Katak Ini Menyuntikkan Racun dari kepalanya

10 Aug 2015 12:00 5321 Hits 0 Comments Approved by Plimbi
Kedua katak ini berbeda dengan katak beracun pada umumnya.

Sejauh ini, mungkin yang kita tahu bahwa katak itu ada dua, yaitu katak beracun dan katak tidak beracun. Namun disini, Plimbi akan memberikan informasi terbaru soal katak beracun yang umumnya melakukan perlawanan dengan mengeluarkan lendir beracun.
 
Katak adalah sebuah hewan kecil yang terlihat sangat lemah. Walau terlihat lemah hewan ini sangat disukai anak-anak karena keunikannya bergerak dengan cara melompat.

Katak memiliki tubuh yang mungil, dengan kaki depan jauh lebih pendek dari kaki belakangnya dan punggung yang sedikit membungkuk.

Uniknya lagi, hewan ini merupakan hewan amfibi, yaitu hewan yang dapat tinggal di air dan di darat.

Karena tampangnya yang terlihat lemah, Katak memiliki banyak musuh. Predator utama dari hewan ini adalah ular, elang, bangau dan juga manusia. Dengan predator sebanyak itu katak merupakan salah satu aspek yang tak dapat terpisahkan dari ‘rantai makanan’.

Bahkan di acara-acara televisi yang menayangkan program flora dan fauna, katak diperlihatkan sebagai sosok mangsa yang awalnya saja lompat kesana-kemari tapi ujung-ujungnya dimakan oleh para predator.

Namun ternyata, hal itu berlaku hanya untuk para katak yang tidak beracun.
 
Lain halnya dengan katak yang mempunyai racun di tubuhnya, mereka dapat mengalahkan para predator yang mencoba memangsanya dengan mudah.

Salah satu cara katak mengeluarkan racun adalah dengan melakukan proses sekresi, yaitu mengeluarkan semacam lendir beracun dari kulitnya. Dan baru-baru ini, telah ditemukan dua spesies katak yang dapat menembakkan atau menyuntikkan racun langsung dari kepalanya ke targetnya.

Sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan pada hari kamis kemarin di situs www.cell.com menyatakan bahwa Corythomantis greeningi dan Aparasphenodon brunoi, yang juga dikenal dengan katak dengan pelindung kepala menutupi kepalanya, memiliki tulang berduri-duri yang dapat mengeluarkan racun.

Penemuan ini menjadikan mereka spesies “katak berbisa yang menyuntikkan racun” pertama di dunia, sesuai dengan pernyataan yang dirilis oleh penerbit dari ‘the journal’ yaitu Cell Press.

Sedangkan untuk katak C.greeningi, racunnya pertama kali ditemukan oleh para ilmuwan asal Brazil, tepatnya dari Institusi Butantan, Sao Paulo.

Racun dari katak ini pertama ditemukan ketika salah seorang anggota fakultas Institusi Butantan bernama Carlos Jared terkena racun setelah secara tidak sengaja menyentuh kepala katak tersebut.

Menurut kesaksian para ilmuwan, racun tersebut mengakibatkan rasa nyeri yang sangat yang menyebar ke seluruh tubuh selama, kurang lebih, lima jam.

Untungnya katak yang meracuni Jared ini bukanlah katak Bruno (Aparasphenodon brunoi) yang katanya memiliki racun yang lebih mematikan dari C.greeningi. Bahkan jika dibandingkan ular berbisa yang biasa tinggal di lubang-lubang saja, racun katak Bruno 25 kali lebih mematikan.

Kedua katak tersebut juga memiliki sekresi kulit yang beracun seperti kebanyakan katak beracun lainnya. Yang membedakannya dengan katak beracun lainnya adalah katak C.Greening dan Aparasphenedon brunoi dapat menyerang targetnya dengan cara menyuntikkan racun.

Penemuan ini ternyata sangat memotivasi para ilmuwan untuk meneliti spesies katak lainnya dengan berpegang pada kemungkinan tinggi akan keberadaan katak berbisa lainnya.

Tidak menutup kemungkinan, selain memberikan pelajaran bagi kita untuk tidak bermain sembarangan dengan hewan liar yang ada di alam liar, penemuan ini juga dapat membuka jalan ke penemuan-penemuan berikutnya.

Contoh mudahnya, adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Arizona State University mempublikasikan hasil penelitiannya yang memperlihatkan bagaimana racun dari sebuah katak beracun disana dapat dibuat menjadi kulit pelindung untuk sayap pesawat terbang yang dapat melindunginya dari es dan air, serta mencegahnya dari proses pembekuan ketika pesawat sedang terbang.

Sebuah hasil tes memperlihatkan bahwa kulit pelindung ini dapat mencegah penumpukan es pada sayap pesawat dalam waktu satu jam, yang juga 60 kali lebih lama dibandingkan lapisan Superhydrophobic, yaitu sebuah lapisan yang fungsinya untuk menjebak udara di atas permukaan dengan menambahkan nanostructure. [FM]

Via CNET

 

About The Author

Plimbi Editor 500
Administrator

Plimbi Editor

Official Account of Plimbi Editor - Follow Twitter @plimbidotcom dan Like FP Facebook Plimbidotcom
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel