Umar Fayumi: Sebulan Merevolusi Diri

16 Jul 2015 05:00 3560 Hits 0 Comments

Mengapa Ramadan berulangkali datang dan pergi, sementara i peningkatan ketakwaan dan nilai hidupnya tak dapat dirasakan?

Sebulan Merevolusi Diri

Ditulis Oleh: Umar Fayumi

Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i, sastrawan kontemporer terkemuka asal Mesir, dalam kitabnya, Wahy al-Qalam (Wahyu Pena), mengungkapkan, puasa ramadhan pada hakikatnya dimaksudkan untuk memberikan pengalaman “hidup miskin” bersama. Dengan lapar bersama, umat diajak merasakan penderitaan bersama. “Kebersamaan rasa” dan “rasa kebersamaan” inilah yang hendak ditumbuhkan oleh puasa.

Alquran sendiri secara tegas telah menyatakan bahwa disyariatkannya puasa adalah untuk meningkatkan ketakwaan dan nilai hidup individu ataupun umat. Pertanyaannya, mengapa Ramadan berulangkali datang dan pergi, sementara itu masyarakat kita banyak yang berpuasa selama satu bulan penuh, tapi peningkatan ketakwaan dan nilai hidupnya tak kunjung dapat dirasakan?

Pengendalian Diri

Jelas ada makna yang hilang dari puasa kita. Salah satunya adalah pengendalian diri. Puasa sejatinya merupakan media pelatihan mental agar kita terbiasa membuat keputusan dan bertindak secara bijaksana, taktis, solutif dan berwasawan masa depan. Banyak psikolog menyebutkan, orang yang cerdas dan sehat mentalnya akan dapat menunda untuk sementara waktu pemuasan kebutuhannya, atau ia akan dapat mengandalkan diri dari keinginan-keinginan yang bisa menyebabkan hal-hal yang buruk dan merugikan.

Ini berarti orang yang sehat mentalnya dipastikan memiliki kesanggupan menunggu adanya kesempatan yang memungkinkannya mencapai keinginan-keinginannya dengan cara-cara yang sehat dan tidak merugikan. Sebaliknya, jika orang tidak mampu menghadapi rasa frustasinya dengan cara-cara yang wajar, maka ia akan berusaha mengatasinya dengan cara-cara lain, tanpa mengindahkan orang dan keadaan sekitarnya. Dengan kata lain, ciri-ciri orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu mengendalikan diri atau memiliki self control yang kuat dalam segala hal.

Logve, A.W mendefinisikan self control sebagai “the Choise of the large more delayed outcame”. Menurutnya, orang yang memiliki pengendalian diri yang kuat akan lebih menekankan pada pilihan tindakan dan keputusan yang akan memberikan manfaat dan keuntungan yang lebih luas dengan cara menunda kepuasan sesaat (choise are delay gratification immedial gratification). Lebih jelasnya, pengendalian diri adalah tindakan menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan dirinya atau orang lain, baik di masa kini maupun di masa mendatang.

Contoh aplikatif pengendalian diri adalah mengendalikan ego, mengendalikan hawa nafsu, mengendalikan emosi, mengendalikan rasa iri dan dengki, mengendalikan rasa malas, dan mengendalikan rasio. Termasuk juga sikap tidak memikirkan keuntungan diri sendiri, tidak membeli sesuatu hanya karena kesenangan dan keinginan semata, tidak mudah mengeluh dan marah-marah di saat segalanya berjalan buruk, tidak takut salah dan kalah, tidak mengundur-undur segala hal yang harus diselesaikan sekarang, tidak mengingkari janji, dan lain sebagainya.

Mawas Diri 

Makna lain yang juga sering hilang dari puasa kita adalah mawas diri atau self regarding, yang esensinya berpangkal pada pemahaman yang utuh tentang siapa sebenarnya “aku”. Dalam kajian sufi disebutkan, “man ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu”, barangsiapa dapat mengenali dirinya sendiri secara utuh maka dia akan dapat mengenali Tuhannya. Ibnu Arabi pernah mengungkapkan, bahwa hakikat “aku” adalah “sang jiwa” yang bersumber dari ruh-Nya, hal mana “aku” dibuat hidup karena suatu alasan atau tujuan, yaitu menghadirkan makna-makna ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan.

Mawas diri pada gilirannya mengandaikan sikap jiwa yang selalu condong kepada kebenaran dan keluhuran. Ia akan mewujud dalam tindakan-tindakan positif yang senantiasa terpancari sifat-sifat kemahaan-Nya.  Karena Dia sang maha rahmat dan kasih sayang, maka “aku” pun akan meneladani sifat kerahmatan dan kasih sayang itu dalam hidupnya. “Sang aku” akan suka memaafkan sepertihalnya Dia juga suka memafkan. Dan seterusnya. (red)

Apa Jadinya Dunia

Ketika hakikat-hakikat sudah dimanipulasi, pengendalian diri dan mawas diri tidak lagi dijadikan landasan dalam mengambil keputusan dan tindakan, maka kehidupan di dunia ini bisa dipastikan akan segera dipenuhi oleh bencana dan kerusakan. Berbagai prahara yang terjadi di dalam rumah tangga, carut-marut di dunia poitik, keserakahan yang semakin membabi-buta dalam memperebutkan kekayaan dan kekuasaan, dan seterusnya, tidak lain merupakan cerminan dari kebangkrutan “sang jiwa” yang sudah kehilangan makna pengendalian diri dan mawas diri.

Hal-hal buruk seperti inilah yang sejatinya hendak dieliminir melalui pensyariatan puasa. Sehingga kehidupan di muka bumi dapat dikembalikan pada titik keseimbangan yang membawa harmoni dan kedamaian. Jika puasa yang kita lakukan selama ini belum mampu mewujudkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kita sesungguhnya belum berpuasa. Ini mengingatkan kita kepada sindiran keras dari Rasulullah SAW, bahwa “banyak sekali orang yang berpuasa, tapi apa yang didapatkannya hanyalah rasa lapar dan dahaga.”

 

 

Tags

About The Author

Juanda san 54
Expert

Juanda san

Writer and blogger
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel