Aku di sini, itulah yang selalu dia katakan, dia mengira aku akan mencarinya. Ku pikir dialah yang mencariku.
Aku menulis tentang dia, yang lari dari kenyataan, kehidupan.
Dia mengira dengan menjadi kerikil, dia akan keluar dari garis kehidupan, garis ruang, garis waktu.
Lalu ku letakkan dia di tepi sungai, agar dia tahu bahwa dia memiliki ruang. Lalu kubiarkan dia menceritakan kisahnya, agar dia tahu bahwa dia memiliki waktu. Lalu dia membunuhku.
Aku di sini, itulah yang selalu dia ucapkan.
Dia ingin agar dia ditemukan, bahwa dia ada, bahwa dia memiliki harapan, keinginan, bahkan ambisi.
Dia tidak ingin ditinggalkan dan dilupakan.
Dia bertanya tentang manusia dan menginginkan jawaban yang sederhana.
Ku katakan kepadanya bahwa manusia itu telanjang. Sepertiku. Saat ini. Di tepi jalan.
Lalu dia membunuhku. Ketelanjanganku. Aku ingin hidup dengan ketelanjangan. Tapi dia membunuhnya.
Manusia tidak ingin telanjang.
Manusia adalah alien yang mencoba hidup di bumi. Mereka telah melihat pribumi yang telanjang. Mereka tidak ingin telanjang. Mereka ingin selalu menutupinya, ketelanjangan mereka.
Hingga mereka lupa bahwa mereka telanjang. Hingga mereka lupa ketelanjangan mereka.
Hingga manusia hanya mengenal manusia yang tidak telanjang. Mereka tidak mengenalku.
Aku ingin membiarkan diriku tetap telanjang. Mereka menyebutku cabul, tidak bermoral, tidak beretika, tidak beradab, tidak manusiawi.
Dia bertanya tentang kemanusiaan. Ku katakan kepadanya bahwa kemanusiaan adalah ketelanjangan. Lalu dia membunuhku.
Aku juga memandang sungai yang dipandangnya.
Di sana aku melihat ikan. Sebagai ikan yang telanjang. Terlahir telanjang, hidup telanjang, mati telanjang. Ikan tidak cabul, tapi tetap tidak bermoral, tidak beretika, tidak beradab, dan tentu saja tidak manusiawi.
Padahal ikan tidak membutuhkan sedikitpun kemanusiawian.
Manusia memandang bahwa kemanusiawian itu adalah baik dan benar, lalu mereka menciptakannya, mematenkannya, mengajarkannya, menerapkannya, menularkannya.
Manusia meracuni dunia sedikit demi sedikit, dengan moral, etika, adab, kemanusiaan, dan keadilan versi manusia .
Padahal dunia tidak membutuhkan sedikitpun kemanusiawian.
Dunia hanya butuh ketelanjangan. Entah itu moral yang telanjang, etika yang telanjang, adab yang telanjang, maupun keadilan yang telanjang. Atau boleh saja ditambahkan sedikit kemanusiaan untuk dunia, tapi tentu saja kemanusiaan yang telanjang pula.
Manusia tidak suka telanjang. Lalu dia membunuhku, meski aku telanjang saat itu.
Ketika ada manusia yang berbicara tentang ketelanjangan, manusia yang manusiawi akan melakukan apa saja agar manusia telanjang itu diam, menegurnya, mengancamnya, menangkapnya, menyiksanya, mengurungnya, menyumpal mulutnya, menyuapnya, atau membunuhnya, seperti yang dia lakukan kepadaku.
Ketika manusia melakukan kesalahan, mereka menyebutnya sebagai manusiawi.
Ketika kesalahan itu semakin banyak, manusia berusaha menutupinya, manusia menjadi enggan untuk telanjang. Mereka takut. Sehingga diajarkan pendidikan baru, bahwa ketelanjangan itu adalah cabul, tidak bermoral, tidak beretika, tidak beradab, tidak manusiawi, entah itu adil atau tidak.
Dia tetap membunuhku karena ketelanjanganku, entah aku melakukan kesalahan atau tidak.
Dia bertanya tentang manusia, aku hanya ingin menelanjanginya, tapi dia membunuhku.
Mungkin suatu saat dia akan mengerti, bahwa kerikil akan memilih untuk tetap telanjang.
Â
Baca Juga :