Surat dari Praha: Renungan dalam sebait nada

31 Mar 2016 10:41 4789 Hits 2 Comments
Review film Surat dari Praha

Surat Dari Praha - Renungan Dalam Sebait NadaSurat dari Praha, renungan dalam sebait nada. Film dengan durasi 93 menit ini, berhasil menghantui saya disetiap tidur. Nada dari film ini tak henti-hentinya mengalun indah di dalam otak. Saya menemukan keindahan dari film ini, bukan hanya dalam bentuk visual. Tapi, juga keindahan yang benar-benar bisa dirasakan oleh hati. Keindahan yang sederhana, keindahan yang diciptakan oleh dua tokoh utama Kemala Dahayu Larasati – Teratai yang cantik (Julie Estelle) dan Mayadi Jayasri (Tio Pakusadewo). Chemistry keduanya bagai ombak di lautan yang menyatu dan tak terlepaskan. Meskipun bagi saya akting mereka berdua lebih kearah tekstual dibanding nature, tapi tak jadi soal. Dalam bentuk akting tekstual pun mereka berdua tetap bermain apik. Saya benar-benar dimanjakan oleh tontonan yang berkelas.

Film yang memperlihatkan perbedaan 2 zaman antara sifat orde lama yang keras tapi perhatian seperti Jaya saat menyuruh Laras tidur di sofa tapi memberikan selimut, yang keras tapi diam-diam menyuruh teman baiknya memberikan Laras pakaian, yang keras tapi mau menghantarkan Laras pergi ke KBRI. Dan sifat orde baru yang dimiliki Laras, sikap antipati terhadap sesuatu yang terjadi pada diri Jaya, awalnya. Seseorang yang keras terhadap diri sendiri. Yang mewarisi sikap Ibunya, Sulastri (Widyawati)

Keindahan Praha di balut dalam kesederhanaan Sutradara: Angga Dwimas Sasongko yang tidak punya nafsu belerbihan untuk memperlihatkan sudut-sudut kota Praha, berbeda dengan film-film lain yang syuting di luar negeri. Yang bernafsu mengabadikan sudut-sudut kota tanpa menyadari bahwa film berarti menjual cerita dalam bentuk gambar bukan menjual gambar dalam bentuk cerita.

Warna film yang menyatu dengan kota Praha, cokelat-abu. Kamera yang tak melulu statis, bergerak natural seperti berasal dari getaran tangan DOP. Musik yang indah dan cantik dari lagu-lagu Glenn Fredly memang jadi tumpuan keindahan film ini, entah apa jadinya jika Surat dari Praha minus lagu-lagu dari Glenn.

Angga Sasongko memang sutradara muda yang berbakat, membuat film dengan kesederhanaan yang benar-benar merasuk ke hati. Sejak Hari untuk Amanda, Cahaya Dari Timur: Beta Maluku dan Filosofi Kopi, jika kita mengamati tiga film tersebut dan membandingkannya dengan Surat dari Praha, ada beberapa kesamaan yang membekas dan menunjukan bahwa itu adalah cirri khas dari Sang Sutradara: Angga Dwimas Sasongko. Seperti: Pergerakan kamera yang statis—mengikuti tangan DOP dan justru ada beberapa scene di film-film Angga, dimana kamera tidak mengikuti pergerakan aktor. Juga stock shoot yang memperlihatkan jendela-jendela. Sayapun sempat bertanya pada diri saya, apakah Angga Sasongko mencintai jendela? Atau paling tidak suka dengan jendela?

Adegan membayangkan di film Filosofi Kopi, ketika Ben melihat orangtuanya memetik biji kopi, juga hampir mirip di film Surat dari Praha ketika Jaya membayangkan Sulastri yang bermain piano di gedung opera, dan duduk berdua ketika Jaya membaca surat dari Sulastri di akhir film. Dalam hal ini ciri khas dari Sutradara adalah bentuk refleksi lain untuk suatu film.   

Ciri khas Angga Sasongko dalam membuat ending di film-filmnya ibarat perjalanan pulang. Menghantarkan penontonnya, hanya sampai pada gerbang rumah tidak sampe masuk rumah. Penonton dibiarkan menggantung menerka sendiri apa yang terjadi setelahnya. Membiarkan penonton menggiring opininya sendiri. Ini sentuhan indah dari Sang Sutradara yang jadi refleksi untuk suatu film.

Mendirect hewan seperti Anjing dalam film juga bukan perkara yang mudah. Surat dari Praha melakukannya dengan amat baik. Bagong benar-benar jadi bagian diri Jaya yang merasa kesepian dan penyendiri. Saya suka raut wajah Bagong di ending film, kesedihan sangat tampak di wajah Bagong, seperti kelelahan ketika mengikuti Laras pergi lalu melapor pada Sang Majikan, sekilas saya melihat Bagong benar-benar menangis. Bravo, Bagong! Hal ini juga menjadi kelebihan tersendiri untuk Surat dari Praha dibandingkan film-film lain.

Sangat membanggakan jika kita tahu bahwa Surat dari Praha dibuat hanya selama 11 hari, yang notabene untuk sebuah film, ini jangka waktu yang terbilang sebentar. Tapi, berhasil menghasilkan tontonan yang nyaris sempurna untuk tiket bioskop Indonesia yang bisa dibilang murah. Riset yang lama sejak Cahaya Dari Timur dibuat, memang jadi titik tumpu yang amat kuat di Surat dari Praha. Buah pemikiran yang bisa dibilang jenius dengan riset yang cukup lama, berarti para pembuatnya sadar betul apa yang harus dilakukan ketika proses produksi film berlangsung. Efisisensi waktu toh tidak jadi penghalang untuk film ini.

Surat dari Praha, renungan dalam sebait nada. Kita menyadari betul bahwa berdamai dengan masa lalu adalah sebuah keharusan. Film ini menunjukannya dengan amat jelas, ketika Laras memberikan Jaya satu tiket pulang ke Indonesia, Jaya menolaknya mentah-mentah dan mengatakan bahwa Laras Egois. Dan Laras pun menjawab: “Jangankan ngiklasin apa yang terjadi, memaafkan diri sendiri aja anda nggak bisa.”

Angga Sasongko tidak memaksa penonton untuk tahu bahwa Jaya dan Laras saling jatuh cinta di film ini. Semuanya mengalir apa adanya, penonton akan merasakan sendiri bahwa mereka berdua memang saling mencintai pada akhirnya. Bahwa dari tatapan mereka berdua saja lebih berkata dari sekedar kata-kata. Ini menariknya film ini, A Love Story yang membawa penontonnya masuk dalam-dalam diantara kedua tokoh yang sedang berkonflik. Merasakan bahwa mencintai dan nafsu untuk memiliki adalah dua hal yang berebeda.

Editing yang selaras antara rekaman dan musik yang live mengingatkan saya pada film Whiplash karya sutradara muda Damien Chazelle yang memenangkan Best Sound Mixing dan Best Film Editing dalam Ajang The Academy ke- 87. Saya juga percaya Surat dari Praha akan membawa banyak penghargaan meskipun saya yakin tujuan pembuatan film ini bukan untuk mendapatkan banyak pengharagaan. Tapi, setidaknya film ini sangat pantas untuk mendapatkan gelar Film Terbaik meskipun terlalu dini untuk mengatakan hal ini.

Surat dari Praha, renungan dalam sebait nada. Juga tak melulu mulus dalam perjalanannya, diisukan hasil plagiat dari Kumpulan Cerpen karya Yusri Fajar yang berjudul sama. Tapi tenang, ketika anda membaca review ini saya sudah membaca kumpulan cerpen karya Yusri Fajar sejak 2013 lalu dan tentu saja sudah menonton filmnya. Diluar judul dan kesamaan tempat yaitu Praha, kedua hal ini sangat berbeda, bahkan jauh berbeda. Bahkan garis besar ceritapun sangat berbeda.

Buku kumpulan cerpen Surat dari Praha karya Yusri Fajar berisi 12 cerita pendek yang salah satunya dipilih menjadi judul bukunya. Cerpen Surat Dari Praha bercerita tentang Marwo dan Pavla. Marwo adalah pria asal magelang yang memiliki restoran sate di Praha. Marwo datang ke Praha pada awal tahun enam puluhan untuk menjadi mahasiswa jurusan ilmu politik. Di Praha, Marwo berkenalan dengan Pavla. Pavla adalah mahasiswi dari Praha yang menempuh jurusan teater. Tentu jelas berbeda, latar waktunya saja berbeda. Jadi jelas, tidak ada unsur plagiarisme dalam film Surat dari Praha. Jika anda sudah membaca cerpen dan menonton filmnya, anda pasti setuju dengan saya. Dan ingat, hak cipta sebuah buku adalah untuk melindungi kontennya alias isinya bukan judulnya.

Surat dari Praha, renungan dalam sebait nada. Film yang Indah, cantik, menghantui, menginspirasi, menggairahkan, membahagiakan dan PAS!! #BanggaFilmIndonesia

(Skor: 4,5/5)

About The Author

Zahid Paningrome 38
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel