Satu Tungku Dua Belas Payudara

22 May 2016 17:05 3458 Hits 5 Comments
Tungku, Para Wanita, dan Kehidupan

Bagi masyarakat pedesaan Madura, tungku adalah juru kunci kehidupan. Tungkulah yang menyebabkan sebuah keluarga berkumpul, para tetangga berkumpul, dan tradisi-kebudayaan Madura menemukan momentumnya. Kehidupan sehari-hari, kehidupan sosial-kemasyarakatan, dan hidup-mati orang Madura berpusat di tungku.

Dari tungku, kita dapat melihat semacam rantai kehidupan (atau rantai ketungkuan?) yang berputar mengelilingi setiap langkah masyarakat Madura (tentu juga selain masyarakat Madura). Mulai dari bumi dan kandungan airnya, matahari, tumbuhan (kayu bakar), api, tungku, makanan, manusia (makan), dan hingga kembali lagi ke bumi (baik dalam bentuk hajat maupun hayat seorang manusia berakhir). Begitu seterusnya. Dan ini semua hanya bisa berlangsung oleh tangan-tangan para wanita yang secara khusus menyorongkan kayu ke mulut tungku ketika mereka memasak.

Tungku Madura (setidaknya di dapur keluarga saya), memiliki dua mulut dengan tiga pengeluaran api: satu mulut satu pengeluaran dan satu mulut dengan pengeluaran api kembar. Pada setiap pengeluaran api inilah terdapat dua belas sosona tomang (payudara tungku—‘na’ pada sosona merujuk pada ‘nya’) sebagai penyanggah peralatan masak. Jadi, keseluruan jumlah payudara tungku adalah 36 buah untuk tungku model semacam itu (12 untuk satu mulut tungku dengan satu pengeluaran api dan 24 untuk satu mulut tungku dengan pengeluaran api kembar).

Model tungku ini, menjadi model mainstream yang selalu ada di setiap dapur keluarga masyarakat Madura yang masih setia dengan tungku (beberapa keluarga di pedesaan Madura sudah menggunakan kompor gas tetapi tetap menggutamakan tungku). Khusus di keluarga saya dan tetangga saya, tungku dua belas payudara untuk setiap pengeluaran api adalah model yang lumrah karena sejauh ini, hampir setiap tungku dibuat oleh satu orang ahli tungku, salah seorang tetangga saya. Tentu saja, si ahli tungku ini adalah seorang wanita karena memang wanitalah yang mengerti urusan tungku hingga ke detail-detail terkecilnya.

Jumlah payudara tungku yang banyak itu, barangkali hanya sebanding dengan jumlah payudara kucing betina yang berjumlah delapan (saya menyempatkan diri menghitung jumlah payudara kucing betina sebelum menulis ini, he-he). Dan setiap kucing betina, dengan delapan payudaranya, tak diragukan lagi, adalah potret dari makhluk hidup yang penuh semangat untuk memberi kehidupan.

 

Semangat Memberi Kehidupan

Payudara tungku, sebagaimana hakikat payudara, tak ubahnya sebuah simbol kehidupan. Dengan payudara (tungku) itu, kehidupan disanggah, dilangsungkan, dan semangat memberi hidup terus berkobar seperti api yang menyebul-nyembul di celah-celah setiap payudara tungku yang di atasnya, setiap masakan dimasak oleh tangan-tangan terampil nan tangguh.

Ketika proses memasak berlangsung, api yang berkobar-kobar di celah-celah payudara tungku itu—yang karenanya kobaran api menjadi teratur—bagaikan air susu ibu (ASI) yang memberi hidup pada setiap orang di dunia ini. Karena ASI, generasi terus berlanjut dan karena payudara tungku, kehidupan terus berlangsung. Pada titik ini, tak diragukan lagi, para wanitalah otak di balik semua kehidupan ini.

Tidak hanya itu, setiap wanita pastilah mempunyai keterampilan naluriyah berupa kepandaian mengatur agar kehidupan itu sesuai dengan yang diharapan dan dapat membawa kebaikan pada yang diberi hidup. Oleh mereka, ASI tak diberikan secara sembarangan melainkan diatur berdasarkan kebutuhan seorang bayi hingga ASI tak menyebabkan perut bayi kembung maupun muntah karena kebayakan.

Begitu pula, di tangan mereka para wanita, api tungku—yang bagaikan ASI itu—diatur sedemikian rupa supaya masakan tidak gosong atau hangus. Mereka memasukkan atau mengeluarkan kayu bakar dari mulut tungku supaya kobaran apinya sesuai dengan yang dibutuhkan masakan (sebagaimana seorang ibu mengatur ASI pada bayinya). Mereka tak peduli pakaian mereka—atau bahkan tubuh mereka—yang bau asap karena api. Mereka mengutamakan masakannya sebagaimana mereka mengutamakan bayinya daripada dirinya sendiri. Hingga karena keduanya—ASI dan tungku—kehidupan ini benar-benar terjaga.

Maka, siapa saja yang tidak menghormati wanita, sama saja dengan tidak menghormati kehidupan ini. Sebaliknya, siapa saja yang menghormati wanita, maka ia telah menghormati kehidupan. Meskipun, sebaik apa pun seseorang berlaku baik terhadap para wanita, tak akan pernah—secuil pun tidak akan—sebanding dengan kehidupan yang telah mereka berikan.

Jayalah para wanita!

Jayalah para tungku!

 

Pajagungan, 21 Mei 2016

 

*Catatan:

Saya tidak tahu pasti apakah sudah tepat menerjemahkan sosona tomang ke dalam Bahasa Indonesia menjadi payudara tungku. Namun, berdasarkan penamaannya saya pikir sudah tepat karena di Madura—sebagaimana juga di daerah lain—orang-orang menamai benda-benda tertentu dengan nama-nama anggota tubuh manusia atau hewan (misalnya mata pisau atau kaki meja), termasuk nama payudara. Bahkan, sejauh yang saya tahu di Madura ada istilah lokal yang disandarkan pada nama kelamin laki-laki untuk menyebut angin puting beliung. Yakni, palak taon (palak merujuk pada nama kelamin laki-laki dan taon pada tahun).

 

Tags

About The Author

RACHEM McADAMS 26
Novice

RACHEM McADAMS

penyuka prosa & kucing | sesekali menulis cerpen & novelette
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel