LANGIT SORE DI RAJA AMPAT....... ParT 3

28 Aug 2015 10:18 12362 Hits 256 Comments Approved by Plimbi

Padi, Nakul, Juna, dan Sawa tiba di Sorong pagi itu. Bagaimana mereka berempat membaur dengan masyarakat local?

LANGIT SORE DI RAJA AMPAT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut

Langit Sore di Raja Ampat Part1
Langit Sore di Raja Ampat Part2

BAB III

     

Hampir sepanjang didalam pesawat, dari Jakarta – Makasar – Sorong, kami berempat sudah tidak kuat lagi untuk bangun, lagi pula perjalanan malam hari tidak ada yang bisa dilihat. Selain juga jauh plus transitnya, jangan ditanya lagi. Duduk disebelahku Juna dan Sawa.

“Bangun… bangun…! sudah sampai Dubai.” Nakul dari kursi belakang membangunkan kami bertiga saat pesawat akan mendarat di bandara Domineque Edward Osok, Sorong. Begitu aku membuka mata dan melihat kearah luar jendela kaca, mataku  terbelalak menyaksikan sinar matahari hendak menyongsong fajar. Bias sinar merah dan oranye menyebar, menembus gumpalan-gumpalan awan putih yang menghalanginya hingga menyentuh lautan biru dan hijau toska. Pesawat yang masih berada diatas awan seperti memasuki permainan sinar laser. Kadang menerjang kadang berada diantara bias sinar. Begitu bahasa puitisnya.

“Keren banget.. ini yang nggak bisa dibeli di Jakarta.” Aku menarik pundak Juna. Tak ketinggalan, Sawa ikut melongok kearah jendela kaca sampingku.

“Hebat orang Papua bisa bikin bagus kayak gitu.” Sawa membubarkan imajinasiku. Aku dan Juna sama-sama memandang Sawa dengan gemas sekaligus kesal. Bunyi hp yang sudah dinyalakan bersahutan dari kursi belakang, tengah, hingga depan. Padahal pesawat baru akan landing. Begitulah perilaku orang yang baru punya hp. Masih sangat butuh pengakuan diri. Pramugari pun mencoba berteriak mengingatkan. Tak lama, pesawat mendarat dengan mulus, di bandara kecil Sorong.

“Welcome to Sorong, Raja Ampat.” Kata Juna.

“Sorong ke kiri… Sorong ke kanan… lalalalalalalalala..” Aku menggoda Juna dan Sawa sambil menyanyi. Berdua hanya tersenyum cuek.

Sorong, dikenal sebagai kota minyak hingga sekarang. Dulu, masyarakat asli papua yang tinggal di Sorong, juga tidak mengenal pakaian, sama seperti masyarakat Papua lainnya dijamannya. Tidak perlu bingung, toh awalnya kita lahir juga telanjang.  Sorong menjadi gerbang utama menuju kepulauan Raja Ampat, sekaligus sebagai kota persinggahan dan pintu keluar masuk provinsi. Dari kota yang kosong, hingga menjadi kota paling sibuk saat ini di Provinsi Papua Barat. Ekonomi berlari dengan kencang, menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal.

Terik matahari mulai menyengat, padahal waktu masih pagi. Ramah, Mas Alex menyalami kami didepan pintu penjemputan. Dari perawakannya Mas Alex tampak memang bukan orang asli Papua.

“Kapal menuju Waisai, masih lama, sekitar pukul 14.00.” Kata Mas Alex di dalam mobil menuju hotel transit. “Boleh tunggu dan istirahat di lobi hotel transit, atau mau jalan-jalan silahkan.” Sambung Mas Alex.

“Ok, Mas.. kayaknya kita jalan-jalan muterin Sorong aja.” Jawab Juna. “Siip. Mau naik ojek atau mobil.” Tanya Mas Alex.

“Naik ojek aja, mas.. biar lebih seru.” Jawab Nakul.

 Ternyata hotel yang kita tuju sangat dekat. Hanya beberapa menit dari bandara, kami berempat sudah memasuki hotel depan bandar udara Domineque Edward Osok. Hotel-hotel dari beragam kelas sangat mudah ditemui disekitar bandara Sorong. Informasi mengenai raja ampat dan beragam kebutuhan turis, mudah sekali dicari. Ini seiring dengan semakin membahananya nama Raja Ampat.

 Usai meletakkan barang dihotel, kami berempat mencari ojek dengan helm berwarna kuning yang menyebar di setiap sudut jalan. Itu pun setelah mendapat arahan dari Mas Alex dan crew. Kami memilih pergi ke pasar tradisional Sorong dengan pertimbangan, di pasar lah bertemunya budaya asli. Tukang ojek masyarakat asli Papua, dengan keunikan rambut kriting menempel dikepala, serta warna kulit hitam legam, menyapa kami kami berempat dengan kekhasan keramahannya.

“Nona cantik ini mau kemana kah?” Tanya si tukang ojek dengan logat khas Papua.

“Bapak bisa antar kita ke pasar kah?” Tanya Nakul. “Pakai 4 motor, ya..” Sambung Nakul.

“Tentu saja bisa, yo..” Jawab di ojek bergembira.

“Pacar saya ini manja, dia tidak takut kalau naik motor sama orang lain. dia hanya mau dengan saya. Apakah bapak bisa ikuti kita?” Tanya Juna sambil melirikku. Aku sudah paham dengan maksud Juna. Bagaimanapun ini bukan daerahku.

“Tentu saja boleh, yo…” Kata si ojek sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih.

Keramaiana kota terlihat disepajang perjalanan yang kami lewati. Kota dan masyarakat terus bersolek menyambut tamu-tamu yang hendak menuju Raja Ampat. Jalanan aspal sudah bagus, bank-bank dan hotel-hotel menjamur sepanjang jalan kota yang kami lewati. Sekolah, gedung pemerinta, tempat ibadah, berdiri berdampingan tanpa harus ada konflik. Bayanganku tentang Irian Jaya yang menyeramkan jaman dulu dan jauh sekali, sedikit berubah. Banyak wisatawan asing berjalan, mencoba berbaur dengan masyarakat setempat ditengah terik matahari.

            Tiba di pasar tradisional, kami langsung membaur dengan masyarakat lokal. Tempat penjual dan pembeli dari berbagai tempat, status sosial, bertemu dan melakukan transaksi jual beli. Segala budaya dan keaslian masyarakat bertempat disini, tanpa polesan dan basa-basi yang malah bikin busuk. Secara tak langsung, Pasar menjadi pusat budaya yang sesungguhnya.

Wanita-wanita berkulit legam dengan baju berwarna-warni, duduk dibawah menjajakan barang dagangannya. Rambut mereka kriting, diikat dengan beragam warna dari benang wol. Hal ini dilakukan agar rambut tidak cepat kusut dan kotor. Mengenakan Noken, berjajar tak beraturan. Mengatur barang dagangan berupa sayur-sayuran, pinang, pisang, buah merah, sagu, dan lain-lain, diatas plastik menjadi bentuk menarik.

“Akhirnya, bertemu juga dengan masyarakat asli Papua.” Kata Nakul. “Aku pikir dulu hanya mimpi akan bisa sampai di tanah Papua.” Sambung Juna.

            Ramah mereka tersenyum dan menyapa kita. “Kakak dari manakah?” Tanya seorang penjual wanita. “Kita dari Jakarta.” Jawabku juga ramah. “Akan pergi ke tempat kita punya pulau kah..?” Tanya si penjual lain. “Betul sekali, ibu.” Jawabku juga mencoba menggunakan logat Papua.

            “Mereka yang sudah punya pulau saja, masih mau berjualan di pasar.” Bisikku pelan pada Juna, Nakul , dan Sawa.

Para pedagang dari masyarakat asli, lebih memilih duduk dibawah untuk berjualan, mereka merasa lebih nyaman dari pada memakai tempat yang sudah disiapkan oleh pemerintah setempat.

Pinang menjadi camilan khas sekaligus makanan pokok bagi masyarakat asli Papua. Mereka lebih memilih beli pinang dari pada beli sagu. Penghasilan masyarakat pun bisa bertambah dengan budidaya pinang. Sekaligus ludah pemakai pinang yang berwana orange bisa ditemui dimana-mana dan gampang mencarinya. Pinang yang sudah dikeringkan dengan warna kecoklatan, diletakkan pada sebuah baskom, menggunung, dan dipajang berjajar memanjang. Konon pinang kering harganya cukup mahal. Bisa jadi harganya bersaing dengan ganja kering di pasar bebas.

“Hai, nona cantik, kemari..!” Panggil salah satu penjual pinang kering, tiba-tiba. “Nona harus mencoba makan pinang asli Papua.” Sambung si penjual Pinang, yang pasti tahu aku bukan orang asli Papua. Aku tersenyum dan bingung mau menjawab apa, supaya mereka tidak tersinggung. “Tidak usah bayar, yo.. supaya nona semakin cantik.” Kembali si penjual pinang memaksaku sambil tersenyum dan bermain mata. Juna dan Nakul langsung menggandeng tangan kiri dan kananku sambil tersenyum ramah pada si penjual pinang yang kekar badannya.

“Bagaiman kalau nona cantik ini ke Waisai dulu, baru nanti coba pinang bapa…?”  Juna mencoba menawar keinginan si penjual pinang dengan sopan. “Karena kita baru saja menginjakkan kaki di tanah Sorong, yo..” Sawa menambahkan.

“Lagi pula, saya masih mabuk naik pesawat, bapak… nanti pinangnya tidak berefek ke wajah kita, yo..” Aku mencoba mengelak sambil tersenyum pada si penjual pinang.

“Ahh.. betul sekali… kalau begitu kalian harus kemari setelah dari Waisai, yo…” Pesan si penjual pinang bergembira. “Pasti, bapak…” Jawab kami berempat sambil melangkah pergi. Dan saling melambai dengan semua penjual pinang.

 “Kalau aku makan pinang tadi, seperempat kilo aja, reaksinya apa ya..? Tanyaku pada Nakul, Juna, dan Sawa.

“Semua penjual pinang disini bisa mabuk kayak banteng, lihat kamu.” Jawab Nakul masih menggandengku. Kami pun tertawa.

“Air liur yang keluar bukan lagi orange, tapi putih kental.” Sambung Juna. Kami berempat kembali tertawa.

Usai dari pasar tradisional, kami berempat menuju pasar ikan. Pasar yang tak begitu besar, para penjual menempati tempat yang sudah diapkan. Berbagai jenis ikan segar dan beragam ukuran, akan ditemukan di pasar ini. Sekaligus bau amis dan bau yang lain beraduk jadi satu. Ikan-ikan diatur berjajar rapi, hingga akan mengundang para pembeli untuk mampir dan menawar. Pembeli juga dimanjakan dengan harga ikan murah dan sehat. Para penjual dengan kekhasannya, menawarkan beragam jenis ikan dan telur penyu, kemudian akan membantu para pembeli untuk membersihkan ikan sebelum dibawa pulang.

“Kaka cantik pasti bukan orang sini, toh....? Tanya seorang penjual ikan ramah sekaligus menggodaku. Juna, Nakul, dan Sawa sudah siap sangat dekat denganku.

“Makan korban lagi, deh…” Kata Juna berbisik

“Kaka ingin cari model ikan apakah?” Tanya penjual yang lain

“Kita hanya ingin lihat-lihat, yo... Karena kita akan ke Waisai siang ini.” Jawabku  tak kalah ramah dengan logat khas Papua.

“Kalau begitu, kaka tidak perlu membeli ikan, cukup lihat ikan besar saja. maukah....?” Tanya si penjual ikan. Belum sempat kami menjawab  penjual itu mmengeluarkan ikan berukuran sangat besar. Kami terperangah menyaksikan ikan yang diangkat oleh dua penjual.

“Kenapa ikan itu, kau simpan didalam?” Tanyaku pada si penjual

“Ikan ini jenisnya perempuan, sama seperti kaka,, dia malu kalau dipajang dan dilihat para jejaka, makanya kita simpan didalam.” Penjual ikan mengajak bercanda.

“Kita pikir ikan cantik itu kau bawa tidur di kamar, yo…” Nakul meledek si penjual, disambut tawa penjual ikan lainnya yang nampak akrab.

“Ahh… ikan perempuan ini sudah dipesan pejabat buat pesta.” Sambung penjual yang lain.

“Oohhh…pintar juga pejabat pilih ikan perempuan, yo.. ” Aku menimpali

“Betul sekali! Dan mereka memang suka aroma perempuan yang amis seperti ikan, yo...” sambung Tarman dengan santai, disambut tawa hampir seluruh penjual dan pembeli ikan yang datang saat itu.

“Kasih minyak wangi sedikit lah biar tidak terlalu amis.” Juna menambahkan

“Kalau ditambah minyak wangi, biasanya harganya jadi naik sedikit, kaka.” Jawab si penjual ikan disambut tawa yang lain.

Keakraban kami dengan penjual-penjual ikan harus usai, kami pun pamit dan melambai, lalu kembali ke bapak-bapak ojek helm kuning. Kapal yang akan menuju Waisai akan segera berangkat. Tiba di hotel kembali, kami mengambil tas dan bersama Mas Alex serta crew nya, menuju pelabuhan Sorong yang juga tak jauh dari bandar udara Domineque Edward Osok.

*****

Terik matahari sedang ingin menunjukkan keperkasaannya, di ranah Papua. Memberi identitas diri pada negeri yang mempunyai keanggunan tersendiri. Usai melewati tempat pemeriksaan tiket, bersama penumpang lain dengan bawaan berat, kami melangkah santai diatas beton kokoh, sambil menikmati terik matahari gratis. Pelabuhan besar, beragam etnik masyarakat dari daerah lain di Indonesia datang ke Sorong bekerja memenuhi kebutuhan hari-hari. Masyarakat Papua tampak tetap mendominasi daerah miliknya. Hidup berdampingan dengan segala lapisan pendatang, saling menghormati, menghargai, sekaligus saling belajar, dan tetap mencoba untuk tidak mengganggu antar kelompok etnis lain.

Petugas pelabuhan, penumpang dan petugas kapal, penjual-penjual menawarkan dagangan, nelayan, riuh gempita meramaikan aktivitas pelabuhan. Pelabuhan yang dulunya lebih banyak dipakai berlabuh kapal-kapal pengangkut minyak dari Sorong ke berbagai tempat tujuan. Kami duduk dikelas VIP.

“Nggak seru disini.” Kata Juna. “Tukar tempat sama kelas dek, aja.” Usul Sawa. “Biar aku yang ngomong dengan mereka.” Pintaku. “Yah.. mabok semua kalau kamu yang ngomong..” Nakul berkomentar.

Aku menaiki tangga ke dek atas, diikutu Juna, Nakul, dan Sawa. Aku mendekati seorang ibu yang menggendong bayi, bersama suaminya yang juga menggadeng anak kecil lima tahun yang ingusan.

“Ibu mau duduk di VIP? Kita tukar tempat, bolehkah?” Tanyaku sambil tersenyum.

“Boleh sekali, kebetulan bayi ini sedang sakit. Terimakasih, yo..” Kata si ibu menjawab ramah. Juna lalu mengantar si ibu ke ruang VIP dan Nakul membantu menggendong si anak lima tahun. kemudian suami si ibu mengikuti dari belakang.

 Feri berukuran sedang, cukup baik kondisinya, dan mampu menampung sekitar 150 penumpang. Beberapa fasilitas cukup nyaman ditawarkan oleh pihak pengelola, mulai kelas VIP ber AC, beberapa crew yang akan membantu penumpang selama dalam perjalanan, kantin, serta kelas ekonomi. Duduk diatas bangku berwarna oranye sederhana di bagian atas kapal yang  berbatas langsung dengan udara laut, kami pun berbaur dengan beberapa penumpang yang mulai berdatangan. Ditepian pelabuhan bagian lain, nampak deretan rumah panggung dari papan milik para nelayan. Berjajar seperti kampung nelayan pada umumnya, kumuh, tak sehat, dan berjejal.

 Wanita-wanita berkulit legam penjaja jagung manis dan nasi bungkus, berteriak dari pinggiran kapal berlabuh, menawarkan barang dagangannya. Aku pun ikut berteriak membeli jagung.

“Ibu… ibu… bagi jagung manis buat kita delapan, yo..” Aku berteriak sambil mengangkat jari sepuluh dari atas kapal. Sengaja aku buat bingung penjualnya. Kami berempatpun tertawa. Ibu penjual jagung akhirnya ikut tertawa. Juna lalu membayarnya estafet lewat penjual jagung manis lainnya.

Beragam penumpang kelas ekonomi terus bertambah, dari yang muda hingga tua. Menempati kursi yang telah ditentukan. Beberapa penumpang nakal, memilih duduk dilantai kapal dan membeli tiket diatas kapal. Pelanggaran aturan yang membahayakan kapal dan penumpang lain, menjadi hal lumrah untuk selalu dilanggar.

Kapal pun mulai mengambil haluan, suara klaksonnya membahana memberi tanda hendak meninggalkan pelabuhan. Meninggalkan sisa buih putih dibagian belakang, melewati kapal-kapal lain disekitar pelabuhan. Di kejauhan, seseorang melambai bersahabat dari atas mercu suar. Laut cukup tenang siang itu, tak ada gelombang mengguncang kapal. Sepanjang mata memandang hanya ada bentangan air dan langit biru. Angin laut tengah membawa kabar gembira, menyampaikan kabar sedang tak ada cuaca buruk sepanjang perjalanan mereka. Para penumpang yang tak saling kenal pun berbincang akrab, bertukar kisah tentang kehidupan di pulau.

Masyarakat kecil dengan balutan sederhana dan apa adanya, tinggal jauh di pulau pedalaman, dikepung oleh laut yang memberikan hidup. Menjalani hari-hari dengan segala keterbatasan tanpa harus mengeluh. Bangga dengan kemampuan diri sekaligus bangga menjadi bagian dari masyarakatnya.

“Nona cantik ini, kenapa duduk di ruang berangin, so...?” Tanya seoang penumpang asli Papua dengan kekhasannya pada Lola sambil bercanda.

“Karena angin yang meminta saya duduk disini, bapa....” Jawabku tak kalah santai

“Angin laut itu memang miskin, so... Seharusnya dia beli tiket buat nona di ruang VIP .” Kembali si bapa bercanda

“Kalau begitu, bapa kasih tau dimana saya bisa dapatkan angin yang kaya, so...” Jawabku mulai disambut tawa penumpang yang lain

“Nona pergi saja ke lapanan golf! Angin disana kaya-kaya...” Jawab penumpang lain sambil bercanda akrab.

“Selain kaya, angin disana pintar jaga rahasia, karena mereka semua saudara sepersusuan dengan yang bawa alat pukul bola, so...” Sambung Sawa dengan logat Papua, disambut tawa oleh penumpang di dek atas kapal.

Kapal terus melaju membelah laut tenang menuju Waisai. Riak-riak kecil sambung menyambung berkilau karena pantulan sang surya. Sesekali beberapa burung berwarna putih terbang melintas tak jauh dari kapal. Matanya tajam mengarah ke laut bening, menunggu mangsa ikan-ikan segar yang tengah berenang dibawah air jernih. Penumpang kelas ekonomi pun berbagi makanan sekedarnya yang mereka bawa, pada penumpang lain. Sedangkan kami berempat memilih makan jagung manis yang baru saja kami beli.

Aku, Juna, Nakul, dan Sawa membagikan kue, pada anak-anak kecil yang tak banyak. Seorang pemuda asli masyarakat Papua, dengan bangga membuka bungkusan bekal yang dibawanya, sirih pinang. Dia pun dengan santai memakan sirih pinang seperti camilan biskuit.

“Kaka harus coba camilan khas Papua.” Kata si pemuda langsung disambut seru di kelas ekonomi. Kami berempat saling memandang bingung.

“Kita berempat hom pim pah, yang kalah harus ikut makan pinang.” Usul Nakul. “Ok.. siapa takut.” Jawabku. Penumpang yang lain makin seru merubung kami. Kami berempat hom pim pah. Dan Nakul kalah.

Santai Nakul duduk dibawah dengan si pemuda, mencoba sirih pinang. Suasana di dek kelas ekonomi semakin riuh. Berulang Nakul meringis harus mengulang karena ada kesalahan saat mengunyah.

            “Anggap saja pinang ini bibir perempuan, so..... Jangan pikirkan rasanya, tapi rasakan nikmatnya dan masa depannya....” Kata sang pemuda santai sambil meludah. Gelak tawa penumpang di dek tak terelakkan lagi.

Nakul memegang biji pinang didepan wajahnya, “Ini bukan soal ukuran biji pinang dan bibir perempuan, so...” Kata Nakul pelan-pelan. “Para perempuan bisa tersinggung, belum sempat merasakan nikmat, kita sudah meludah dan meludah terus.” Sambung Nakul. Kembali gelak tawa dan suasana dekat terlihat menyatu di kelas ekoonomi.

“Jangan salah dengan perempuan! Kalau dia tahu kau meludah sekali, setelahnya kau akan dibuat menelan ludah kau sendiri!” Kataku berkomentar pada Nakul. Para perempuan di kelas ekonomi seolah mendapat pembelaan.

“Bener kan, Jun.” Tanyaku pada Juna dengan pura-pura bego. Juna dan Sawa tersenyum menatapku sambil melempar biji jagung manis.

Kapal terus melaju, perjalanan panjang tak terasa karena keakraban antar para penumpang. Tiga jajaran pulau mulai terlihat dari kejauhan, Mioskon, Saonek, dan Saonek Bondeh. Kapal akan segera tiba di Waisai setelah menempuh dua jam perjalanan dari Sorong. Waktu terlalu cepat bergeser, keakraban yang terjalin sesaat harus segera berlalu. Meninggalkan ingatan indah bersama sore yang terus merangkak. Badan kapal perlahan merapat ke pelabuhan rakyat Waisai. Kemesraan dari kelas ekonomi ditutup dengan lambaian tangan.

 

ADA CERITA YANG TAK KALAH SERU DI WAISAI…. Lanjut di  LANGIT SORE DI RAJA AMPAT ParT 4

About The Author

ugi agustono 37
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel