WINTER IN EGYPT..... Part 6

6 Aug 2015 20:12 7308 Hits 109 Comments Approved by Plimbi

Lintang akhirnya berangkat ke Egypt dengan seluruh keyakinan dalam hatinya. Suasana haru dan segala kekhawatiran, masih mewarnai raut wajah mamanya, WOi, serta Ajeng. Benarkah Edard sudah di Cairo? Benarkah ia akan menjemput Lintang?

WINTER IN EGYPT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut 
Winter in Egypt Part 1
Winter in Egypt  Part 2
Winter in Egypt  Part 3
Winter in Egypt  Part 4
Winter in Egypt  Part 5

 

BAB VI

WOi yang baik, mencarikan aku kenalan mahasiswa Indonesia yang kuliah di Al – Azhar Cairo, namanya Ahmad. Supaya aku tetap bisa menikmati kedatanganku di Egypt dengan tidak sia-sia, seandainya Edward tak datang. WOi dan aku juga sudah saling berkomunikasi dengan Ahmad dengan baik. Aku berharap, mudah-mudahan Edward tidak berubah jadi Ahmad.

Edward juga sudah bicara dengan mama, sesuai dengan permintaanku dan adat ketimuran yang masih harus aku jaga. Aku tidak tahu bagaimana menurut adat barat, selatan, timur laut, atau barat daya. Mama tampak relax, memahami situasi dan kondisi jaman yang terus berubah, tapi juga tegas, saat menanyakan sesuatu ke Edward. Edward sendiri juga santai, tidak perlu cari muka didepan mama. Karena muka Edward sudah menempel dibadannya. WOi tiada henti menyimak semua perkembangan menjelang keberangkatanku. Aku sendiri menghadapi hati, dan logikaku antara gembira, suka, cemas, khawatir, takut, bersatu padu seperti mamdukan suara minor, sopran, mayor, dan lain-lain. Seperti kata mama, hati kecil yang paling jero itu adalah navigator yang baik. Aku merasa sudah siap, bahkan pakai grak. Artinya sudah yakin.

Aku dan Edward hampir tiada putus berkomunikasi menjelang keberangkatan, hingga Edward berangkat lebih dulu, supaya bisa jemput aku di Cairo International Airport, Egypt. hatiku makin berdebar sekligus seneng banget saat Edward, tilpun menjelang boarding. “Ok hon, we will see very soon.” Kata Edward bergetar. “Ok hon, take care and enjoy. Will let you know when I’m boarding tomorrow.” Jawabku bergetar.

Tiba diharibaan, Mama, WOi, dan Ajeng mengantarku ke bandara. Semua berdiri diam, mengikuti rasa was-was, haru, sekaligus bahagia. Aku akan menempuh perjalanan jauh menuju Egypt - Mesir untuk bertemu sang kekasih dari dunia maya. Hal yang tak pernah aku bayangkan, tapi sudah aku niatkan. Mama menatapku sangat dalam, hanya ingin berucap hati-hati, namun tak mampu untuk bicara. Dipeluknya  aku erat, tanpa suara. Mata mama mulai berkaca-kaca. Aku hapus air bening yang membasahi mata mama dengan jemariku. “Aku akan baik-baik, ma.” Janjiku pada mama dengan suaraku parau. “I trust you.” Jawab mama sambil mengangguk.

Ajeng tak mampu lagi menahan buliran bening yang membasahi pipinya. Dia tak peduli dengan tatapan orang bandara. Dipeluknya  aku erat. “Aku akan bunuh Edward, kalau dia menipu kamu.” Kata Ajeng. “Terlalu jauh jaraknya.. kamu harus dapat ijin visa untuk bunuh Edward.”Godaku dengan suara parau. Lalu aku tak kuasa menahan airmataku juga.  WOi, menatapku dengan sangat dewas, tersenyum, lalu membentangkan tangannya, dan memelukku erat. “Take care, let me know when you arrive in Cairo.” Kata WOi penuh perhatian. Aku melangkah sambil menyeret koperku, memasuki batas pintu masuk. Kami saling melambai dan menghilang.

Edward sudah menelponku dengan kode wilayah (+20), setelah aku mengirim pesan lewat whatsapp, menjelang boarding. Pesawat Singapore airline yang membawaku sudah meninggalkan bandara Soekarno – Hatta, Jakarta. Aku sudah tak mau berpikir apa-apa, karena juga sudah didalam pesawat. Tidak mungkin aku minta pilotnya berbalik hanya untuk menurunkan aku. Kalau toh belum beruntung, aku akan menikmati liburan di Egypt sendiri dengan Ahmad menggunakan travel agent. Lagi pula, ongkos tiket dan uang saku sudah ditanggung Edward, jadi aku tak merasa rugi apa-apa. Kalau hanya Edwar tidak datang ke Egypt, sakit ini paling tidak sudah tertutup dengan 2000 dollar. Rasa memang tidak pernah bohong, include didalamnya selama ada angpau. Aku tertidur hingga pesawat transit di Singapore.

Aku tidak akan bercerita tentang Negara Singapore. Karena sudah banyak orang tahu, nanti malah aku dipikir ndeso, katrok. Tak lupa aku kasih kabar ke Edward. Dan kembali Edward menelponku dari Egypt. Satu jam kemudian pesawat yang akan membawaku ke Egypt sudah take off. Hatiku tiba-tiba berdebar nggak karuan. Memikirkan apa nanti yang akan aku lakukan saat pertama berjumpa Edward. Apa aku langsung berteriak bungah sambil langsung berpelukan, atau aku berjabat tangan dulu baru cipika-cipiki. Yang pasti aku sudah mempersiapkan parfum paling enak, supaya nanti makin sensual ketika pertama jumpa. Kesan pertama harus memberi warna menggoda. Aku mecoba tidur, tapi tetap saja pikiranku ke Edward dan Edward lagi. Aku sudah membayangkan suasana romantic musim dingin di Egypt. Mudah-mudahan tidak meleset lagi. Perjalanan masih lama berkisar 11 sampai 12 jam lagi karena lewat Dubai. Mau tidak mau, aku harus mengisi waktu dengan kencing, makan, tidur, bangun, kencing lagi dan seterusnya. Karena aku sudah tidak fokus untuk baca.

*****

 

Pesawat sebentar lagi mendarat di Bandara Internasional Cairo. Mendadak Jantungku berdetak kencang, seperti kuda sedang balap lari. Tanganku juga berkeringat dingin, bukan nervous seperti kata WOi, tapi segera butuh siraman kehangatan. Aku sudah mengenakan baju hangat yang kubeli. Sebagian penumpang pesawat yang 85% orang Cairo atau middle east, juga mulai bersiap-siap. Aku sudah menyaput wajahku dengan pupur tipis serta lipstick natural. Rambutku yang sudah aku blow disalon waktu mau berangkat, masih tertata lumayan. Aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa, kecuali pingin segera turun dari pesawat dan ketemu Edward.

Walaupun hatiku sudah nggak karuan kesana kemari, aku bersyukur pesawat mendarat dengan sempurna, pukul 12.45 siang waktu setempat. Melangkah keluar pesawat dengan hati berbunga dan mengantri di Imgrasi, “Gila… aku sampai juga di Egypt untuk bertemu Edward.” Batinku.  Rasa suka, dan was-was masih menghantui pikiran. “Kalau sampai Edward tidak datang, aku bisa naik unta berdua dengan Ahmad, nih..” Batinku gusar. Selesai melewati imigrasi, sambil menuju pengambilan bagasi, aku mulai sibuk mencari jaringan celular.  Setengah mati memencet-mencet hp, bahkan aku seperti orang autis karena panic. Kacau, aku tidak mendapatkan jaringan. Aku mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang menghentak luar biasa. Menarik nafas dengan tiap tarikan lima hitungan. Aku kembali mencoba mencari jaringan cellular. Tetap tak ada jaringan. Aku mulai panic, sementara koporku sudah keluar dan aku letakkan di troli. Keringat dingin semakin mengguyur badanku pada suhu udara tujuh drajat.

Aku duduk diruang tunggu penjemput dan mencoba menenangkan diri setenang-tenangnya. Beberapa kali terus aku coba, akhirnya aku mendapatkan jaringan juga. Tak pikir panjang lebar, aku langsung menghubungi Edward.  Yang mengangkat operator, aku coba lagi dan masih yang mengangkat operator. Berulang masih sama. Aku menunduk, mencoba berserah dan kembali menarik nafas panjang. Sudah hampir tiga puluh menit aku duduk diruang tunggu. Aku mencoba lagi, dan tersambung! Aku membatin girang. Namun Edward tak kunjung mengangkat. “Apa yang sebenarnya terjadi...!?” Batinku sedih. Berulang aku tilpun masih juga tidak diangkat.

Aku memutuskan menghubungi Ahmad.  Tapi entah kenapa, dorongan ingin keluar dari dalam ruang tunggu. Aku bilang pada Ahmad minta tolong menjemputku di bandara. Dia pun sudah siap, tapi aku minta lagi ke dia menunggu beberapa menit untuk memastikan semua. Entah kenapa aku juga masih mengharap Edward memberiku kejutan, ditengah kekacauan pikiranku. Aku tak urusan lagi dengan bedakku yang sudah hilang karena panik. Serta lipstick yang sudah nempel semua dilayar phone.

Aku memutuskan keluar dari ruang dari gate, mencoba mencari sisa hararapan. Bahkan mengais-ngais. Dan seseorang western mengenakan coat warna hitam daleman tshirt warna biru serta blue jean, menghadap kearahku, membawa papan nama bertuliskan namaku, sambil tersenyum menggoda. Edward, dialah orangnya. Senyumnya jauh lebih menawan ketimbang saat skype. Aku sudah hampir pingsan berdiri. Ia melangkah kearahku, membentangkan tangannya. Aku tak kuasa lagi untuk marah, atau ngambek.

Udara dingin tetap menusuk pori-pori kulit, walaupun aku sudah mengenakan baju hangat yang tebal. Dan, babak seperti film holywood dimulai. Nafasku seolah berhenti di kerongkongan, tapi aku nggak mau jantungku copot. Aku melangkah sambil mendorong troly menuju ke Edward. Tak perlu lari-lari atau teriak-teriak. Semua berlangsung lembut. Pelukan hangat dan haru beraduk menjadi rasa seperti sekumpulan sayuran dan bumbu pecel, menjadi satu. Aku masih sempat menirukan adegan seperti di film holywood dengan mengangkat kaki satu sebagi simbul hatiku melayang dipeluk Edward. Tak sedikit para penjemput tersenyum melihat kami berdua.

Erat, Edward menggenggam tanganku, membawa aku melangkah menuju mobil travel. Aku kembali menenangkan rasa yang tengah berada di hamparan paling indah pada musim dingin di Egypt tahun ini. Tak lupa aku menghubungi Ahmad, mama, Woi, dan Ajeng.

*****

Lalu lalang kendaraan dengan kecepatan tinggi serta tak beraturan, merawnai perjalanan dari bandara menuju hotel. Suara klokson saling bersahutan seakan bisa menyelesaikan permasalahan mobil-mobil yang tumpang tindih.  Beberapa pejalan kaki, menyeberang dengan santai seperti tangah berjalan ditepi pantai. Mereka seolah tak peduli dengan kendaraan yang sedang mondar-mandir dan bisa mencelekakannya. Sudah menjadi ciri khas dari Negara berkembang. Sampai pikiran manusianya juga berkembang terus hingga tak pernah matang dan dewasa. Aku dan Edward tetap santai, karena hati kami sedang hangat oleh letupan rasa yang sedang bisa diajak mufakat.

Aku sempat bingung saat mobil travel memasuki hotel bintang empat yang namanya sudah taka asing bagiku. Tapi aku juga tak mau kelihatan ndeso didepan Edward. Ramah petugas hotel membantuku dan menyapa Edward. Edward juga sudah memesan satu room buat aku. “Siapa sebenarnya Edward?” Tanyaku dalam hati.  “Semua sudah ia siapkan dan diatur dengan baik.” Batinku kembali. Edward mengantarku ke kamar dilantai tiga. “Its your room and its mine.” Kata Edward sambil menunjukkan roomnya, tepat di depan room ku. “Ok, thank you…” Jawabku tersenyum manis. “You can take a bath and a take time to relax, around an hour. I know you must be tired.” Edward menjeskan sambil membuka pintu kamarku, dan meletakkan koperku diatas meja kecil. Aku hanya mengangguk sambil melihat room yang diluar ukuran standard. “Ok, hon.. we will meet again soon.” Kata Edward sambil mencium pipiku, “We will have lunch then go to Phiramid Spink.” Sambung Edward lalu menutup pintu kamar.

“You are beautiful” Kata Edwar manatapku saat kami tiba di Pyramid Spink. “Thank you...” Jawabku sambil memeluk pinggangnya. Kami saling berpandangan dibawah balutan udara dingin nan penuh bunga bercampur pasir. Musim dingin tanpa salju, walalaupun suhunya mencapai lima derajat. Tak ada pohon-pohon cantik berselimut es lembut, hanya ada angin sangat dingin yang kadang juga bertiup kencang. Winter dengan kekhasan unik. Erat jemari tangan Edward menggandengku berjalan kearah Pyramid. Sesekali ia membetulkan skraf dileherku, hanya memastikan aku tidak kedinginan. Cukup banyak wisatawan asing maupun local yang datang untuk melihat sisa-sisa peninggalan Raja Firaun. Pyramid selalu membawa kisah besar di mata dunia.

 Melangkah diatas pasir dengan kotoran unta dimana - mana, serta orang-orang yang memaksa menawarkan jasa naik unta. Tak membuat kami berdua terganggu, juga tak perlu memberikan kritikan atau mencemooh. Lagi pula, kotoran unta juga hanya ada dipadang pasir, jadi apa susahnya kita tahu tentang bedanya kotoran unta dan sapi di Indonesia.  Sementara, aku melihat wajah unta yang badannya sudah mengenakan beragam asesoris, hanya nengok kiri – kanan, berusaha menyembunyikan kepalanya ke pasir. Sedangkan beberapa anak kecil tampak bermain pasir yang sudah tercampur kotoran unta, berharap recehan pound  Mesir dari turis.

Area yang cukup luas, dan diberi nama Giza. Dipercaya sebagai tempat pemakaman sekaligus tempat menyimpan kekayaan raja zaman dahulu kala, yang konon masih keturunan Firaun. Ternyata, dari dulu kala dan biarpun seorang raja sudah kaya waktu hidupnya, saat mati pun mereka masih ingin pamer kekayaan dialam tak tertembus. Aku tak tahu siapa yang membangun pyramid ini dan bagaimana caranya. Aku hanya tahu, ada tiga pyramid terletak berbaris, Cheops, Chepren, dan Mycerinus.

 Pyramid yang terlihat pertama begitu masuk, tingginya sekitar 146 meter. Ketiga pyramid berbaris menghadap utara dan dasarnya sejajar dengan keempat arah mata angin. Cantik, anggun, gagah, sekaligus menyimpan jutaan tanya didalamnya. Perpaduan antara warna pasir dan pantulan kelir kecoklatan pyramid, membuat kami terdiam. Pyramid tangah warna coklat muda berdiri megah diapit dua pyramid lain. Ketiga pyramid seolah memunculkan aura keagungan dijamannya dahulu. Aku dan Edward berdiri diam cukup lama. Memandang seksama batu-batu yang tersusun hingga diujung tertinggi. Kami berdua seperti terbang menjelajahi masa lampau ditengah Giza, membayangkan kemahsyuran kerajaan Firaun jaman dulu. 

Edward kembali menggandengku menuju si penjaga pyramid yang juga terkenal. Spink. Tiba didepan Spink dengan latar belakang kemegahan tiga pyramid megah, aku membentangkan tangan gembira. “Finally we are standing in front of spinx, now.” Aku bicara pada Edward. Patung singa berkepala manusia. Terbuat dari batu semacam granit dengan panjang sekitar 80 meter, dan tinggi 22 meter. “He looks handsome, strong, and not friendly.” Jawab Edward bercanda. “He is a guard for the three Pyramid, here. He called Abul-Hul.” Sambung Edward sambil memelukku. “I have dreamed when im kids.” Kataku. Edward memandangku.


            “What your dreamed?” Tanya Edward. “I have been dreaming to see this since 8.” Jawabku. Edward tersenyum dan memegang tanganku. “And you see it, now.” Edward mencium keningku. “You like Cleoptra, now..” Goda Edward dan kami pun tertawa. “And you Alexander Agung..” Jawabku. Sementara spinx tetap berdiri tegak tanpa melirik kami, saat aku menyandarkan kepala di pundak Edward. Dia hanya tersenyum misterius, dengan bagian hidung yang berlobang karena dimakan zaman. Abul Hul juga sedang tak ingin diganggu, sepertinya. Dia tidak ingin lengah saat menjaga pyramid karena kekayaan didalmya bisa dicuri orang. Angin dingin berhembus makin kencang, Edward membibingku meninggalkan Giza.

 

Adakah keseriusan dari Edward selanjutnya.... Ayo Ikuti WINTER IN EGYPT 7

About The Author

ugi agustono 37
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel