… kamu sudah mengejar cintamu hingga Egypt.” Kalimat mama membuatku tersedu dan semaki pilu. Aku masih memeluk tubuhku dan tak ingin beranjak. “WOi dan Ajeng akan senang mendampingi di hari pernikahanmu.” Mama kembali berbisik. Mama dan Edward tersenyum ditengah keharuan karena air mata di ugung telingaku terus mengalir. “Mama datang kemari, bukan ingin melihat kamu tidur.” Mama terus mengajakku bicara. Mama benar, aku harus bangun, tidak boleh lagi ada air mata. Tiba-tiba aku merasa sesak.

Dokter dan beberpa perawat lari memasuki ruanganku, mama dan keluarga Edward nampak panik. Aku tak peduli, aku hanya ingin bangun. Tiba-tiba monitor jantungku menunjukkan grafik lurus. Dokter kembali melakukan beberapa tindakan pada tubuhku. Aku memandang tubuhku yang semakin pasi. “Common breath.” Kata seorang dokter.

Aku mendekati tubuhku,  “Sampai kapan kamu akan tertidur?” aku bertanya pada tubuhku. “Aku tak ingin menangis lagi. Mama benar, aku sudah mengejar cintaku hingga di Alexandria.” Aku terus berbincang dengan tubuhku. “Cincin ini sangat berarti dalam perjalananku.” Dokter dan perawat terus berusaha melakukan tindakan, untuk membantuku bangun.

Aku berdiri diantara mama dan Edward serta mama-papanya. Aku bisa mendengarkan mama menggumam, “Bangun, Lintang… tak ada alasan buat kamu untuk tidur terlalu lama.” Aku menengok mama,

kemudian aku mendengar Edward menggumam, “Wake up, hon. We will back to Jakarta together, soon.”

Aku melangkah menuju tubuhku yang sedang dikerubungi suster dan dokter.  “Bangun, sekarang! Aku harus menikah dengan Edward di Jakarta, bukan di ruangan ini!” Kataku pada tubuhku sendiri.

 

APAKAH CERITA LINTANG AKAN BERAKHIR DI ALEXANDRIA???

*****

About The Author

ugi agustono 37
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel