Beberapa bulan lalu diri ini pernah membela habis-habisan praktik ekonomi kapitalis. Berdasarkan ilmu yang pernah dienyam di bangku pendidikan sarjana, diri ini sudah merendahkan derajat orang lain. Derajat yang diri ini rendahkan adalah buruh.
Ya, buruh.
Diri ini berhasil di doktrin menjadi mental terjajah untuk membela pengusaha seutuhnya melalui pendidikan yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan, terutama bangku kuliah. Diri ini telah meniadakan hak dasar manusia atas dasar pekerjaan.
Parahnya lagi atas dasar pekerjaan, diri ini telah mengkastakan tiap-tiap manusia, seperti halnya praktik jaman jahiliyah yang berdasarkan bani.
Saya berterima kasih kepada saudara saya  di Bandung sana yang menyadarkan saya secara tidak langsung. Beliau adalah orang yang tetap konsisten dengan pemikirannya memperjuangkan hak-hak kaum tertindas.
Perkataannya secara indirect kepada saya membuat saya berpikir kembali. Sudah benarkah ilmu yang saya terima sesuai dengan benarnya jalan kehidupan ini? Ternyata tidak. Jawaban atas pemikiran kembali ilmu yang saya terima saya dapat dari kisah rasul. Bagaimana rasul berperilaku terhadap buruh dan budak pada jaman jahiliyah.
Buruh menurut KBBI adalah “orang yg bekerja untuk orang lain dengan mendapat upahâ€. Makna buruh di Indonesia mengalami peyorasi menjadi pekerja kasar. Padahal, selama seseorang mendapatkan upah dan bekerja untuk orang lain tetap dikenakan titel buruh. Buruh selalu identik dengan kaum tertindas jika berkaca dari bagaimana perusahaan dan pemiliknya menilai mereka.
Kebanyakan buruh memiliki upah yang tidak seberapa dan tunjangan serta fasilitas yang alakadarnya. Ini tidaklah sesuai dengan beban kerja yang diberikan kepada mereka.
Praktik ini diperparah lagi dengan praktik pengkastaan atasan bawahan dan devide et impera.
Oleh karena praktik itu, pemilik tidak akan pernah salah, sehingga yang salah adalah buruh bertitel direktur dan buruh staff manajemen ketika ada kebijakan perusahaan yang tidak manusiawi.
Kebanyakan pemilik melakukan ini.
Ini dilakukan untuk mengelola konflik agar usaha mereka terus langgeng dengan profit yang sangat besar. Sungguh keji! Padahal karena merekalah perusahaan dapat berjalan dan menghasilkan tujuan perusahaan berupa profit dan adanya nilai perusahaan.
Buruh dalam islam dapat masuk kategori Mustadh’afiin. Mustadh’afiin adalah masyarakat yang lemah secara ekonomi dan atau kekuasaan dan atau lemah sendiri. Buruh masuk kategori ini karena secara hakikatnya buruh berada dalam posisi lemah.
Posisi lemah mereka dicirikan dari kelemahan secara ekonomi dan kekuasaan. Di dalam islam seseorang yang masuk kategori Mustadh’afiin haruslah dilindungi dan diberikan kemudahan. Namun, buruh di dunia dan khususnya Indonesia kebanyakan tidak mendapatkan perlakuan layak.
Â
Nabi pernah berkata melalui hadist yang disampaikan HR. Muslim :
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwasiat kebaikan kepada para budak dan berkata,‘Berikanlah makanan kepada mereka dari makanan yang engkau makan, berilah pakaian kepada mereka dan pakaian-pakaian yang kalian pakai, serta janganlah engkau menyiksa makhluk-makhluk Allah Azza wa Jalla.'â€
Shahih, di dalam kitab Ash-Shahihah (740)â€.
Â
Berdasarkan hadist tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa budak yang merupakan buruh yang tidak merdeka saja haruslah diberi penghidupan yang layak.
Buruh yang merupakan orang merdeka atau yang tidak dirampas haknya seharusnya memperjuangkan penghidupan layak juga yang sesuai dengan majikannya. Terlebih lagi buruh islam. Jika mereka memang memeluk agama ini dengan baik, maka sudah sewajarnya mereka memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan penghidupan layak yang sesuai dengan majikannya.
Â