WINTER IN EGYPT
Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikutÂ
Winter in Egypt Part 1
Winter in Egypt  Part 2
Winter in Egypt  Part 3
Winter in Egypt  Part 4
Â
BAB V
           Pagi memasuki hari ke empat, lenyap sudah kisah tentang Edward. Aku harus menutup tirai ruang dalam kalbuku untuk kisah yang sudah lewat. Walau aku pasti akan megimgat bagian cerita ini. Karena ini bukan mimpi, nyata aku alami. Tidak ada guna merana, meradang, pilu, luluh lantah dan sebagainya terlalu lama. Hanya membuat rugi diriku sendiri. Ini hanya sebuah ending sementara. Chatting dan mimpi seorang bintang dalam opera sabun. Kumasukkan semua document untuk kedutaan Mesir dalam laci meja beserta passport. Aku hapus semua kalimat-kalimat dari Edward yang di WA ataupun sms. Tidak ada lagi yang perlu diingat. Sesekali menengok kebelang boleh, seperti kata mama. Kalbuku sudah ringan mengiringi pikiranku.
Aku tersenyum sendiri, sambil mencoba baju musim dingin didepan kaca, Aku tengah menertawakan diri. Mama tersenyum didepan pintu kamarku, “Bagus juga buat musim hujan di Indonesia.†Kata mama menggoda. Aku hanya menatap mama sambil senyum, lalu berjalan menuju ruang makan, masih menggunakan baju musim dingin. Baru saja duduk, WOi dan Ajeng datang bersamaan. Aku tetap santai saat Ajeng tertawa melihatku, “WOi..!†Panggil Ajeng. “Hari ini pulang kantor main ice skating, di mal Taman Anggrek, yuukk.†Kata Ajeng meledek bajuku.  Kami berempat tertawa. “Untunggg.. belum beli cincin!†Kembali Ajeng meledek, “Dan untungnya lagi yang ditanya ukuran jari manis, bukan jari tengah!†Ajeng kembali ngoceh dan tertawa. “jep.. ajep.. Egypt… jep.. ajep.. Egypt… jep.. ajpe… Egypt,,†Ajeng menirukan gaya rapper sambil goyang-goyang. “Kisah film chatting memang selalu mengharu abu-abu.†Kami berempat tertawa dengan ulah sahabatku satu ini.
           WOi, dalam memandangku. “Nggak perlu ada yang dibahas lagi.†Kata WOi tenang. Aku, mama, WOi, Ajeng, segera sarapan, sebelum barengan berangkat kantor. Saat hendak menuju mobil, hp ku bergetar. Aku melihat ada nomer depan (021), yang berarti kode wilayah Jakarta. Seorang laki-laki dengan suara berat menyapaku dengan sangat sopan. Dia mengaku dari kantor pos pusat. Namanya, Pak Gunawan. “Ada kiriman uang sebesar 2000 dollar, untuk Lintang Cahyani, dari Mr. Edward Peterson, Nevada.†Kata pak Gunawan. Pak Gunawan meminta aku datang ke kantor pusat dengan menunjukkan KTP. Setelah Pak Gunawan menutup telepon, aku lemas dan pegangan pintu mobil. WOi, Ajeng, dan mama langsung menghampiriku. “Ada apa lagi ini…†Batinku berat. “Penipuan macam apa lagi ini…†Batinku kembali sesak.
           WOi diam beberapa saat. Dia minta no phone yang menelponku. Cepat dia mengecek nomor kantor pos pusat. “Jam istirahat siang aku jemput kamu ke kantor, dan kita ke kantor pos pusat.†Kata WOi. Aku hanya mengangguk tak berdaya. Aku sudah tak ingin menghubungi Edward lagi. Tak ada lagi yang melonjak-lonjak dalam diriku. Kami berempat bergegas menuju kantor masing-masing. Aku barengan dengan mama. Aku melihat ekspresi Ajeng yang masih bengong saat masuk mobilnya. “Nggak perlu mikir dan bicara apa-apa.†Pesan mama saat aku  turun mobil di loby kantor. “Iya, ma… Masa aku harus ketipu lagi dengan 2000 dollar.†Jawabku santai. “Siapa tahu sekarang mau beli syalnya.†Goda mama dan kami berdua tertawa. Aku lepas semua beban saat melangkah memasuki kantor, ruh ku sudah kembali dalam jiwaku. Aku tak mau berpikir soal kiriman Edward, ukuran semua jari, baju hangat, syal, dan lain-lain.
           Jam 12.15, WOi sudah diparkiran kantorku. Aku bergegas turun, karena tak mau WOi menunggu terlalu lama. Sepanjang perjalanan di mobil, aku dan WOi bercanda sudah bercanda enak. “Kalau nanti di kantor pusat tidak ada yang namanya Pak Gunawan, kamu harus kasih aku 200 ribu.†“Iya,,. Mudah-mudahan benar.†Jawab WOi setengah yakin. Tiba di kantor pos pusat, aku dan WOi bergegas melangkah menuju papan bertuliskan money changer. Aku dan WOi saling melihat antara ragu dan siap malu, kalau harus tertipu lagi. Bertemu dan bertanya pada petugas perempuan di front desk yang ramah. “Apakah bisa bertemu dengan pak Gunawan? Tadi pagi saya di tilpun dari kantor pos pusat.†Tanyaku berdebar, dengan muka sudah keringat dingin sambil mempersiapkan diri jadi bahan tontonan orang banyak. Setelah menanyakan namaku, petugas pun dengan gesit dan ramah segera memanggil Pak Gunawan.
 Pak Gunawan menyalami dan menyapau dengan ramah, lalu menjelaskan tentang kiriman uang dari Edward. Kali ini, aku dan WOi yang keliatan bingung saling memandang. Lalu pak Gunawan minta ijin menanyakan beberapa pertanyaan sebagai kata sandi. “Warna kesukaan mbal Lintang?†Tanya Pak Gunawan, “Biru.†Jawabku. “Kemana tujuan liburan Mbak Lintang dengan Mr, Edward?†Kembali Pak Gunawan bertanya. “Egypt-Cairo-Mesir.†Jawabku tak percaya.
Aku diam termangu, tak tahu harus bersikap. Hinggak aku tak mendengar saat Pak Gunawan minta KTP, ku. WOi dengan kebaikannya, mencoba menenangkan aku. Aku sodorkan KTP ke Pak Gunawan, dan tak berapa lama, cair uang 2000 dollar. “Ada pesan tertulis dari Mr, Edward untuk menghubunginya, saat sudah terima uang ini.†Pesan Pak Gunawan.
Aku duduk lemas dideretan kursi ruang tunggu kantor pos, sambil dipeluk WOi dan masih membawa uang 2000 dollar dalam amplop coklat. Antara sadar dan tidak. Persis seperti adegan sinetron. Aku dilihat banyak orang karena tak kuasa lagi membendung air mataku. Aku belum pernah melihat wajah WOi segembira itu, sejak perkenalanku dengan Edward. “Ini beneran, WOi?†Tanyaku. “Ini serius buk…†Jawab WOi “Sudah cepetan tilpun Edward.†Sambung Woi. Aku masih linglung dengan kekacauan rasa yang berundag-undag.
“Pulsaku habis.†Jawabku lugu. WOi tertawa, “Ya udah beli pakai itu dollar yang kamu pegang.†Kata Woi lucu sambil memegang amplop kiriman dari Edward. “Kan belum ditukar..†Jawabku masih lugu. WOi pun tak tahan, akhirnya lari mencari pulsa kebawah tempat jual pulsa. Padahal kita kan bisa isi lewat M banking atau ATM, saking semua nggak fokus, karena rasa yang sudah tumpang tindih nggak karuan. Tak lama, masuklah pulsa elektronik yang dibeli WOi.
Aku menarik nafas panjang sepuluh kali, baru menelpon Edward. Yang pertama kali kudengar adalah suara Edward dulu. “I know you will mad at me… haha..†Kata Edward. “But, I kinda like it when you mad, Lintang..†Suaranya lembut. Aku masih diam, belum tahu bicara apa, “I love you…†sambung Edward lagi. “I love you too..†Jawabku parau. “Hi, no need to cry… I’ll see you soon.†Kata Edward. “Please, go buy ticket to Egypt and go to Egypt embassy soon.†Sambung Edward
 “Yes, thank you for sending me money.†Jawabku. “But, I can do it with my money.†Sambungku.
 “No.. I have responsibility about it.†Kata Edward. “When we meet in Egypt and if it turns out you don’t love me, that’s ok, free to choose what’s best for you, right?. “ Edward mempertegas semuanya. Aku diam semakin tak mampu menjawab. “Ya, nggak mungkin lah… “ batinku. “Im tired now, will rest soon. I will call you whenI’m wake up.†Edward pamit. “See you tomorrow, hon. Take care, I love you.†Manis sekali kalimat Edward. “See you, hon… have a good rest. I love you.†Jawabku kembali terbang ke gugusan awan paling tinggi. WOi tersenyum, dan kami kembali berpelukan dilihat orang banyak. Aku tak peduli.
*****
Kalau halaman yang menglilingi rumah ibuku ini ditanami bunga, pasti sedang mekar semua, harumnya semerbak menembus bagian relung terdalam setiap yang lewat rumahku. Seperti itu bahasa puitisnya. Semua document aku keluarkan lagi dari laci meja. Ternyata kisah seorang bintang di dunia maya, belum ending. Baju musim dingin yang sudah aku pindah di lemari mama, aku pindah lagi ke kamarku. Rambutku juga sudah aku rapikan, bahkan hampir setiap hari aku menggunakan scrub saat mandi. Biasanya aku olahraga seminggu dua kali, sekarang seminggu empat kali. Aku lihat lagi ukuran jari manisku, siapa tahu Edward memang akan memberikan cincin buatku.
Komunikasi dengan Edward kembali terhubung seperti sedia kala. Edward selalu menanyakan persiapanku sejauh mana. Edward akan tiba di Egypt sehari sebelum aku datang, kemudian dia akan menjemputku di bandara. Tidak ada janji manis dari Edward nanti di Ecypt seperti apa. Kami berdua sama-sama belum pernah ke negeri pyramid itu. Aku dan Edward lebih banyak membaca tentang segala yang berkaitan dengan Egypt atau Mesir. Mama sangat membantu semua persiapanku, dari printilan kecil sampai mentalku. Ada kegundahan dalam hati mama, yang tak bisa disembunyikan dariku. Harapan akan kebahagiaan anak perempuan satu-satunya yang ia miliki. Bukan tidak ingin menemani ke Egypt. Tapi, mama lebih membiarkan aku matang dalam perjalanan kisahku. Memberi gambaran bagaimana aku harus bersikap saat bertemu Edward, tanpa harus mendikte.
 “Jadi diri sendiri dan apa adanya, itu lebih baik, nduk..†Pesan mama malam itu. “Jaga diri baik-baik, nggak perlu main drama.†Sambung mama. “Kalau kamu bingung saat akan mengambil keputusan apapun, ikuti hatimu yang paling dalam.†Aku mendengarkan kalimat-kalimat mama. “Karena itu kejujuran yang sebenarnya.†Mama menegaskan. “Kita jalani dulu semua, sambil wait and see, nanti setelah kamu ketemu Edward.†Kata mamaku lagi. Aku hanya bisa memeluk wanita cantik disebelahku dengan segenap rasa cintaku. Aku tak ingin menyakiti hati mama dengan segala pesan dan kekhawatirannya. Ia yang tatap ada saat aku dalam kondisi apapun.
Yang paling heboh dan tak bisa diam tetap Ajeng, “Lin.. pokoknya gue tetep jadi pendamping pengantin wanita.†Kata Ajeng sore itu. “Yang mau nikah itu sopo?†Tanyaku. “Lhaa ini, sudah bawa celana dalem sexsyyong..†Jawab Ajeng sambil mengambil celana dalemku dari lipatan.†Aku cuma senyum sambil masukin baju di kopor. “Pakai senyam senyum lagi… bawa kondom ya, non.. biar kalau kamu hamil disana nggak nangis-nangis, cari mama.†Ajeng tetap berceloteh. “Aku disana cuma 15 hari.. piye bisa hamil..?†Tanyaku menggoda. “Coba kalau nggak ada 2000 dollar, bisa hamil sama terong-terongan bener.†Ajeng masih belum bisa diam. Lalu kami bertiga tertawa. WOi memilih membaca santai dikamarku, sementara dibiarkannya Ajeng bercelotah seperti penyiar radio yang tidak laku.
Hari menjelang keberangkatan sudah semakin dekat. Mentalku sudah semakin matang dengan segala kejadian yang mengiringi sepanjang perjalanan ini. Semua aku sikapi dengan tenang, tidak harus melonjak dengan kecepatan tinggi atau rendah. Ritme emosi aku atur dengan kecepatan sedang, supaya aku tidak menjadi keledai.
*****
Apakah Edward akan menjemput Lintang di Egypt... ikuti di   Winter in Egypt Part 6