Konflik yang Tak Fokus dalam Film “Bulan Terbelah di Langit Amerika”

30 Mar 2016 17:11 6020 Hits 1 Comments
“Bulan Terbelah di Langit Amerika”  ceritanya tidak berlarut-larut tetapi memiliki konflik yang tidak fokus

Ada banyak film bernuansa religi yang cukup menyita perhatian belakangan ini. Salah satunya adalah “Bulan Terbelah di Langit Amerika”. Film yang mengisahkan tentang Hanum dan Rangga ini dirilis pada akhir 2015. 

Film ini mendapat perhatian penonton yang banyak. Tercatat, 917.865 orang yang menonton film ini. Jumlah penonton tersebut sangat bagus terlebih karena film “Bulan Terbelah di Langit Amerika” dirilis berdekatan dengan film “Star Wars : The Force Awakens”. 

Saya tidak akan bercerita tentang sinopsis film tersebut. Anda bisa membaca sinopsisnya dengan cara mencari di internet. Intinya film ini bercerita tentang Hanum (diperankan Acha Septriasa) dan Rangga (Abimana Aryasatya) di Amerika. 

Keduanya sebelumnya pernah muncul di film “99 Cahaya di Langit Eropa”. Film “99 Cahaya di Langit Eropa” memiliki aluar yang panjang sehingga filmnya harus dibagi dua bagian. Untungnya, hal tersebut tidak terjadi di film “Bulan Terbelah di Langit Amerika”.

“Bulan Terbelah di Langit Amerika”  ceritanya tidak berlarut-larut seperti film sebelumnya. Tetapi bukan berarti ceritanya sangat kuat, justru film ini menurut saya lemah dari segi hal konflik yang disajikan. 

Konflik film ini adalah tentang  Islamphobia setelah kejadian 9/11 di Amerika. Rangga dan Hanum secara kebetulan datang ke Amerika dan terlibat dengan permasalahan yang terjadi, yakni seputaran sudut pandang soal kejadian tersebut dan efeknya bagi penduduk Amerika. 

Konfliknya melibatkan seorang pengusaha yang kemudian menjadi dermawan. Dan Hanum terlibat dengan seorang pegawai museum untuk keperluan pekerjaannya. Dari sini konfilik terlihat mulai kebetulan. Dan kebetulan pula orang-orang yang terlibat di sekitaran Hanum dan Rangga pada akhirnya mulai menemukan titik temu. 

Pemaparann konflik utama yang tidak fokus, pesan Islami yang tidak sampai, dan juga konflik yang tidak penting antara Hanung dan Rangga membuat film serasa hambar dan hanya menjual nama “Amerika” saja.  

Saya tahu Hanum dan Rangga adalah pasangan suami istri tetapi rasanya konflik keduanya karena urusan pekerjaan dan tidak saling mendukung tampak bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan. Konflik ini malah terlihat seperti konflik rumah tangga biasa yang umum terjadi pada film drama keluarga. 


Selain konflik, kekurangan film ini terletak dari penggambaran Amerika yang terasa tidak seperti Amerika. Film “99 Cahaya di Langit Eropa” terasa kuat secara visual karena penggambaran suasana Eropa yang cukup kuat meski pada akhirnya menjadi visual yang menjual wisata. Tapi itu tak masalah. 

Beda dengan “Bulan Terbelah di Langit Amerika”. Kesan negara Amerika yang terasa kurang membuat seolah-olah bulan memang tidak terbelah di Amerika. Ini karena visualisasi film ini lebih banyak terjadi di ruangan dan bukan luar ruangan. Dan kemudian saya baru tahu kalau ternyata banyak adegan di dalam ruangan dilakukan karena film ini lebih banyak syuting tidak di Amerika tetapi di Indonesia. 

Secara keseluruhan, “Bulan Terbelah di Langit Amerika” adalah sebuah film nanggung dengan visualisasi yang tampak belum siap. Seolah film ini harus cepat tayang sehingga menghasilkan banyak kekurangan. 

Barangkali kalau tidak terlalu terburu-buru, film ini bisa lebih maksimal kali yah. 

Sumber gambar via 4muda.com

About The Author

Kaniya Ariani 34
Ordinary

Kaniya Ariani

Coba menulis
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel