Ketika Cinta Bicara (When Love Talks) Chapter 10

23 May 2016 11:23 8599 Hits 4 Comments

Choky tidak bisa melepaskan pandangannya. Sebuah rumah hunian megah bertingkat dua berdiri kokoh di hadapannya. Halamannya yang luas dan indah membentang bagai permadani cantik berwarna-warni. Tengah halaman dihiasi dengan kolam air mancur dengan patung seorang anak laki-laki kecil yang sedang mengambil air kolam. Ikan-ikan koi berwarna warni dengan lincah berenang kesana-kemari di dalam kolam. Bermacam-macam batu koral di tepian dan dasar kolam ikut memperindah kolam yang berbentuk lingkaran itu.

Choky tidak dapat mengerjapkan matanya sedikitpun. Ia belum pernah melihat rumah semewah ini. Ia hanya bisa melongo melihat keindahan rumah bergaya Eropa yang berkelas ini.  

Baca sebelumnya :

http://www.plimbi.com/article/164757/ketika-cinta-bicara-when-love-talks-chapter-9

 

 

Kembali ke tiga tahun yang lalu, tepatnya empat hari setelah kejadian yang memilukan hati Rimbun...

 

 

Masih terbayang dengan jelas di ingatan Rimbun saat terakhir kali ia bertemu dengan sosok ayahnya. Pagi yang semula ceria tiba-tiba berubah menjadi kelam. Saat itu ia yakin melihat ayahnya, meskipun ayahnya pura-pura tidak mengenalnya. “Paaak!! Jangan tinggalkan Rimbun, pak!!” teriak  Rimbun saat itu sambil menangis. Ia masih sempat melihat wajah ayahnya di dalam mobil dan mengejar mobil itu dari belakang. Namun semua usahanya sia-sia. Pada akhirnya ia hanya bisa terpana tak berdaya.

Tiap malam ia selalu mengingat kejadian itu. Sampai saat ini pun dirinya tidak pernah bisa mengerti kenapa ayahnya sampai tega berbuat ini padanya. Ayah yang semula sangat ia sayangi dan idolakan tega berbuat keji seperti ini, membuang dirinya seperti sampah. Apa salahku?, demikian pertanyaan itu selalu bergantung di benak Rimbun tanpa kunjung ada jawaban. Memori indah yang pernah tercipta dan terekam dalam benaknya kini pudar seiring dengan kebencian yang terus berakar dalam hatinya.

Ia ingat saat ayahnya memperkenalkan dirinya dengan sahabat karibnya yang bernama Tigor. Semenjak itulah masa kanak-kanaknya berubah suram. Semula ia tidak menyadari hal itu, karena nyatanya ia jadi punya banyak kawan. Kawan yang senasib dengan dirinya, yang bisa dengan bebas berada di trotoar jalan atau di dekat lampu merah tanpa ada yang melarang.

Seiring dengan waktu, masa itu mulai berubah menjadi buruk. Ia tidak lagi bebas bertemu dengan kawan-kawannya mengamen di pinggir lampu merah tiap hari. Ia diisolir secara paksa dan tiba-tiba tanpa bisa memilih. Ia dipindahkan ke tempat yang tidak dikenalnya, suatu tempat terpencil dekat pelabuhan tanpa bisa lagi bebas bertemu dengan kedua orang tua dan adik semata wayangnya. Ia pun tidak bisa lagi menjaga adiknya seperti biasa dilakukannya dulu. Semua itu terenggut dari dirinya tanpa ia kuasa melawan.

Kini semua tinggal kenangan. Kenangan pahit yang terus terekam dalam benak Rimbun. Ia tidak tahu kapan memori buruk ini bisa terhapus dengan sendirinya dari pikirannya.

Saat ini Rimbun sedang terbaring lemah. Akibat pikiran buruknya yang terus mendera, membuat fisiknya tak kuasa memikul beban. Ia jatuh sakit. Untung ada ibu Rosiah, ibu yang selalu perhatian padanya.

“Sreeett!!” pintu kamar berderit. Ibu Rosiah masuk ke dalam kamar sambil membawa semangkuk bubur ayam dan segelas teh hangat.

“Nah, enda panndu! Nggo banci kam man(19) yah!” sahut ibu Rosiah. Ia duduk di samping Rimbun, meletakkan makanan di lantai lalu memegang tangan Rimbun dan membantunya duduk di kasur. Rimbun sebenarnya malas makan, namun Rosiah dengan telaten menyuapi makanan ke mulut Rimbun seperti menyuapi anak kandungnya sendiri.

(19) enda panndu, nggo banci kam man (bahasa Karo) : ini makananmu, sudah bisa kamu makan sekarang

Rimbun senang jika ibu Rosiah berada di dekatnya. Rosiah layaknya ibu kedua baginya. Ia selalu menyemangati Rimbun untuk tetap bersemangat menghadapi hidup seberat apapun.

Dengan bahasa Indonesia yang campur-campur dengan bahasa Karo, ia sering bercerita tentang pengalaman hidupnya kepada Rimbun. Pengalaman hidup Rosiah yang pahit perlahan membuat Rimbun menjadi anak yang kuat dan tegar.

Ia pun menyadari bahwa ia tidak sendirian di dunia ini. Masih banyak orang-orang di dunia ini yang hidupnya bergelimang derita yang tak kunjung usai seperti dirinya, namun mereka selalu bersyukur. Kalau kata ibu Rosiah (setelah diterjemahkan dari bahasa Karo), “Yah, setidaknya kita masih diberi nafas oleh Tuhan, nak.”

Esoknya, kesehatan Rimbun berangsur-angsur pulih, ia sudah bisa tertawa sekarang. Meskipun dia tidak akan bisa menghilangkan kebencian kepada ayahnya seratus persen, tapi setidaknya ia bisa melupakannya untuk saat ini.

***

 

Sebuah mobil Panther butut sedang parkir di halaman rumah tempat Rimbun dan Rosiah berada. Di dalam, suasana riuh rendah. Benni, Rusli dan beberapa orang anak buah Tigor yang lain sedang menginstruksikan kepada seluruh orang-orang yang ada di ruangan itu. Mereka diharuskan untuk bersiap-siap merapikan barang-barang mereka karena besok akan segera berangkat.

Rimbun menggandeng tangan Rosiah. Ia mendengar semua yang diperintahkan oleh Benni tapi tak mengerti mengapa ia harus ikut mengemas barang-barangnya.

“Nande(20), kita mau dibawa kemana lagi?” tanya Rimbun polos.

“Aku pe la ku teh(21), nak. Tapi rasaku ada yang tak beres!” sahut Rosiah. Ia resah. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres, tapi tidak dapat dijelaskan.

(20) Nande : ibu, mama ; (21) Aku pe la ku teh : Aku sendiri tidak tahu

Benni masih terus berbicara dengan semangat. Pinggir bibirnya sampai mengeluarkan busa.

“Siapkan barang-barang kalian! Besok kita akan berangkat!”

“Kita mau kemana?” kerumunan orang-orang menyahuti Benni kompak.

“Besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat ke tempat tujuan kita, Hong-Kong!!” teriak Benni.

“Hoorreee!!!” mereka kembali berteriak kompak.

Rosiah menanggapi instruksi Benni dingin. Ia tidak percaya dengan omongan Benni. Jemari kakinya bergerak-gerak bergantian memberi pertanda ingin segera keluar dari tempat itu tapi masih ragu-ragu, sampai akhirnya dia tidak tahan berdiri lebih lama lagi.

“Tak usah kita dengarkan dia. Kita masuk kamar saja!” sungut Rosiah. Ia memegang erat tangan Rimbun dan menariknya keluar dari keramaian lalu berjalan menuju ke kamar mereka. Rimbun hanya bisa menurut. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

Di dalam, Rosiah mengunci pintu kemudian berlutut di hadapan Rimbun dan berujar, “Nak, kita harus pigi dari sini. Adi lang(22), bisa celaka kita!”

(22) Adi lang : jika tidak 

Rimbun bingung. Ia tambah tidak mengerti. “Celaka? Kenapa bisa begitu, nande?”

“Mereka akan bawa kita pigi jauh dari sini!” Rosiah menjawab setengah berbisik.

“Hong-Kong itu jauh ya, nde?” tanya Rimbun polos.

“Aku juga tak tahu di mana itu. Menyebutnya pun aku tak pandai. Kingkong? Aaakhh! Aku tak percaya mereka akan bawa kita kesana! Pasti bohong! Makanya kita harus kabur cepat-cepat!”

“Lalu caranya nande? Cemana(23) caranya kita lewati satpam?”

“Nanti kita pikirkan caranya! Kita susun dulu barang-barang kita. Tapi ingat, jangan sampai ketahuan! Kamu juga jangan bilang sama orang lain ya! Diam saja!” Rosiah menempelkan telunjuk ke bibirnya.

(23) Cemana : bagaimana

Rimbun manggut-manggut meski sebenarnya ia masih belum mengerti mengapa harus kabur dari sini. Memang di sini seperti di penjara, tidak boleh sembarangan keluar, harus lewat satpam dulu kalau mau keluar rumah. Pagar rumah ini juga dikelilingi tembok dan pohon-pohon yang tinggi.

Rosiah membereskan barang-barangnya sambil terus berpikir bagaimana caranya mereka bisa keluar dari tempat itu tanpa menimbulkan kecurigaan.

Sebenarnya Rosiah ingin menceritakan yang sebenarnya pada Rimbun. Tapi Rimbun pasti tak akan bisa mengerti. Ia sudah menyadari tentang bau busuk skandal besar ini. Ia baru tahu ketika secara tidak sengaja mendengar pembicaraan rahasia antara Benni dengan Rudi, kaki tangan Fendi sekitar dua hari yang lalu. 

“Empat hari lagi kita berangkat, Ben. Semua sudah beres kan?” Rudi memastikan semua berjalan lancar.

“Beres! Semua dokumen juga sudah siap. Tinggal tunggu waktunya berangkat!”

“Bagus! Ingat ya, jangan sampai mereka tahu kalau dokumennya palsu! Bisa kacau kita nanti!” bisik Rudi. Ia mendekatkan dirinya ke Benni agar jelas mendengar bisikannya.

“Siiip!!” Benni mengacungkan kedua  jempolnya.

“Ikuti saja instruksi yang sudah kubilang kemarin. Jangan buat keanehan, supaya jangan ada yang curiga!” Rudi menepuk pundak Benni. Benni mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tiba-tiba pintu berderit. Mereka berdua terkejut. Dengan sigap mereka berdua keluar dari ruangan, namun mereka tidak melihat siapa-siapa. Mereka berdua berpandangan, seolah-olah dalam hatinya bertanya satu sama lain, apakah ada orang yang mendengar percakapan kita?. Dengan kompak mereka menggelengkan kepalanya tidak tahu.

***

 

Semalaman Rimbun tidak bisa tidur. Ia masih bingung dengan ucapan nande Rosiah yang mengajaknya kabur dari rumah ini, tapi hingga pagi ini belum ada tanda-tanda nande akan mengajaknya kabur.

Rimbun melihat Rosiah yang masih tertidur pulas di sampingnya. Ia memandang wajah Rosiah lekat-lekat. Mata Rimbun mendelik, seperti tak percaya ia melihat pipi Rosiah yang ternyata sudah dipoles bedak tebal, alis mata yang sudah dihitamkan dan bibir yang telah diberi lisptik yang merah menyala. Rimbun tertawa geli dalam hati. Rupanya si nande pun sudah bersiap-siap.

Saat yang dinantikan sudah tiba. Pagi-pagi sekali mereka dibangunkan oleh gedoran pintu di setiap kamar. Benni dan Rusli berteriak bersahut-sahutan.

Rosiah spontan bangkit dari tidurnya. Ia duduk di atas kasurnya dengan mata yang masih terpejam. Rambutnya yang sudah tersisir rapi terpaksa harus berantakan lagi. Rimbun tersenyum menahan tawa.

”Kai kin e(24)??” Rosiah terkejut. Ia menoleh ke arah Rimbun sambil masih memejamkan matanya. Rimbun tidak sanggup menahan geli, ia tertawa. 

(24) Kai kin e : apa itu

Benni menggedor-gedor pintu kamar nomor enam tempat Rimbun dan Rosiah berada. Seorang wanita cantik bernama Leny yang satu kamar dengan mereka membuka pintu dengan genitnya.

”Ihh, bang Benni ini tak sabar kali lah! Kami kan masih ngantuk sih!” jawab Leny tersenyum manja. Ia mencolek dagu Benni.

Benni terperangah. Mata mesumnya tak berkedip begitu melihat wajah Leny yang cantik dan tubuhnya yang seksi. Ia selalu tertegun dan acap kali salah tingkah jika harus berhadapan dengan wanita cantik macam Leny. Ia memang sering memperhatikan gerak-gerik Leny sejak wanita seksi ini sudah berada di tempat penampungan.

”Y-ya su-dah..., cepatlah keluar kalian!” sahut Benni gagap. Lidahnya jadi kelu.

Rosiah yang terbangun karena kaget tampak kesal. Ia merepet dengan bahasa yang tidak jelas.

Satu per satu orang di kamar itu berbaris keluar dengan teratur.  Semuanya ada tujuh orang, tiga wanita, dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Leny yang pertama kali keluar, Rimbun dan Rosiah menyusul belakangan.

Benni tertawa kecil melihat Rosiah. Wajah ibu itu sudah cantik dipoles bedak tebal dan lipstik merah mencolok, namun matanya masih ngantuk dan rambutnya awut-awutan.

Rosiah melihat Benni menertawakan dirinya dari ekor matanya. ”Jangan tertawa kau! Aku ini orang tua, ya! Jangan kau macam-macam!” bentak Rosiah galak.

Bukannya takut, Benni justru terbahak-bahak. Ia sampai menutup mulutnya dengan tangan kanannya menahan tawa yang sudah meledak.

Rosiah sewot. Ia tidak mengantuk lagi. Matanya melotot sambil berjalan terus melewati Benni.

Selanjutnya mereka semua diharuskan berbaris dan dipisah sesuai dengan yang sudah ditentukan. Rosiah tetap bersama Rimbun.

”Nde, katanya kita mau kabur dari sini? Kok belum kabur-kabur?” tanya Rimbun polos.

”Jangan kuatir. Aku tak lupa. Asal kau jangan jauh-jauh dariku ya!” Rosiah menjawab enteng. Rimbun hanya bisa terdiam, ia menurut saja.

Merasa Rimbun masih belum mengerti maksudnya, Rosiah pun jongkok lalu membisikkan sesuatu di telinga Rimbun. Rimbun mendengar dengan seksama. Ia akhirnya mengerti. Rimbun mengangguk, Rosiah pun tersenyum lebar.

Satu persatu laki-laki, wanita dan anak-anak berbaris dengan tertib menuju ruang tamu menuju bis yang sudah sejak kemarin berada di halaman depan rumah. Mereka rata-rata ibu dan wanita yang menggantungkan hidupnya agar bisa bekerja di luar negeri. Hidup mereka miskin dan mayoritas tinggal di desa. Keinginan mereka tidak muluk, mereka hanya ingin merubah masa depan mereka menjadi lebih baik, dan itu bukanlah keinginan yang salah. Namun sayangnya, terkadang keinginan dan cita-cita belum tentu sama dengan kenyataan. Keinginan yang baik pun belum tentu bisa terkabul.

Tampak Rosiah dan Rimbun berada di barisan paling belakang diantara keramaian. Rosiah memegang erat tangan kiri Rimbun. Wajahnya yang sudah putih akibat polesan bedak yang mencolok kini terlihat lebih putih karena tegang. Ia tegang karena sedang bersiap-siap melaksanakan niatnya untuk meloloskan diri.

Sambil terus memegang erat Rimbun dan tangan kirinya menenteng tas besarnya, kira-kira satu menit kemudian ia merubah haluan. Ia berjalan berlawanan arah dengan kerumunan orang yang berjalan di depannya ke ruang belakang menuju tangga dan akan menuruni tangga bawah tanah. Rumah penampungan ini memiliki akses bawah tanah. Ruangan itu diisi dengan kamar-kamar dan gudang yang rata-rata sudah tidak ditempati lagi. Kalaupun ada, hanya beberapa ruangan saja yang diisi oleh laki-laki, selebihnya dibiarkan kosong dan berdebu, atau diisi dengan barang rongsokan dan dokumen yang sudah tak terpakai lagi.

Benni, yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Rosiah yang mencurigakan, langsung membuntuti mereka dari belakang. Ia sepertinya tahu rencana Rosiah, karena sudah berpengalaman mengalami kejadian seperti ini.

”Hei, inang(25)!, mau kemana kau?!” bentak Benni keras. Rosiah kaget. Ia menarik nafas kemudian menoleh ke belakang. ”Mau ke kamar kecil,” bual Rosiah. Ia mencoba tersenyum, namun karena tegang Benni tidak melihatnya.

(25) inang : ibu dalam bahasa batak, nande

”Kalau begitu kau saja yang ke sana. Anak ini ikut aku!” ia masih membentak Rosiah. Ia berjalan mendekat dan mengulurkan tangannya mau membawa Rimbun.

Rosiah tak kehabisan akal. ”Anak ini yang mau ke belakang. Sakit perut dia. Iya kan, nak?” Rosiah mengibaskan tangan Rimbun berharap Rimbun mendukungnya. Rimbun mengangguk bingung. Ia tidak merasa sakit perut, kok. Tapi ia menurut saja. Ia ingat perintah Rosiah yang membisikkan di telinganya untuk ikut saja perintahnya.

”Kalau begitu, ligaatt(26)!!” Kita sudah tidak punya waktu!!” teriak Benni emosi. Ia mulai kesal melihat ulah Rosiah.

”Ue, ue(27)!” Rosiah mengangguk. Tanpa membuang waktu lagi ia dan Rimbun menuju ke kamar kecil. Rosiah mulai takut, jantungnya berdegup dengan kencang. Ia takut kalau rencananya gagal.

(26) ligat : cepat ; (27)  ue (bahasa Karo) : iya, benar

Benni terus mengarahkan pandangannya ke arah Rosiah. Ia yakin ibu ini akan berbuat macam-macam.

Tanpa sepengetahuan Beni, tiba-tiba belaian halus dan lembut dari sepasang tangan yang mulus menggerayangi pundak Benni dari belakang. Benni kontan kaget. Ia menoleh ke belakang.

Sosok wanita cantik sedang tersenyum padanya. Wajahnya ayu, kulit tidak terlalu putih, hidungnya bangir, bibirnya tebal berisi dan bertubuh padat dan seksi. Pinggulnya yang besar membuat mata Benni tidak berkedip. Wanita itu adalah Leny. Ya, wanita yang selalu membuat dia panas dingin setiap melihat fisiknya yang bahenol dan menantang.

Tangan Leny bukan saja menggerayangi pundak belakang Benni, tapi berlanjut ke dada Benni yang bidang. Dengan sentuhan nakal, Leny memainkan jari jemarinya  yang lentik mengusap dada Benni lembut dan mesra.  Benni terkesiap, mulutnya menganga, air liurnya hampir saja keluar. Ia tak menyangka pagi-pagi begini sudah mendapat kado gratis dari wanita idamannya.

Seketika darahnya berdesir. Bagai banjir yang berhasil membobol bendungan, darahnya mengalir deras sampai ke seluruh bagian tubuhnya tanpa kecuali bagian sensitifnya. Aliran itu bahkan mengalir seperti air bah, dan rasanya seperti mau meledak.

”Ada apa sih, bang Ben? Pagi-pagi begini sudah marah-marah?!. Nggak baik, loh!” goda Leny. Tangan kanannya mencolek pipi Benni mesra. Senyumnya mengembang, gigi putihnya terlihat berjejer rapi menambah cantik pesona rupanya.

”Ooh, ... ng-nggak. Itu si ibu Tarigan selalu saja bikin ulah. Eh, kamu.., nggak ikut barisan?” Benni salah tingkah.

”Aku sama abang saja lah. Boleh kan?” Leny menggelayut manja di tangan Benni yang kekar. Otot bisepnya yang keras dan menonjol menunjukkan Benni sering melatih ototnya di gym. Dadanya yang bidang dan kering menambah daya tarik Beni yang sebenarnya tidak ganteng.

”Sudahlah, bang. Biarkan saja mamak yang satu itu. Dia memang suka begitu.” Leny merapatkan tubuhnya ke tubuh Benni. Tangannya merangkul pinggang Benni erat. Mata Benni terbelalak. Ia benar-benar tidak menyangka jika Leny akan berbuat nekad seperti ini. Kedua tangan Leny bahkan dengan liar merambah ke bagian sensitifnya. Spontan, sifat lelaki Benni jadi tertantang. Nafsu birahinya yang sudah bangkit sedari tadi semakin memuncak. Dengan cepat dan tidak membuang waktu lama ia menarik tangan Leny menuju ke sebuah kamar terdekat yang sudah kosong, masuk dan mengunci pintu dari dalam.

Selanjutnya yang terdengar tinggallah senandung mesra sepasang anak manusia yang sedang memadu cinta...

***

 

Rosiah memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Sebenarnya ini adalah bagian dari rencananya. Ia sudah menceritakan keinginannya untuk kabur dengan Leny dan Leny pun bersedia membantu.

Saat melihat Leny merapatkan tubuhnya ke tubuh Benni, ia berlari berjingkat mendekati mereka. Tangan kanan Leny merogoh kantong celana Benni mengambil gantungan kunci kamar dan tanpa sepengetahuan Benni, Leny memberikannya pada Rosiah. Benni yang saat itu sudah terkena sengatan bujuk rayu Leny yang menggoda, tidak lagi menyadari kejadian yang sebenarnya. Dengan cepat, Rosiah mengambil kunci-kunci kamar tersebut lalu berlari menuruni anak tangga dan meninggalkan mereka di sana. Tanpa dikomando, Rimbun berlari menyusul Rosiah dari belakang.

Kini mereka sudah berada di ruang bawah tanah. Mereka berlari menuju kamar yang lebih mirip seperti kantor yang letaknya paling ujung. Di dalam kantor itu sebenarnya masih terdapat ruangan lagi yang saling terhubung namun tidak kelihatan, sehingga untuk menuju ke sana, harus membuka kunci yang letaknya tersembunyi dibalik lukisan delapan ikan koi.

Rosiah berhasil mengetahuinya ketika secara tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan antara Benni dengan seorang yang bermata sipit dan berkaca mata yang belakangan ia ketahui bernama Rudi. Ia juga tidak sengaja melihat Rudi masuk melalui pintu rahasia yang dibuka Benni setelah sebelumnya Benni mengangkat lukisan dinding yang cukup besar itu. Saat itu Benni ceroboh membiarkan pintu kamar terbuka lebar, ia mengira tidak ada orang yang memperhatikannya. Di dalam kantor itu juga terdapat jendela ruangan yang sebenarnya bukanlah jendela yang menghubungkan dengan halaman rumah. Jika jendela itu dibuka, maka yang terlihat hanyalah susunan batu bata. Di balik jendela itulah sebenarnya ruangan rahasia yang tersembunyi itu.

Rosiah berhasil membuka pintu kantor itu. Segera ia berjalan menuju ke lukisan besar dan mencoba mengangkatnya turun dari dinding. Lukisan itu tergantung rendah, namun karena ukurannya yang besar dan berat, tidak mudah menurunkannya.

Setelah berhasil susah payah menurunkan lukisan itu dari dinding, mereka melihat sebuah pintu yang tertutup. Pintu itu terkunci. Kembali Rosiah harus mencari-cari anak kunci yang tepat untuk membuka pintu tersebut. Ukuran pintu itu sendiri cukup kecil, hanya berukuran tinggi 1,2 meter dan lebar 1 meter. Letaknya juga berada 1,3 meter dari lantai kantor, sehingga untuk masuk ke dalam harus memanjat.

Setelah mencari kunci yang pas, Rosiah berhasil membuka pintu yang kecil itu. Ia yakin pintu ini pasti menuju ke luar rumah, begitu melihat Rudi yang bisa ada di rumah penampungan secara dirinya tidak masuk melalui pintu utama dan mobilnya tidak terlihat di halaman rumah.

Rimbun melongo begitu melihat ruangan dibalik pintu yang berupa terowongan kecil dan panjang seperti pipa besar yang tak berujung. Untuk masuk ke dalam, Rimbun terpaksa harus berdiri di atas kursi dan memanjat dinding ruangan. Rosiah membantu Rimbun memasuki terowongan itu. Ia mendorong pantat Rimbun hingga masuk ke dalam terowongan itu.

Saat Rimbun sudah berada di dalam, terdengar bentakan keras dari belakang pintu kamar. Dua orang laki-laki, yang satu gendut dan jelek serta yang satu lagi kurus kerempeng. Mereka memergoki Rosiah dan Rimbun yang mencoba kabur. Mereka adalah Limbong dan Rusli, anak buah Tigor, teman Benni.

”Heiii!!!, mau kemana kalian!!!” bentak Limbong dan Rusli bersamaan.

Rosiah terkejut bukan main. Tanpa menoleh dan membuang waktu lagi, ia menaiki kursi dan segera masuk ke dalam terowongan sambil menyuruh Rimbun cepat kabur dari tempat itu. Rimbun tak bergerak sama sekali. Ia takut masuk ke dalam terowongan lebih jauh lagi.

”Kubas kam, pedasken(28) iahh!!” Rosiah mendesak Rimbun untuk masuk ke dalam terowongan lebih dalam lagi.

(28) Kubas kam, pedasken : Masuk kamu, cepatlah

Dengan cekatan Rusli dan Limbong mendekati Rosiah yang sedang menaiki kursi dan hendak masuk dalam terowongan.  

Mereka berhasil menangkap kaki Rosiah  dan  mengangkat  tubuhnya  yang  sebagian sudah masuk ke dalam terowongan, lalu menghempaskan begitu saja ke lantai. Rosiah pun jatuh tersungkur. Ia meringis.

”Kurang ajjaarr!!!” Limbong marah. Ia menendang perut Rosiah yang kurus. Rosiah berteriak kesakitan, tapi masih sempat menyuruh Rimbun lari.

”Cepat lari!! Itu jalan keluarnya!!” Rosiah menyemangati Rimbun.

Rimbun pucat pasi. Ia sangat ketakutan. Rimbun melihat Rosiah berhasil tertangkap, sementara dia hanya sendirian. Tentu ia ingin keluar bersama dengan Rosiah, ibu yang selama ini mau menjaga dia dengan rela. Ia sangat bergantung pada ibu Rosiah yang baik. Apa jadinya jika hanya dia sendiri yang lolos dari rumah itu, sementara ia pun tidak tahu mau kemana selanjutnya.

Rusli mengejar Rimbun. Badannya yang kurus ceking memudahkannya masuk ke dalam terowongan dengan cepat. Melihat Rusli, Rimbun semakin ketakutan. Ia berlari kencang sambil menunduk. Ruangan yang sempit itu masih memberi kemudahan Rimbun berlari kencang, apalagi Rimbun masih kecil dan tubuhnya pun kurus dan pendek.

Rusli tak mau kalah. Seperti sudah sering masuk melewati tempat ini, ia mengejar Rimbun dengan lincah.

Rimbun tiba di persimpangan. Terowongan itu ternyata terbagi dua, ia pun bingung.

”HA..HA..HAA!!!” Rusli tertawa keras. Gemanya terdengar sampai ke telinga Rosiah.

”Hayooo!!, mau kemana kau?!!” bentaknya. Ia senang melihat Rimbun yang sudah di ujung tanduk.

Rimbun menangis ketakutan, tapi ia tidak menyerah begitu saja. Dengan asal, ia memilih terowongan yang di sebelah kanannya dan berlari meninggalkan Rusli. Rusli mengejar. Hanya dalam hitungan detik, Rusli berhasil menangkap kaki Rimbun. Rimbun terjatuh, ia meronta-ronta. Kaki kirinya masih sempat menendang tepat di muka Rusli.

”BUUUKKK!!!”

”Adduuuhh!!!” Rusli kesakitan, spontan ia melepaskan kaki Rimbun dan memegang wajahnya yang sempat merasakan tendangan maut anak kecil.

”BORJOONGG!!!” Rusli marah besar. Mukanya merah padam. Layaknya harimau yang akan menerkam mangsa, ia melompat dan menerkam Rimbun dengan sekali lompat. Rimbun pun tertangkap lagi. Dengan kejam ia menikung leher Rimbun agar tidak kabur lagi. Rimbun tak berdaya, ia menyerah. Meskipun masih meronta-ronta dengan sisa-sisa tenaganya, namun semua sia-sia.

Akhirnya Rosiah dan Rimbun berhasil tertangkap. Mereka tidak berhasil melaksanakan niatnya yang akhirnya gagal total. Mereka pun diserahkan kepada Benni.

Empat puluh menit setelah kejadian itu, bis berangkat menuju ke tempat tujuan. Tapi tidak demikian halnya dengan Rimbun dan ibu Rosiah. Mereka justru tidak dibawa bersama rombongan. Mereka tinggal di tempat penampungan, diikat di kamar yang terpisah.

Benni memberitahukan kejadian ini pada Tigor. Tigor marah besar. Ia menginstruksikan pada Benni untuk tidak membawa sementara Rosiah dan Rimbun, takut di tengah jalan mereka mencoba untuk kabur lagi.

Kini mereka berdua sudah berada di kamar yang berbeda. Rimbun sendiri tidak tahu lagi nasib ibu Rosiah selanjutnya. Inilah terakhir kali ia bersama dengan ibu Rosiah. Semua kenangan indah yang pernah dia alami dengan ibu ini perlahan-lahan sirna seiring dengan keberadaan ibu ini yang harus hilang dari dekapannya. Tidak ada lagi orang yang menjaganya, yang memperhatikannya saat sedang sakit, bahkan mengajaknya bermain sambil bercanda dengan lelucon khasnya. Tidak ada lagi yang akan berbicara padanya dengan bahasa Indonesia yang campur-campur dengan bahasa daerahnya. Semua tinggal kenangan.

Rimbun menangis tersedu-sedu. Seandainya ibu itu mengurungkan niatnya untuk kabur, mungkin saja nasib mereka tidak akan seperti ini, setidaknya mereka masih bisa bersama-sama sampai dengan hari ini. Rimbun begitu terpukul. Ia begitu kehilangan seorang ibu yang baik hati padanya, justru pada saat ibu dan bapak kandungnya sendiri tega membuangnya.

***

 

Tengah malam, Rimbun terbangun. Ia mendengar suara seorang wanita yang berteriak. Ia menempelkan telinganya ke dinding kamar, ke arah suara itu agar lebih jelas terdengar. Semula ia tidak yakin, namun lama kelamaan ia mengenal jelas pemilik suara itu.

”Ya, itu suara nande!” teriak Rimbun senang. Ia lega setidaknya nande masih hidup dan masih satu rumah dengannya. Ia berharap masih bisa ketemu lagi dengan orang yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya.

Sedetik kemudian, hati Rimbun seperti diiris-iris. Ia mendengar teriakan dan raungan kesakitan nande yang seperti sedang dipukul habis-habisan dan disiksa dengan sadis. Rimbun pun menangis. Ia menutup mulutnya menahan pilu. Meskipun ia tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi, tapi ia yakin  kalau  nande  sedang  dalam  kesulitan  besar. Ingin rasanya ia datang ke sana dan menolong Rosiah, tapi ia pun tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan ia tak bisa membayang-kan jika hal itu juga akan terjadi padanya.

Terpisah dua kamar dengan Rimbun, Rosiah sedang berjuang dengan maut. Tubuhnya diikat, enam orang laki-laki berdiri di hadapannya, di antaranya ada Benni dan Rusli. Benni memegang cambuk dan sesekali mencambuki dirinya. Rusli tak ketinggalan menendang perut Rosiah. Mereka kelihatan sangat menikmatinya, bahkan seperti tidak peduli dengan teriakan kesakitan Rosiah. Mereka menganggap apa yang sedang mereka lakukan ini sepadan dengan perbuatan Rosiah yang sudah mencoba macam-macam dengan mereka.

Setelah puas, satu persatu dari mereka membuka bajunya, dan bersiap-siap menggagahi Rosiah secara bergilir. Sambil tertawa senang, mereka melampiaskan nafsu mereka yang bejat sepuas-puasnya. Mereka memperlakukan Rosiah seperti binatang buas yang memakan mangsanya. Kini Rosiah benar-benar tidak berdaya. Ia hanya bisa berteriak sekuat-kuatnya memohon agar mereka tidak melanjutkan tindakan biadab mereka pada dirinya.

Malam itu menjadi malam yang mengerikan bagi Rosiah. Hatinya hancur, separuh nyawanya hilang ditelan bumi. Rasanya ingin mati saja daripada harus menerima penghinaan yang tidak pernah terpikirkan di benaknya ini. Tak terasa air matanya mengalir. Air mata kepedihan, menangisi nasib dirinya yang malang.

Kini ia hanya bisa meratap tanpa ada yang bisa menolongnya, dan hanya bisa menangis pilu tanpa tahu bagaimana nasib dirinya selanjutnya.

***

 

Ijon menelepon Ringgo, sahabatnya. Ia memberitahukan informasi penting yang perlu diketahui Ringgo. Ringgo sedang berada di ruang tamu rumah Kayla, sementara Ijon berada di kantornya.

”Kamu serius, Jon?” Ringgo ragu-ragu dengan kebenaran yang dia dengar dari Ijon.

”Bener Go.Untuk apa aku bohong. Bapaknya Choky terlibat dalam mafia perdagangan anak. Ia yang menjual anak perempuannya sendiri. Sampai sekarang tidak diketahui dimana anaknya sekarang.”

”Kakaknya si Choky?”

”Ya. Namanya Rimbun. Ia menjualnya ke komplotan Tigor cs. Menurut informasi yang kuperoleh, untuk membayar hutangnya yang menumpuk.”

”Tega sekali bapaknya. Apa tidak ada cara lain mendapatkan uang selain mengorbankan anaknya sendiri?”gerutu Ringgo protes dengan kelakuan bapaknya Choky.

”Yak. Sekarang jadi tak heran lagi kenapa bapaknya juga berniat menjual Choky ke komplotan Tigor cs.”

”Kalau itu aku sudah tahu dari Kayla. Tapi  kalau kakaknya Choky hilang karena dijual aku belum tahu. Kayla tak pernah cerita.”

”Nah, sekarang sudah tahu, kan?”

Ringgo mengangguk. Sedetik kemudian ia bertanya, ”Tapi kenapa kok bisnis ini sepertinya tidak tersentuh aparat ya?”

Ijon menaikkan pundaknya tanda tak tahu. ”Ya, mafia ini memang licin, konon dibekingi orang penting di sini.”

Ringgo terkejut, ”So, you saying, aparat tahu, tapi mereka diam saja?”

”Yaah, tak tahulah aku, Go. Memang susah pulak dibuktikan. Bisa ia, tapi bisa juga tidak!” jawab Ijon sambil menghisap rokoknya.  

”Oya satu lagi, Go. Aku yakin Choky sekarang berada di tangan komplotan Tigor cs. Aku yakin itu. Sekarang tinggal dibuktikan saja!”

”Aku juga duga begitu. Ini sudah ada bukti yang menuju kesana. Ibu Imah, tetangganya Kayla melihat sendiri Choky dibawa dua laki-laki tak dikenal. Untung, ia masih sempat mencatat nomor BK mobil itu. Jadi mudah melacaknya.”

”Bagus kalau begitu, Go. Jadi kapan kau lapor polisi?”

”Mereka baru saja datang kemari menemui kami. Kawannya pak Bambang yang di Siantar, pak Binsar telepon aku, katanya dia bersedia datang membantu jika diperlukan. Jadi bukti-bukti yang ada kulaporkan saja pada kepolisian di sini. Kita sudah buat keterangan kalau Choky diculik.”

”Baguslah, tindakanmu sudah tepat. Tapi...., sebenarnya lebih mantap lagi kalau kita yang selidiki sendiri...,” Usul Ijon mengagetkan Ringgo, ia pun menampik, ”Maksud kau kita?, kau dan aku begitu?” Ringgo bingung.

”Olo(29)! Maksudku kalau kita yang juga selidiki kan bisa lebih cepat, jadi tak perlu menunggu polisi lagi. Begitu!”

”Akh, gila kau!! Aku tak mau membahayakan diriku lagi! Kapok aku!” Ringgo protes, ia teringat peristiwa dua bulan yang lalu.

”Yah, itu kan kalau kau setuju. Maksudku, kalau kita bergerak cepat, mungkin saja Choky jadi bisa lebih cepat ditemukan,” Ijon memberi alasan. Namun sedetik kemudian dia pun buru-buru meralat.

(29) Olo (bahasa Batak) : ya, benar

”Tapi tak usah sajalah Go. Kau benar juga, nyawa kita bisa jadi taruhannya. Kita serahkan saja pada polisi.” Ijon tersadar kalau Ringgo memang sempat meregang nyawa saat itu demi  menyelamatkan Kayla dari komplotan Tigor cs. Ia sendiri adalah salah satu saksinya.

Ringgo terdiam. Dalam hati ia memikirkan keselamatan bocah tak berdosa yang saat ini sedang terancam, tapi di sisi lain ia masih trauma dengan kejadian yang hampir saja membuat ia kehilangan nyawanya. Masih menelepon Ijon, ia berjalan keluar dari ruang tamu menuju halaman rumah.

”Jadi... maksudmu, kalau aku mau, kau pun bersedia membantu aku, begitu?” Pernyataan Ringgo mengagetkan Ijon,

”Ya... boleh saja...,” agak lama Ijon menjawab, ”...cuma resikonya memang besar Go. Kejadian waktu itu bisa terulang lagi...” Ijon jadi ragu, padahal semula ia yang mengusulkan ide gilanya itu.  

”I know, bro. Cuma aku kasihan sama si Choky, kita tidak tahu apa yang sedang dia alami sekarang. Mungkin saja ia sedang butuh pertolongan secepatnya...”

”Yaaah, itu juga yang tadi kupikirkan. Mudah-mudahan ia baik-baik saja. Tapi think again lah Go. Mana yang terbaik, itu yang kita lakukan.” Ijon memindahkan gagang telepon yang semula berada di kupingnya yang sebelah kanan. Kupingnya terasa panas. Tangannya sibuk memainkan tuts komputer.

”Iyalah. Nanti kupikirkan lagi. Kita lihat saja nanti!” Ringgo bermaksud menutup pembicaraan.

”Kalau kau butuh bantuan, hubungi saja aku, oke?”

”OK! Thanks ya, bro!”

”Klik!” Ringgo pun menutup Hp-nya.

Ringgo masih bimbang dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Ia pun memutuskan menceritakan semua ini dulu pada Kayla.

***

 

Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Kayla ditemani Nina yang baru saja pulang dari sekolah Choky. Ibu Marpaung sempat terkejut melihat Kayla yang datang hari ini, karena sesuai kesepakatan, seharusnya pertemuan baru diadakan esok hari.

Kayla tidak menceritakan yang sebenarnya pada guru wali kelas Choky. Ia terpaksa berdusta kalau Choky tidak masuk sekolah hari ini karena sedang sakit. Ia takut jika gurunya itu jadi panik, atau bahkan menganggap dirinya berbohong dan mengarang cerita. Kayla sempat meminta maaf pada ibu Marpaung dan berjanji akan lebih memperhatikan Choky dan kejadian seperti sebelumnya tidak akan terulang lagi.

Dalam perjalanan pulang, Kayla mendapat telepon. Di layar Hp-nya tertulis nama Tiur, ibu kandung Choky.

”Tiur? Ibunya Choky?” Kayla heran. Ia menoleh ke arah Nina yang sedang menyetir.

”Angkat saja, Kay. Mungkin ia sudah tahu kalau Choky diculik. Ceritakan saja yang sebenarnya,” saran Nina. Kayla pun menurut.

”Haloo?”

”N-nak Kayla... ini inang, nak...” suara Tiur terdengar serak dan pelan, seperti habis menangis.

”Apa kabar, inang?” Kayla menjawab ceria, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

”Baik. Nak Kayla sehat kan?” Tiur basa basi.

”Sehat, inang. Ada apa inang?”

”Ngg, be..gini nak...” Tiur tiba-tiba menghentikan ucapannya. Bibirnya tercekat, seperti habis menelan biji kedondong yang tertahan di kerongkongannya. Ia teringat kembali peristiwa miris tadi pagi. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba melanjutkan kalimatnya.

”I-nang sebenarnya sudah tahu di mana Choky sekarang...” suaranya terdengar semakin pelan. Ujung terakhir kalimatnya hampir tidak didengar Kayla.

”M-maksud inang?”

“Ehem..., tadi pagi inang melihat Choky dengan Tigor, nak.” Tiur memperbaiki intonasi suaranya agar bisa didengar Kayla dengan jelas.

“Apaaa? Inang lihat Choky? Inang lihat di mana?” Kayla kaget, juga Nina. 

”Di dekat pelabuhan Belawan. Ini ada alamatnya...” Tiur membacakan alamat rumah tempat Choky ditawan.

Segera Kayla membuka tasnya, mengambil pulpen dan kertas kecil lalu mencatat alamat yang diberikan.

”Jadi menurut inang, mereka masih ada di sana?” 

”Ngg, tak tahu kalau sekarang. Sebab tadi pagi mereka sudah pigi keluar. Semoga nanti malam mereka balik lagi ke rumah itu.”

”Inang tidak tahu mereka kemana?”

”Tidak, inang tak tahu.”

”Duh, mudah-mudahan Choky tidak diapa-apakan.” gumam Kayla khawatir. Ia ngeri mem-bayangkan kalau saat ini Tigor sudah menjual Choky ke orang lain.

”Jangan laah! Itu makanya aku minta tolong sama nak Kayla supaya lapor pada polisi tempat persembunyian mereka. Mereka sepertinya sering kesana.” Tiur jadi ikut-ikutan ngeri.

”Oya? inang tahu dari mana kalau Choky ada sama Tigor?” spontan pertanyaan Kayla menembus ulu hati Tiur. Ia bertambah takut untuk menjelaskan yang sebenarnya.

”I-inang  yang  m-memberikan  pada  Tigor   a-lamat rumahmu yang di Siantar...,” Tiur tergagap, suaranya terdengar semakin serak, ia mulai menangis.

”A-APAA?” Bagai disambar petir, Kayla menjerit keras. Ia tidak percaya dengan yang didengarnya.

”Huhuhu...!, terpaksa nak. Inang tak punya pilihan. Huuu..!.” tangis Tiur pun meledak membahana. Nina sampai mendengar isak tangis Tiur.

”Ia bersedia... hik, membayar hutang-hutang kami dan menebus bapaknya Choky dari penjara. Hik..., tapi sebagai gantinya, ia minta inang hik... memberitahukan di mana Choky berada...Huuu...” Tiur menjelaskan yang sebenarnya pada Kayla sambil menangis tersedu-sedu.

Kayla terdiam dan tak menjawab. Lidahnya tiba-tiba kelu. Bibirnya tidak bisa digerakkan. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Terbersit rasa kecewa dihatinya, ia seperti dikhianati.

Tiur menarik nafas panjang, mencoba menahan dirinya untuk berhenti menangis. Setelah terdiam sejenak dan menarik nafas panjang beberapa kali, ia melanjutkan kalimatnya.

”Inang sebenarnya tidak mau, nak... tapi inang sudah tidak punya pilihan lagi. Saudara dan tetangga inang..., selalu datang ke rumah menagih hutang. Mereka marah-marah dan mengancam akan lapor polisi kalau tidak segera membayar hutang-hutang suami inang. Inang jadi tidak bisa berpikir panjang lagi..., terpaksa inang hubungi Tigor dan... kasih alamat kamu yang di Siantar...,” Tiur menjawab lirih, bola matanya mulai berkaca-kaca. Kalimat terakhir ia jawab dengan jeda yang cukup lama.

”Ja-di, inang yang hubungi Tigor dan kasih alamat rumahku di sini?” Kayla masih belum percaya dengan apa yang didengarnya, ia merasa sedang bermimpi.

”I-iya nak. Anak buahnya datang dan menyerahkan... uangnya pada inang...” Tiur menjawab pelan. Ia pun tak enak hati. Air matanya bersiap-siap akan tumpah.

Kini Kayla tak mampu lagi membendung emosinya. Ia benar-benar kecewa berat pada Tiur.

”Duhh, inang bagaimana sih!! Seharusnya inang tak boleh melakukan itu! Choky kan anak kandung inang! Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Choky? Selain itu kita kan sudah sepakat, kalau saya yang menjadi ibu angkat Choky sampai dia dewasa nanti. Jadi seharusnya segala sesuatu yang berhubungan dengan Choky, inang harus rundingkan dulu pada saya!!” teriak Kayla.

”I-nang tahu nak. Inang pun menyesal sekarang. Inang benar-benar khilaf. Inang minta maaf, naaak!!” Tiur menjerit. Air matanya tumpah ruah. Ia sangat menyesali kebodohannya.

Kayla tak peduli dengan isak tangis Tiur, ia masih belum dapat mengontrol emosinya yang sudah naik, ingin rasanya ia terus berteriak dan memaki-maki Tiur hingga puas.

”Akh, kalau sudah begini, saya pun tidak tahu lagi harus bagaimana, inang...!!” Kayla memegang kepalanya yang mulai berdenyut, tensinya naik.

”Huhuhuhu...!!” Tiur menjawab dengan tangisan.

Tersadar kalau emosi tidak akan menyelesaikan masalah, Kayla menarik nafas panjang mencoba menenangkan dirinya. Setelah berhasil mengontrol emosinya, ia pun mencoba menenangkan Tiur yang masih menangis sesunggukan. ”Ya sudah lah nang, mau bilang apa lagi. Percuma juga inang menangis, tidak akan menyelesaikan masalah...!”

Tiur menyeka air matanya. Masih terisak-isak, ia bangkit berdiri. Ia mengelap ponselnya yang basah karena banjir air mata, lalu mengambil air putih yang sejak tadi didekatnya dan meminumnya. Setelah agak tenang, ia kembali bicara. Saat ini ia sudah berada di rumah kontrakannya.

”Hhhh, ya inang sudah tidak menangis lagi,  kok...,” Tiur kembali duduk di kursi makan yang kayunya sudah mulai lapuk dan kotor, kemudian melanjutkan omongannya.

”Inang merasa sangat bodoh, nak. Belakangan baru inang menyesal kalau seharusnya inang tak boleh melakukan ini pada Choky, darah daging inang sendiri. Huuuhh...!” Tiur melenguh panjang menyesali tindakannya. Air matanya masih mengalir meskipun sudah tidak menangis lagi.

”Sekarang inang baru sadar kan. Ya sudah, mau bagaimana lagi. Nasi sudah jadi bubur. Tak ada yang bisa dilakukan selain merebut kembali Choky dari tangan mereka secepatnya. Inang sudah lapor polisi?”

”Belum nak Kayla. Inang takut ketahuan Tigor. Habis Tigor sudah memberikan uangnya pada inang. Inang tak berani...”

“Jadi maksud inang? Aku yang lapor polisi?” tebak Kayla.

Tiur tidak menjawab. Ia malu jika harus menjawab ya. Ia hanya bisa menggigit bibir bagian bawahnya pelan.

Huuh! Ujung-ujungnya gue juga yang repot! Dasar ibu tak tahu diri! Bisanya menyusahkan orang saja!  Kayla sewot, ia memaki-maki Tiur dalam hati.

“Ya sudah, kita lihat saja nanti! Yang pasti aku tidak mau bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa sama Choky, ya nang!” Kayla berubah judes dan galak. Ia benar-benar kesal.

Kayla memang pantas kesal dengan orang tuanya Choky, karena ia harus ikut menanggung masalah yang sebenarnya bukan karena akibat perbuatannya. Ia pun teringat dengan omongan Nina yang pernah melarang dia untuk terlibat lebih jauh dengan permasalahan keluarga Choky. Kini mau tak mau ia ikut terseret, bahkan sahabat dan pacarnya pun ikut terlibat.

Lagi-lagi Tiur tidak menjawab. Tubuhnya seperti ditusuk pisau tajam yang membelah jantungnya. Rasanya mau mati. Perkataan Kayla yang tajam menyadarkan dia, kalau ia sebenarnya bukan saja berdosa pada Choky, tapi juga pada Kayla.

”Nanti saya yang telepon polisi. Mudah-mudahan Choky bisa ditemukan...” suara Kayla masih terdengar sewot, ”... nanti inang kukabari.” sahutnya datar.

”Baiklah nak...” Tiur menelan ludahnya, ”...sekali lagi inang minta maaf, ya...” Inang pun tak dapat melanjutkan kata-katanya. Ia menutup handphonenya. Badannya lemas tak berdaya, keringat dinginnya mengucur, ia menjatuhkan kepalanya ke atas meja makan.

Tatapan mata Kayla memandang kosong ke depan. Dia sedikit menyesal dengan perkataannya yang terakhir pada Tiur.  Namun di sisi lain ia juga benci jika harus ikut menanggung masalah ini, apalagi jika terjadi apa-apa, ujung-ujungnya dia juga yang disalahkan. Dan itu bukannya tidak mungkin terjadi, mengingat ia pun sudah terlibat cukup jauh.

Nina mengelus-elus pundak Kayla, bermaksud menghibur sahabatnya. Ia mengerti dengan keadaan Kayla. Itu sebabnya sejak tadi ia tidak berbicara sedikitpun, meskipun hatinya juga sangat jengkel. Ia tidak ingin membuat Kayla lebih susah lagi.

Kayla menimbang-nimbang kertas berisi alamat tempat Choky diculik. Cukup lama ia memandang kertas itu. Perlahan air matanya mengalir. Ya, Kayla sangat mengasihi Choky, tidak mungkin ia membiarkan Choky dalam kesulitan, apalagi begitu banyak kenangan indah yang terjadi selama tiga tahun bersama. Choky sudah dianggap sebagai anak yang lahir dari rahimnya sendiri, bahkan Choky bisa membuat hidupnya berarti. Ia seperti menemukan semangat  baru jika bersama Choky. Ia jatuh cinta.

Kayla tidak dapat lagi menahan air matanya yang sudah jatuh membasahi kertas itu, ia pun menangis terisak. Nina meminggirkan mobil Kayla begitu melihat sahabat karibnya menangis. Ia memeluk Kayla erat dan ikut menangis, merasakan kepedihan yang dirasakan Kayla.

Tak ada kata-kata yang terucap, selain tangis yang bersahut-sahutan di dalam mobil. Daun-daun Akasia di pinggir jalan ikut berguguran mengiringi kejadian yang miris ini, seolah-olah ikut merasakan kegundahan yang dialami Kayla...

***

 

Choky tidak bisa melepaskan pandangannya. Sebuah rumah hunian megah bertingkat dua berdiri kokoh di hadapannya. Halamannya yang luas dan indah membentang bagai permadani cantik berwarna-warni. Tengah halaman dihiasi dengan kolam air mancur dengan patung seorang anak laki-laki kecil yang sedang mengambil air kolam. Ikan-ikan koi berwarna warni dengan lincah berenang kesana-kemari di dalam kolam. Bermacam-macam batu koral di tepian dan dasar kolam ikut memperindah kolam yang berbentuk lingkaran itu.

Choky tidak dapat mengerjapkan matanya sedikitpun. Ia belum pernah melihat rumah semewah ini. Ia hanya bisa melongo melihat keindahan rumah bergaya Eropa yang berkelas ini.  

Tigor mengajak Choky keluar dari mobil dan menggandeng tangannya. Bersama Fendi, mereka masuk ke dalam rumah yang lebih mirip istana itu. Paviliun rumah itu dihiasi empat pilar kokoh berbentuk lingkaran dan berwarna putih kekuningan. Ditengahnya dihiasi lampu hias kristal yang indah dan besar. Butir-butiran kristal yang terangkai menjadi satu mengelilingi tempat lampu bersusun delapan, membuat suara gemerincing jika diterpa angin sepoi-sepoi. Lantai paviliunnya terbuat dari granit warna krem yang licin dan mengkilat.

”Nah, Choky. Ini rumah saya. Ayo masuk!” Fendi memperkenalkan rumah mewahnya. Ia tersenyum lebar saat melihat Choky yang melongo dan tidak dapat mengalihkan pandangannya melihat ruangan paviliunnya yang cukup luas.

Di dalam ruang tamu, Choky semakin terpukau. Ia berdecak kagum begitu melihat ruang tamu yang begitu besar dan indah. Dindingnya di cat warna kuning keemasan. Tiap sudut dinding tersebut menempel pilar-pilar setengah lingkaran yang ujung-ujungnya saling berhubungan menjadi satu membentuk kubah yang besar di tengah. Di tengah kubah tersebut terdapat lukisan langit biru dan awan putih serta burung-burung merpati yang sedang terbang, bahkan ada yang seolah-olah sedang berdiri di salah satu pilar. Sementara di tengah kubah dihiasi lampu-lampu kristal yang jauh lebih besar dari paviliun.

Dinding-dinding ruang tamu banyak terpajang bermacam-macam lukisan, mulai dari lukisan pemandangan sampai dengan yang abstrak, namun meskipun banyak tidak membuat ruangan jadi penuh sesak, justru membuat ruangan jadi tampak lebih hidup. Kentara sekali Fendi seorang kolektor lukisan. Lantai ruang tamu juga terlihat mewah, berwarna sepadan dengan dinding, tapi terlihat lebih putih.

 “Kamu boleh tinggal di sini dulu untuk sementara. Kamu mau kan?” Fendi mencolek Choky yang masih terpana dengan kemegahan rumahnya yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Choky begitu kagum sampai tidak mendengar omongan Fendi, ia mengangguk malu. Fendi senang melihat kepolosan anak kecil di depannya, ia mengacak-acak rambut Choky lembut.

Kembali Choky melanjutkan melihat-lihat keadaan ruang tamu Fendi. Matanya tertuju pada seperangkat meja dan kursi tamu yang terbuat dari kayu eboni berwarna coklat kehitaman yang halus dan mengkilat. Meskipun tidak terdapat ukiran di kursi tersebut, namun kursi itu tetap terlihat aristokrat dan mewah. Adanya garis-garis warna coklat muda kemudian bergradasi menjadi hitam menghasilkan lukisan tersendiri yang membuat kursi itu tampak lebih lux tapi tetap elegan. Sementara meja terlihat lebih mewah lagi. Meja ruang tamu asli terbuat dari akar pohon bakau yang dibentuk menjadi sebuah meja. Akar pohon itu saling melilit satu sama lain membentuk ukiran-ukiran yang alami dimana ujung-ujungnya membentuk kaki meja, sementara atasnya berhiaskan kaca hitam berbentuk lingkaran. Warnanya pun sepadan dengan warna kursi tamu.

“Bagaimana kalau sekarang kita ke kamar kamu. Yok!” Fendi menggandeng tangan Choky, mengajak Choky ke sebuah kamar yang sudah dipersiapkan untuk Choky. Choky tidak melawan, pandangannya masih tertuju pada ruang tamu Fendi yang begitu besar, mewah dan indah. Tigor melepaskan tangan Choky begitu Fendi mengajak Choky dan berjalan di belakang mereka.

“Itu ruangan kamar kamu. Yuk, kita lihat.” Fendi menunjuk ke sebuah kamar di sebelah kanan. Sebelum menuju ke sana, mereka harus melewati sebuah lemari besar yang tinggi dan kokoh yang berfungsi sebagai penyekat antara ruang tamu dengan ruang keluarga. Lemari yang tembus pandang itu dipenuhi barang pecah belah dan barang-barang klasik tapi masih terlihat indah dan elegan. Di dinding ruang keluarga terpajang tiga kepala rusa bertanduk yang sudah dikeraskan, sementara dekat rak TV terdapat patung harimau besar yang berdiri tegak yang juga sudah diairraksakan. Choky merinding begitu melihat patung harimau itu, ia pikir itu harimau asli yang masih hidup.

Kamar tidur yang dituju juga tidak kalah besar dan dahsyat. Choky terpukau. Ukuran kamar tidur itu 6 x 7 meter persegi, belum termasuk ukuran kamar mandi yang ada di dalam kamar tersebut. Dinding kamar dihiasi wallpaper berwarna biru langit. Lantai kamar terbuat dari marmer warna hijau bercampur putih mengkilat, sementara tempat tidurnya bernuansa klasik, terbuat dari kayu sonokeling berukuran 2 x 1,6 meter persegi dan berhiaskan kelambu putih yang menjuntai hingga hampir menyentuh lantai. Sebelah kiri tempat tidur terdapat lemari besar tempat menyimpan pakaian, di tengah lemari terdapat rak yang terbuat dari kaca tempat menyimpan boneka beruang dan boneka lainnya. Rak itu menyatu dengan lemari tersebut. Sedangkan di sebelah kanan tempat tidur terdapat meja belajar berukuran besar yang dilengkapi dengan komputer LCD yang canggih di tengahnya.

Choky tidak berkedip. Ia takjub. Matanya dimanjakan oleh kemewahan yang belum pernah ia nikmati sebelumnya, bahkan saat ia bersama dengan Kayla sekalipun.

“Sekarang kamu boleh beristirahat, nak. Tidurlah dulu.” Tigor berbisik di telinga Choky, ia takut mengagetkan Choky yang masih terpana dengan apa yang ada dihadapannya.

“Itu ada snack (30) yang sudah disiapkan khusus buat kamu. Enak loh, dimakan ya.” Fendi menimpali. Ia menepuk pundak Choky lalu tangannya menunjuk sekaleng biskuit dan segelas sirup Markisah yang sudah tersedia di meja kecil yang menyatu dengan tempat tidur.

(30) snack : makanan ringan, cemilan

“Kami tinggal dulu, oke?” Tigor dan Fendi permisi lalu meninggalkan Choky sendirian.

Kini Choky sendiri. Ia kikuk dan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ia cuma bisa berjalan pelan lalu dengan perlahan duduk di atas tempat tidur yang terlihat cukup empuk itu. Matanya hanya bisa memandang kembali semua yang sudah dilihatnya. Ia benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya selanjutnya.

 

 

BERSAMBUNG

About The Author

Arya Janson Medianta 47
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel