LANGIT SORE DI RAJA AMPAT....... Part 7

11 Sep 2015 05:40 11095 Hits 280 Comments Approved by Plimbi
Noken, dan Manta Point, menjadi cerita Drupadi, Juna, Nakul, dan Sawa, kali ini...

LANGIT SORE DI RAJA AMPAT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut

Langit Sore di Raja Ampat Part 1
Langit Sore di Raja Ampat Part 2
Langit Sore di Raja Ampat Part 3
Langit Sore di Raja Ampat Part 4
Langit Sore di Raja Ampat Part 5
Langit Sore di Raja Ampat Part 6

 

BAB VII

 

Duduk di mobil dengan kaca terbuka, menikmati udara pagi yang sudah terik, kami berempat sedang menuju dermaga hendak ke Manta Point. Kami berempat selalu mencoba mencari objek menarik di setiap moment. Camera sudah menjadi bagian pelengkap cerita kami, dimanapun kami singgah. Melewati pasar tradisional, kami berhenti sebentar, mencari hal lain yang unik di pasar Waisai. Melangkah ditepian jalan, tiba-tiba dari arah matahari terbit, enam mama-mama memakai noken dikepala, mengenakan baju sederhana, berbaris beriringan berjalan menuju pasar.

Tanpa aba-aba, Aku, Juna, Naku, dan Sawa, mengambil tempat dan posisi sama, mengarahkan camera ke objek yang sama.

“Padi, shutter pakai berapa?” Tanya Sawa

“ISO 100, f 8, shutter 200.” Jawabku sudah mengarahkan kamera ke mama-mama

Objek yang menurutku sangat exotic. Background pasar tradisional, gunung, matahari, dan noken. Kami berempat terus membidik sepanjang langkah dan gerakan enam mama-mama yang sedang menjadi model kami. Mengganti lensa dengan cepat untuk mengkombinasikan kulit, rambut, bibir dan giginya yang belepotan pinang, serta noken. Noken, sedang menjadi bidikan penting bagiku. Tas rajutan tradisional, yang menyerupai jala, dari bahan serat kulit kayu pilihan, terkait cantik dikepala mereka menjuntai kebelakang hingga menutup bagian pantat mama-mama. Menjadi identitas penting bagi seluruh daratan Papua.

Merekapun tersenyum ramah dann bersahabat. “Foto lagi yang banyak, so… kita akan menari, dengan noken milik orang Papua..!” Kata seorang mama berteriak dengan suara berat dan bersuka.

“Ok, mama… kamera siap…!” Teriakku pada enam model, seperti sutradara profesional.  Perhatian orang-orang dipasar, berubah ke kami berempat, dan enam artis baru. Diluar dugaan, enam aktris mama-mama, menari ala papua dengan gerakan kompak dan semangat. Noken, yang berisi kebutuhan pokok itu, tetap menempel, mengikuti gerakan mereka.

“Wwooww…!!” Teriak kami berempat sambil terus membidikkan kamera bergantian dengan video. Beberapa mama-mama dan bapa yang sedang berjualan, tak tahan untuk diam. Mereka pun ikut menari dengan gempita. Demikian juga denganku. Aku melompat mengikuti gerakan mereka. menari ditepi jalan, hingga usai.

“Mama, terimakasih banyak, sudah memberi tarian yang sangat bagus buat kami.” Kataku, sambil bersalaman dan berbagi tidak bangak pada mereka berenam.

“Nona, ini terlalu banyak buat kita.” Kata seorang mama.

“Kalau sisa, bisa mama gunakan buat beli buku untuk anak-anak, so…” Kata Sawa. Mama-mama saling memandang antara mereka berenam. Lalu, bersamaan melepaskan ikatan noken dari kepala mereka, mengeluarkan semua barang-barang dari noken, dan memberikan noken pada kami berempat. Kami berempat bingung dan bengong.

“Bawa, noken ini sebagai oleh-oleh dari tanah Papua, so..” Kata seorang mama.

“Noken, hanya milik kami orang, Papua.. kita bangga, nona cantik.” Sambung seorang mama. dan memakaikan noken dikapalaku.

“Nona semakin cantik! artinya nona sudah dewasa dan boleh menikah, so…” kata seorang mama.

“Perempuan disini belum dianggap dewasa, dan belum boleh menikah, kalau belum bisa merajut, noken.” Seorang mama menjelaskan dengan ramah.

“ Hati-hati, tiga pacar nona, tidak akan bisa ditingal, yo…” Seorang mama melirik menggodaku. Kami berempat tersenyum, mengangguk hormat pada mereka. Aku memeluk mama-mama bergantian, tanpa harus merasa risih dengan keringat mereka. lalu, kami saling melambai berpisah, menuju dermaga, dengan noken masih menjuntai di bagian belakang tubuhku.

 Joe masih menjadi nahkodah. Manta Point menjadi tujuan kami hari ini.  Seperti biasa, kami menyapa akrab pada masyarakat, sekedar berucap selamat pagi, atau mengambil foto anak-anak di tepian dermaga yang baru bangun pagi. Sinar matahari yang membias terang dan berubah cepat, membuat kami berempat harus cepat pula

“Pagi, Nona Padi…” Sapa bapa-bapa penjual ikan di pasar ramai. “Ikan-ikan ini juga minta di foto, nona.” Pinta penjual-penjual ikan riuh.

“Pagi, semua….” Jawabku berbarengan bersama, Nakul, Juna, dan Sawa. “Kalau ikan perempuan, biar kita yang ambil fotonya.” Jawab Sawa, sambil melompat ke pasar diikuti Naku, dan Juna. Kami semua tertawa. Karena sudah paham kalau penjual ikan dan nelayan menggodaku. Juna, Nakul, dan Sawa, mengambil photo dengan cekatan, sementara aku masih tertawa diatas kapal.

“Dari Jakarta sudah bawa tiga kekasih, jangan bawa lagi kekasih baru dari sini, so… Nona padi..” Seorang nelayan berteriak kearahku. Disambut teriakan tawa orang-orang di pasar ikan.

“Semua cintaku, sudah aku berikan pada tiga kekasih pujaan hatiku ini, yo…” Jawabku santai. Bersamaan Juna, Nakul, dan Sawa, melompat kembali ke atas kapal.

“Joe, habis sudah harapan kau untuk mendapatkan nona Padi…!!” Nelayan dan penjual ikan saling meledek dan tertawa. Sementara Joe hanya terseyum santai tak ingin menanggapi mereka.

Aku sudah hafal dengan sentuhan terik matahari di jam pagi. Joe mulai menyalakan mesin kapal, mengambil haluan, menuju kearah Arborek. Ombak dan hamparan laut masih sama. Joe juga masih menyukai hobinya memainkan kapal hingga aku berteriak. Tapi kali ini, daku tidak melihat lumba-lumba. Aku hanya melihat buih putih dan ombak yang sambung menyambung.

Kami berempat kadang tertidur, karena angina laut dan perjalanan yang lumayan jauh. Kapal pun melambat dan berhenti di Manta point di desa Arborek, setelah menempuh hampir dua jam perjalanan dari Waisai. Kami berempat berasama mas Alex  langsung  bersiap dengan perlengkapan menyelam.

“Padi, kau jangan undang hiu-hiu perempuan lagi, so…” Mas Alex berpesan sambil menggoda.

“Mereka datang untuk memastikan aku tidak menggoda suaminya, yo…” jawabku santai.

Tiba-tiba, tiga ekor manta berukuran besar muncul di permukaan air dengan santai, tak jauh dari kapal mereka. Hitam, krem, dan totol-totol hitam putih. Mengambang memamerkan sayapnya, gagah. Berjemur menikmati matahari, sekaligus sengaja ingin membuat siapapun terpana melihatnya. Tak ada masyarakat yang mengganggunya. Dibiarkan manta-manta setiap saat muncul di permukaan laut dengan segala tingkah lakunya. Tak lama, manta-manta itu kembali kedalam tempat mereka biasa bercengkerama. Kami berempat masih bengong sekaligus bingung dan takjub melihat pemandangan manta yang baru saja pergi.

“Joe, itu tadi manta kah?” Tanya Sawa masih belum percaya.

“Nanti setelah kaka menyelam ke bawah, tanya sendiri ke mereka, jenisnya apa, nama dan alamatnya..” Jawab Joe. Sekaligus membubarkan kekaguman kami. Karena buat mereka itu sudah menjadi pemandangan biasa.

Bersama Mas Alex dan crew kami segera melompat bersamaan di kedalaman laut. Memasuki sisi titik selam berbeda. Menyatukan diri dengan air yang membibingnya, membiarkan jiwa merdeka berekelana, tanpa ingin mengekangnya. Jutaan ikan menyambut kedatangan kami tanpa curiga. Warna-warni soft coral menari mengikuti irama gelombang lembut. Sementara bermacam kelir dan bentuk hard coral menghiasi lantai dasar samudra. Aku tak ingin jauh dari Juna, Nakul, dan Sawa sepanjang menyelam.

Ikan yang sedang kami cari tengah bersantai di ruangan luas, tak jauh dari terumbu karang. Memilih tempat yang kaya akan plankton. Tubuhnya pipih, sirip dada lebar menyerupai bentuk sayap burung namun rata dan lembut. Bagian tepi sirip bergerak membentuk lengkungan gelombang kecil sambung menyambung. Ada sepasang sirip sefala didekat mulutnya yang menyerupai tanduk. Sirip yang akan membantu mengarahkan plankton dalam mulutnya. Ekor kecil memanjang seperti pecut bergerak naik turun mengikuti gerakan tubuh nya yang gemulai. Manta Hitam bergerak membentang gagah seperti bentuk pesawat luar angkasa, kulit badannya berkilau. Kedua ujung sayapnya melengkung. Berenang dengan mulut dan sirip sefala terbuka lebar, agar air yang mengandung plankton sebagai makanan utama bisa masuk kedalam mulutnya. Kemudian lima pasang celah insang dibagian bawah tubuh manta, akan mengeluarkan air yang masuk sekaligus sebagai penyaring agar plankton tidak keluar.

Manta krem terlihat lebih anggun karena kelembutan warnanya. Berenang menggunakan sirip dadanya dari kepala hingga belakang. Mengitari tempat persinggahan miliknya, berputar, mondar-mandir, layaknya seorang supervisor. Sedangkan si manta totol-totol hitam putih, lebih terlihat cantik dan lucu. Menari dengan gerakan aduhai dan sama sepanjang dia bergerak. Kerajaan karang yang menjadi perlindungan tempat hidup para manta, tida bosan mempercantik diri, memberi keelokan pada kedalaman sekitar 15 meter di Manta Point. Membuat kagum siapapun penyelam yang mendatanginya.

Tak urung, tubuhnya yang terlalu lebar menjadi diselimuti lendir. Para manta harus membersihkan lendir yang menempel pada kulitnya sesering mungkin. Manta-manta sudah mempunyai tempat dimana mereka harus mebersihkan badannya. Kami bergerak menuju Manta cleaning station, mencoba mencari keunikan lain. Tempat dimana manta-manta biasa berkumpul untuk memanjakan diri. Mereka dibuat takjub melihat lima manta ray dengan lebar yang berbeda, tengah berkasak-kusuk sambil membersihkan diri. Ada yang panjangnya 5 meter, 4 meter, dan 6 meter, tetap tenang dengan kedatangan rombongan kami. Ikan-ikan kecil secara mutualisme memakan bakteri dan parasit di tubuh para manta. Manta-manta tergolek pasrah membiarkan ikan-ikan kecil seperti remora membersihkan tubuhnya.

Para ikan kecil juga bergembira menikmati makanan berlimpah berupa bakteri dan parasit di tubuh si manta. Saling menjaga hubungan baik karena mereka menyadari tak bisa hidup sendiri dan saling membutuhkan. Para manta tetap santai menikmati pijatan dari remora tanpa mempedulikan kedatangan kami. Bisa jadi remora kurang btuntas membersihkan badan manta, sehingga kena panu, kadas, atau kurap, dan mereka membutuhkan kalpanax, perti yang digambarkan anak-anak di Arborek.

 Aku hanya memandang kagum atas segala yang tersaji di depanku. Berkali-kali kami saling menatap melalui pembatas bening yang menempal pada wajah kami. Kami berempat saling bergandengan menyaksikan sebagian kekayaan milik tanah airnya. Tanah yang seharusnya dihargai oleh bangsanya sendiri. Kami harus segera kembali ke permukaan. Aku masih merasa enggan untuk kembali ke kapal, namun Juna, Nakul, dan Sawa sudah menarikku ke atas.

Duduk bersantai diatas kapal, aku duduk diantar Nakul dan Sawa, kemudian Juna duduk di depanku. Makanan kecil yang sudah disiapkan Mas Alex, cukup mengusir rasa lapar kami dari menyelam. Tak peduli pada terik matahari, kami berempat masih menunggu manta-manta yang kemungkinan akan muncul ke per

“Jadi… siapa yang dipilih, nih….?” Tanya Mas Alex, santai sambil menatap kami berempat, lalu melompat ke kapal yang berbeda, dan meninggalkan Manta Point. Kami berempat bersamaan memandang Mas Alex. Juna, Nakul, dan Sawa, ikut menatapku.

“Eiits… jangan menyuruhku untuk memilih.” Aku memberi jawaban cuek, dari arti tatapan Juna, Nakul, dan Sawa.

“Yang minta kamu untuk memilih, siapa?” Tanya Nakul.

“Tatapan kalian itu, dalem banget…” Jawabku, “Tatapan-tatapan model begini ini, yang mengarah ke rasa paling paling tinggi.” Sambungku masih dengan cuek dan santai

“Tapi bukan berarti kita meminta kamu untuk memilh, nona..” Sawa memperjelas.

“Berarti, bener dong… kalian punya rasa cuuii…cuuii sama aku?” Tanyaku sedikit GR, sekaligus memperjelas maksud dari tatapan, dan jawaban Juna, Nakul, dan Sawa.

“Semakin kesini, bedanya rasa cuuii.. cuuii dan sahabat semakin nggak jelas.” Aku mendengarkan Juna. “Kamu tahu sendiri, orientasi kami setiap punya pacar, pinginnya juga seperti kamu.” Lanjut Juna. “Apa yang terjadi?” Tanya Juna menatapku.

“Kalian selalu gagal pacaran.” Jawabku serius. “Aku, juga selalu gagal total.” Sambungku. “Tapi, kan susah buatku suruh milih kalian.” Aku bertahan. “Aku sudah kasih rasa cuuii-cuuii…  ke kamu Juna, 100, Nakul 100, Sawa 100..” Jawabku tetap santai.

“Wuuiihh… banyak sekali, nona cantik, 300.” Kata Sawa juga santai. “Memang kamu juga nggak perlu memlih.” Sambung Sawa lagi.

“Kalau begitu, kalian yang atur sendiri soal gilirian, so… waktunya jangan mefet-mefet, yo...” Aku menjawab cuek dengan logat Papua, dan kami pun tertawa. 

“Tidak usah kau pikirkan itu, nona.  Kau sudah melayani kami bertiga dengan baik, selama ini… dalam keadaan kefefet atau pun tidak..” Kata Nakul santai. Kami mulai saling melirik untuk menjatuhkan.

“Ya sudah, yang penting kita orang tahu rasa kondom dari kalian bertiga, ccuuuii..” Aku menimpali, tetap dengan gaya Papua. Tawa kami tak terhindarkan lagi. Joe menatap kami dengan wajah senyum dan gemas.

“Hari ini giliran siapa, so…?” Tanya Nakul menggoda.

“Hari ini kita masih bau amis, habis menyelam, yo..” Jawabku tetap santai. Aku sedang tak ingin bicara reaksi perasaanku pada Juna, Nakul, dan Sawa. Karena aku tak mau ikan-ikan mendengar dan ikut terlibat dengan urusan hati, kali ini.

“Kau sudah tidak ada tempat, Joe….sudah penuh..” Kataku pada Joe dengan lembut. Joe hanya tersenyum, sambil menggelengkan kepal.

“Pegangan! Kita mau cari pulau yang nyaman buat cuuii-cuuii, yo…” Kata Joe mengambil haluan, meninggalkan Manta Point, dengan tawa renyah kami semua.

 

MASIH ADA KEUNIKAN LAIN DI RAJA AMPAT mari lihat cerita selanjutnya di LANGIT SORE DI RAJA AMPAT Part 8

*****

About The Author

ugi agustono 37
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel